1 year ago
7 mins read

Nasir Djamil: Ia yang Hampir Kalah

Politikus PKS, Nasir Djamil. (Foto: Totalpolitik.com)

Banyak yang mengatakan money politics Pemilu 2024 lebih kejam daripada Pemilu 2019, bagaimana tanggapan Anda?

Jadi money politics itu lebih kejam dari ibu kota, hahaha. Benar, benar. Jadi memang banyak yang anomali, abnormal, di luar nalar. Bahkan sesuatu yang nggak kita sangka begitu. Jadi ada teman saya, dia menyuruh pembantunya untuk pulang kampung. Dia kasih ongkos Rp 2 juta, ‘Tolong nanti kamu di kampung waktu Hari-H (pemilu) pilih saya. Minimal kan kamu, ayah, dan ibu. Tiga di kampung itu nggak ada suara dia coba. Itu padahal pembantu dia. Itu pembantu dia yang memang selama ini bersama dia. Kurang apa coba.

Jadi dia kasih uang Rp 2 juta, tolong pulang ke kampung, karena kamu Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya sana. Pulang kampung, nanti pilih saya. Ayah, dan ibu kamu juga pilih saya. Minimal di kampung itu ada tiga suara untuk saya. Nggak ada suara dia coba. Coba bayangin. Padahal, minimal tiga orang adalah ya. Itu memang betul-betul dia nggak sanggup pikir. Waduh saya bilang, kok bisa begini? Jadi saya nggak tahu juga ya, apa yang menyebabkan masyarakat sangat permisif seperti itu. Ada apa? Saya juga bingung.

Sebelumnya bagaimana?

Sebelum-sebelumnya nggak begitu. Bahkan, sebelum-sebelumnya tahun 2019, 2014, 2009, itu untuk Anggota DPR RI dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah) RI, itu masyarakat nggak mempersoalkan atau nggak begitu diperhitungkan. Jadi misalnya masyarakat itu yang mereka perhitungan adalah untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi. Untuk DPR RI dan DPD RI itu mereka nggak care, nggak begitu aware, nggak begitu memerhatikan. Bahkan nggak perlu imbalan-imbalan gitu. Tapi kemarin itu harus ada imbalan. Kalau nggak ada imbalan sulit.

Dulu nggak begitu. Saya nggak ngerti, siapa yang memulai ini, ide ini. Ada sih, cuma kita kan nggak bisa sebut di sini ya. Jadi memang masyarakat yang sebelumnya tidak punya ide paket-paket begitu, memang 2024 itu mereka pakai paket. Paket (beli suara) ini, paket ini. Sehingga ini menghilangkan kekerabatan. Bahkan, kerabat sendiri harus begitu juga. Kalau nggak digituin, kerabatnya lewat juga. Artinya, saya punya kerabat, punya taulan, punya saudara, famili, itu harus digituin juga. Kalau nggak, belum tentu dia pilih kita.

Bagaimana cara Bang Natsir konsisten mengawal apa-apa saja yang dikampanyekan?

Iya jadi memang tadi itu. Saya kan hampir juga kan, nyaris saya. Meskipun lebih bagus hampir kalah daripada hampir menang. Kalau Masinton (Pasaribu) hampir menang. Kalau saya hampir kalah, hahahaha. Saya gitu aja. Masinton hampir menang, saya hampir kalah. Jadi memang tidak ada jalan lain kecuali ke depan harus diubah. Bagaimana Anggota DPR ini turun ke daerah.

Saya sih punya ide begini, di pemerintahan kabupaten/kota (dan) provinsi, mereka kan punya Kesbanglimaspol (Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat). Seharusnya Kesbanglimaspol ini bekerja sama dengan DPR RI, DPD RI, dan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota . Ketika mereka reses, difasilitasi oleh Kesbanglimaspol ini. Jadi nanti semua masyarakat itu hadir. Tapi kalau saya yang datang itu pasti yang hadir orang-orang PKS, orang-orang yang terbatas. Jadi di situlah kita ajarkan agar masyarakat agar terbiasa menerima perbedaan.

Masyarakat itu terbiasa menerima orang-orang yang berbeda partai. Jadi kalau difasilitasi oleh Kesbanglimaspol, jadi ketika misalnya ada pertemuan, jadi nanti partai A cerita bahwa kami begini, partai B cerita begini. Jadi biar masyarakat yang menilai. Dan itu nggak terlaksana selama ini. Kan nggak ada. Dulu ada LP3S (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Tapi tidak semua dapil mereka urus. Karena barangkali keterbatasan dana, yang funding-nya juga kasih funding terbatas. Sehingga mereka memilih-milih dapil.

Misalnya di Sumatera, mereka mungkin pilih Dapil Sumut (Sumatera Utara), atau Dapil Jambi, tapi tidak semua Sumatera mereka cover. Jadi LP3S itu memfasilitasi misalnya Sumut, Dapil I ini diambil partai-partai ini. Kemudian ketika ada pertemuan mereka ngundang masyarakat. Maka Anggota DPR dari dapil-dapil ini bicara, iya tunjuk prestasi. Jadi di situ kan mengajarkan sikap kritis juga kepada masyarakat. Selama ini tidak terjadi seperti itu. Jadi ketika saya orang PKS datang, yang datang orang PKS doang. Yang lain nggak mungkin. Orang PAN (Partai Amanat Nasional) juga nggak mau datang.

Kalau semua partai hadir, apa nggak ‘berantem’ nanti?

Jadi kalau semua itu bisa dihadirkan menarik itu kan.  Jadi orang bisa mihak, bisa lihat. Itu kan bisa mengokohkan sistem kepartaian. Selama ini nggak dilakukan. Jadi akhirnya Anggota DPR itu turun ke daerah ngurusin sendiri. Semuanya ngurus sendiri. Jadi yang dia urus, ya konstituen dia. Menurut saya, ini kurang pas. Jadi Kesbangpol ini memfasilitasi pertemuan-pertemuan. Setelah selesai semua dia fasilitasi, baru nanti Anggota DPR masing-masing sendiri. Seperti salat ada berjamaah, ada sendiri-sendiri, kan gitu.

Jadi salat berjamaah, udah selesai berjamaah, dia sendiri salatnya ya kan. Salat setelah Maghrib, dua rakaat, dia sendiri, nggak jamaah itu. Jadi ada yang jamaah difasilitasi oleh Kesbanglimaspol. Ada yang pribadi, ya sendiri. Turun ke tempat-tempat tertentu. Sementara yang jamaah tadi itu untuk apa? Untuk mengokohkan sistem kepartaian, untuk mendidik masyarakat agar terbiasa dengan perbedaan, untuk memberikan pengetahuan yang beranekaragam kepada masyarakat. (Karena tidak begitu) akhirnya kan selama ini terjadi polarisasi itu.

Partai A (dengan pendukung) partai A, partai B partai B, partai C partai C, partai D partai D. Jadi ada edukasi seperti itu. Apalagi kalau Kesbanglimaspol, misalnya mengundang seorang akademisi untuk menetralkan ini semua, Dia kasih macam-macam based on keilmuan dia. Inilah pendidikan politik yang nggak terjadi seperti ini. Akhirnya masyarakat ya begitu. Coba masyarakat dididik secara politik seperti tadi itu. Paling tidak perilaku-perilaku menyimpang tadi itu jauh. Walaupun tidak 100 persen bisa diantisipasi. Ya, minimal kita bisa mencegahnya 70 persen. Kira-kira begitu.

Selanjutnya: Nasir Djamil: Jurnalis yang Berubah Haluan

1 Comment

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Mardani: Indonesia Masuk BRICS dan OECD Jangan Dipertentangkan

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan

Mardani Angkat Suara soal Kontroversi ‘Joint Statement’ Indonesia-RRT

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88