6 months ago
9 mins read

Nasir Djamil: Jurnalis yang Berubah Haluan

Politikus PKS, Nasir Djamil. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Ketertarikan Nasir Djamil ke dunia politik bermula saat ia masih menjadi wartawan di sebuah media di Banda Aceh. Pengalamannya meliput pemilu di daerah yang dulu kerap dilanda konflik itu makin menyuburkan ketertarikannya untuk menjadi politikus.

Ia pun akhirnya bergabung dengan Partai Keadilan (PK)—kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)—dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW). Ia pun berhasil menjadi Anggota DPRD mewakili PK.

“Memang saya lihat ini lembaga (DPRD) punya kewenangan yang besar untuk meluruskan semacam kerja-kerja pemerintah. Salah satu cabang kekuasaan yang diharapkan bisa mengawasi kerja-kerja pemerintah,” ujarnya.

Politikus Aceh macam Aisyah Amini, Saiful Sulun, Burhan Magenda dan Ismail Hasan Metareum merupakan tokoh-tokoh yang menginspirasi Nasir.

“Saya baca tentang kiprah mereka, sikap kritis mereka. Kan waktu itu masa Orde Baru, tapi mereka bersikap kritis,” tuturnya.

Berikut lanjutan perbincangan dengan Nasir Djamil di ruang kerjanya yang lumayan lega.

Menjadi politikus ini apakah memang cita-cita Anda?

Karena waktu saya jadi wartawan dulu saya sering meliput di Gedung DPRD di Aceh. Saya melihat kepiawaian mereka bicara, mereka di atas mimbar, berdebat ya kan. Kemudian kampanye-kampanye mereka saya ikuti. Itu kan (tahun) 1997, pemilu itu, masih di Orde Baru. Saya waktu itu jadi wartawan, meliput kampanye-kampanye. Wartawan Harian Serambi Indonesia, anaknya Kompas, yang sekarang Tribun.

Jadi saya diminta oleh redaktur untuk meliput kampanye-kampanye PPP (dan) Golkar. Saya perhatikan, wah keren juga. Berdiri di mimbar berorasi. Walaupun cita-cita saya jadi dosen sebenarnya. Tiba-tiba saya rasa, keren juga rupanya politisi ini. Bicara dan mengkritisi macam-macam. Dan akhirnya saya tertarik. Ketika dulu Partai Keadilan (PK) membuka pintu, saya masuk pada 1999. Jadilah saya Anggota DPRD, satu-satunya dari Partai Keadilan waktu itu.

Memang saya lihat ini lembaga punya kewenangan yang besar untuk meluruskan semacam kerja-kerja pemerintah. Salah satu cabang kekuasaan yang diharapkan bisa mengawasi kerja-kerja pemerintah. Jadi sebenarnya lembaga ini (DPR) cukup punya kewenangan. Dan sangat punya pengaruh besar untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi kan tentu saja karena sistem politik yang kita praktikkan selama ini ya seperti ini, yang cenderung katanya liberal, demokrasinya illiberal. Kemudian mayoritas masyarakat kita ekonominya sempit, pendidikannya juga nggak luas, akhirnya demokrasi ya seperti ini.

Apakah ada sosok yang menginspirasi Anda?

Dulu saya sering baca majalah Tempo waktu saya masih kuliah. Saya sering baca majalah Tempo, majalah Forum Keadilan. Kemudian saya baca Eros Djarot punya tabloid Detak. Sering saya baca itu Aisyah Amini, misalnya. Saiful Sulun. Anggota-anggota DPR dulu, Burhan Magenda, politisi-politisi di Senayan. Saya sering baca itu berita-berita. Saya baca tentang kiprah mereka, sikap kritis mereka. Kan waktu itu masa Orde Baru, tapi mereka bersikap kritis. Nah kemudian juga ada misalnya Ismail Hasan Metareum dari Aceh, dari PPP. Jadi itu juga ikut memotivasi.

Kenapa memilih PKS?

Karena ini partai baru, kemudian anak muda. Dan komunikasinya lebih cepat ya, lebih mudah. Kemudian sering berinteraksi. Dan saya ditunjuk sebagai ketua kan waktu itu. Ketua Partai Keadilan saya paling muda mungkin, DPW (Dewan Pimpinan Wilayah). Jadi saya dewan pengurus wilayah. Usia 27 tahun. Setahun jadi Ketua DPW Aceh. Karena saya belum ngerti politik, selama ini jadi wartawan, tentu saya nggak bisa mengelola partai dengan baik.

Apalagi waktu itu situasi Aceh gejolak kan. Jadi 1997, 1998, dicabut DOM (Daerah Operasi Militer). Pada 1999 itu kan suasana bergejolak di Aceh. Jadi memang penuh dengan gejolak-gejolak sehingga tidak maksimal kita mengelola partai. Apalagi waktu itu yang ngelola partai anak-anak muda. Anak-anak muda banget. Bahkan mereka masih kuliah juga pada nggak sempat ngurus (partai), hahaha. Akhirnya saya nggak bisa mengelola partai itu dengan baik. Tapi syukurlah meskipun begitu kami bisa dapat satu kursi untuk DPRD Provinsi.

Saya hanya satu periode di DPRD Provinsi. Pada 2004 saya melenggang ke Senayan. Saya ditugaskan oleh partai, kamu ke DPR RI. Saya juga nggak begitu percaya diri. Tapi ya saya coba saja. Karena tadi itu. Karena 1999, 2004 itu kan legislative heavy. Jadi waktu itu memang legislative heavy itu betul-betul legislatif berkuasa banget. Sehingga apapun mereka lakukan, termasuk hak-hak keuangan Anggota DPRD waktu itu. Waktu itu karena saya sendiri, saya berusaha untuk berbeda dalam menyikapi hak-hak keuangan Anggota DPRD itu. Sehingga berbeda dan itu mendapat simpati dari masyarakat. Kalau mereka minta 10, saya bilang jangan gitu, cukup dua saja.

Waktu itu Anda bertugas di komisi berapa?

Saya di Komisi II sebentar, pada 2004. Wah saya lihat rupanya begini Senayan, menghadapi orang-orang besar. Dan akhirnya saya baru sadar bahwa ternyata memang banyak masalah di negeri ini. Kenapa banyak masalah di negeri ini, karena nggak diselesaikan. Jadi ketika saya rapat misalnya dengan menteri-menteri, saya amati masalah itu muncul terus. Belum selesai masalah, muncul masalah lain. Karena di DPRD kan saya terkenal vokal, mengkritisi pusat macam-macam, kebijakan pusat. Sampai di pusat, saya lihat langsung berhadapan dengan pusat, ternyata kemudian saya sadar bahwa masalah itu lebih banyak ketimbang yang mereka selesaikan.

Jadi belum satu masalah diselesaikan, muncul masalah-masalah yang belum bisa diselesaikan. Saya pikir begini rupanya negara ini. Jadi negara ini benar-benar waktu itu kan sempat dibilang salah urus. Negara yang salah urus. Tapi saya berkesimpulan bukan salah urus, nggak diurus gitu. Jadi Komisi II tahun 2004-2009 itu. Jadi periode 2004-2009, saya kan di Komisi II, lebih kurang, dua tahun lebih. Karena di situ banyak mantan walikota, mantan bupati, mantan sekda (sekretaris daerah), mantan gubernur, yang mereka sudah selesailah secara duniawi.

Usia mereka juga kan sudah panjang, sehingga mereka kan tidak begitu menghentak-hentak kalau bicara, teduh. Sementara saya masih muda kan, masih begini. ,Kayaknya saya nih nggak cocok habitatnya di sini. Lalu saya dengar Komisi III rapatnya sampai malam, kemudian kritis dengan mitra kerja. Wah keren juga komisinya. Saya bilanglah, saya pindahlah Komisi III. Saya bilang Komisi II isinya orang tua semua. Nggak cocok saya. Jadi tua saya bilang. Di situ baru saya mulai berkembang.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Mardani: Indonesia Masuk BRICS dan OECD Jangan Dipertentangkan

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan

Mardani Angkat Suara soal Kontroversi ‘Joint Statement’ Indonesia-RRT

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan