6 months ago
7 mins read

Nasir Djamil: Ia yang Hampir Kalah

Politikus PKS, Nasir Djamil. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Di tengah banyaknya Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. DPR RI yang tumbang pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024, Nasir Djamil berhasil kembali menghuni Gedung Senayan untuk kelima kalinya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kembali terpilih sebagai Anggota DPR RI periode 2024-2029 melalui daerah pemilihan (Dapil) II Provinsi Aceh.

Salah satu kunci keberhasilan Nasir dipercaya kembali sebagai wakil rakyat adalah adanya dukungan media dan konsistensi ‘memelihara’ konstituen.

“Dukungan teman-teman media itu nggak bisa dimungkiri sangat membantu. Kedua, publikasi di media sosial. Ketiga, turun ke lapangan. Dan keempat, memenuhi sebagian apa yang mereka (konsituen) butuhkan,” tuturnya saat ditemui di ruang kerjanya, di Gedung Nusantara III, Senayan Jakarta.

Bagi Nasir, media memberikan ruang baginya untuk menunjukkan kiprah sebagai anggota dewan sehingga bisa dilihat oleh masyarakat Aceh.

“Mereka melihat Natsir Djamil ini satu-satunya Anggota DPR RI asal Aceh yang mengkritisi setiap peristiwa yang menjadi public interest di tingkat nasional. Itu yang membuat mereka melihat perbedaan dengan anggota DPR lainnya yang mungkin jarang muncul di televisi,” sambungnya.

Kepada Totalpolitik.com, Nasir berbagi kisah tentang peran dan lakonnya sebagai wakil rakyat hingga terpilih untuk kelima kalinya.

Selamat, Abang terpilih lagi sebagai anggota DPR RI. Ini untuk ke berapa kalinya Anda terpilih?

Alhamdulilah, dengan kuasa Tuhan dan dukungan serta doa masyarakat, saya terpilih yang kelima kalinya di DPR RI. Jadi di Aceh kan ada dua dapil nih. Dapil I dan Dapil II. Saya tiga periode di Dapil I dan dua periode di Dapil II. Jadi dua dapil sudah saya jelajahi, sampai dapat dukungan dari masyarakat di sana.

Bagaimana Anda bisa mendapatkan kepercayaan dari rakyat, ketika banyak anggota dewan yang berjatuhan dalam Pileg 2024?

Kiatnya itu harus banyak makan biskuat kayaknya, hahaha. Biar kuat di lapangan. Biar kuat daya jelajah kita. Tapi memang seperti diakui banyak orang Pemilu 2024 tahun ini memang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Saya nggak ngerti ya, kenapa masyarakat kok bisa begitu mudah tergiur dengan iming-iming materi dan lain sebagainya.

Jadi, pertama dukungan teman-teman media itu nggak bisa dimungkiri sangat membantu. Yang kedua, publikasi di media sosial. Ketiga, turun ke lapangan. Dan keempat, memenuhi sebagian apa yang mereka butuhkan. Itu hal-hal yang sangat diperlukan. Jadi teman-teman media memberikan ruang untuk saya misalnya, kan itu kemudian dilihat oleh masyarakat Aceh di sana.

Jadi mereka lihat Natsir Djamil ini satu-satunya Anggota DPR RI asal Aceh yang mengkritisi setiap peristiwa yang menjadi public interest di tingkat nasional. Itu yang membuat mereka kemudian (merasa) berbeda dengan anggota-anggota lainnya yang mungkin jarang muncul di televisi. Jadi di samping teman-teman media memberikan ruang di media mereka, terutama media televisi. Yang kedua media sosial, kita berinteraksi, berselancar di media sosial.

Kemudian, turun ke lapangan. Bertemu dengan mereka (warga), ngobrol dengan mereka, ngopi dengan mereka. Yang keempat tadi itu, menyalurkan, menindaklanjuti aspirasi yang mereka butuhkan.

Dan memang kemarin itu ada (fenomena) abnormal ya. Tahun 2024 ini memang abnormal. Saya juga nggak bisa membayangkan, kok bisa kejadian seperti itu. Nggak biasa-biasanya nih masyarakat mengalami turbulensi seperti ini. Soalnya benar-benar di luar perkiraan saya itu. Sehingga saya hampir-hampir juga sebenarnya nggak lolos. Karena saya ini kursi keenam dari enam kursi.

Saya nomor urut satu. Kursi di Dapil Aceh II itu ada enam. Pada 2019 saya kursi ketiga. Sebagai pendatang baru di Dapil II, saya kursi ketiga. Suara kira-kira 55.000-an. Itu tahun 2019. Pada 2024 dengan situasi politik yang begini, yang kebanyakan abnormal ini, maka saya turun ke nomor enam. Dan memang suara pribadi bertambah sekitar 60.000. Tapi urutan kursi nomor enam. Itu artinya kan sedikit lagi jatuh.

Siapa yang memegang enam kursi lainnya?

Ya, ada Golkar di dalamnya. Demokrat justru lewat, hilang. Golkarnya dua. Kemudian, NasDemnya satu. PKB-nya satu. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) kan udah memang gak lolos parliamentary threshold gitu. Jadi situasi masyarakat seperti ini yang membuat kita bertanya-tanya nih apakah hanya terjadi 2024? Atau akan terlanjut di Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2024 ini? Atau nanti juga akan berlanjut di 2029?

Jadi ini tantangan juga sih bagi partai-partai politik untuk mengevaluasi pendidikan politik mereka pada masyarakat. Kenapa masyarakat kok masih mau melakukan itu, ya kan. Jadi ini risiko pemilihan secara langsung. Ini risiko suara terbanyak. Jadi orang berlomba-lomba untuk mendapatkan suara terbanyak, apapun dia lakukan. Kalau perlu dia berutang dulu untuk mendapatkan uang agar dia bisa mendapatkan suara terbanyak. Jadi ini risiko sebenarnya (pakai sistem) suara terbanyak ini.

Sistem ini perlu dievaluasi kalau begitu?

Makanya saya sih melihat perlu dievaluasi juga suara terbanyak ini. Artinya ada, jangan kemudian kita loss. Sepertinya, suara terbanyak itu harus diimbangi dengan suara partai juga. Kan ada suara partai ada suara pribadi. Orang ketika milih kita itu, ada milih partai ada milih pribadi. Nah suara partai ini untuk siapa. Itulah yang hari ini harus dibicarakan. Tidak otomatis untuk yang suara terbanyak nomor satu.

Selama ini kan seperti ini kejadiannya, suara partai otomatis untuk suara yang terbanyak. Makanya kan ke depan itu harus dipikirkan suara partai ini diserahkan ke siapa. Misalnya kita bertiga, saya nomor satu, (kalian) nomor 2 nomor 3. Lalu ada suara partai. Suara partai mau diserahkan ke siapa? Ke saya atau ke siapa? Kalau ke saya otomatis saya menang, mengungguli dua ini. Tapi itu nanti ini juga jadi persoalan. Pertanyaannya adalah kenapa partai menyerahkan ke dia bukan ke saya. Kan itu pertanyaannya.

Ini juga sebenarnya kalau nggak diatur menjadi masalah. Kalau kemudian partai bilang, ‘Ah itu hak kamilah. Orang itu juga suara partai, terserah kami mau serahkan sama siapa saja.’ Kan gitu. Betul itu betul. Tapi ke depan akan mengurangi orang untuk mau menjadi caleg (calon legislatif). Apalagi kalau dia misalnya bukan orang partai, kan yang hanya ikut partai itu ketika pencalonan. Jadi memang masih dilema itu. Ada suara-suara yang meminta seperti itu agar suara partai itu ditentukan oleh partai untuk siapa dia serahkan. Nggak ada aturannya.

Selama ini kan otomatis untuk si pemenang. Jadi mungkin kalau bisa diakomodir suara-suara tadi, maka itu juga harus dijalankan dengan cara bijaksana. Kalau nggak, nanti akan timbulkan kekecewaan. Muncul pertanyaan kenapa dikasih sama si A, apakah karena dia orang partai. Kenapa, oh mungkin karena setorannya tinggi. Gitu kan. Atau dia banyak mengeluarkan uang ketika kampanye. Atau dia berkorban. Jadi variabelnya juga bisa jadi perdebatan.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Mardani: Indonesia Masuk BRICS dan OECD Jangan Dipertentangkan

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan

Mardani Angkat Suara soal Kontroversi ‘Joint Statement’ Indonesia-RRT

JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan