7 months ago
7 mins read

Masinton Pasaribu: Kegagalan Kolektif Anak Bangsa

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Sebagai salah satu aktivis 1998 yang turut memperjuangkan tumbangnya Orde Baru (Orba), Masinton mengaku kecewa karena cita-cita reformasi tak sesuai yang diharapkan.

Menurutnya, reformasi telah gagal merumuskan dan mengembalikan tujuan bernegara yang berupa keadilan sosial,” Kita gagal secara kolektif,” ujarnya.

“Kita baik dalam aspek pendidikan, pengelolaan ekonomi, birokrasi, maupun pemerintahan. Harusnya kan di kepala kita keadilan sosial. Hukum juga begitu. Harusnya peletakan dasarnya itu dulu,” ia menegaskan.

Berikut lanjutan perbincangan Totalpolitik.com dengan Masinton di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

Apakah sebagai aktivis reformasi merasa kecewa?

Ya, kita gagal secara kolektif. Padahal, umpama bangunan otonomi daerah itu kan bagaimana rakyat bisa memiliki akses lebih dekat terhadap pemerintahnya. Tidak lagi basic-nya sentralistik. Kemudian, proses amandemen Undang-Undang Dasar itu juga kan harus mendorong ke arah tujuan bernegara tadi itu. Prinsip dari tujuan bernegara itu apa, keadilan sosial aja. Iya, kan harusnya kan di situ. Kita baik dalam aspek pendidikan, pengelolaan ekonomi, birokrasi, pemerintahan, harusnya kan di kepala kita keadilan sosial. Hukum juga begitu. Harusnya itu dulu peletakan dasar itu.

Kenapa bernegara bisa melenceng dari tujuannya?

Ya, itu tadi, arahnya nggak jelas. Satu, nggak jelasnya itu begini, nggak pernah mau jelas menyatakan prinsip dasar negara kita itu tadi; prinsip keadilan sosial. Mungkin sejak zaman Orde Baru, haluan pembangunan ini bergeser ke corak yang kapitalistik. Harusnya bisa di-filter. Mem-filter sistem kapitalisme yang bisa memberikan rasa adil. Harusnya kan negara kasih guidance itu. Setelah reformasi, Orde Baru yang dianggap terlalu kapitalistik tumbang. Melalui program developmentalism segala macam. Reformasi kita juga gagal merumuskan dan mengembalikan tujuan bernegara tadi.

Apakah sebagai aktivis reformasi merasa kecewa?

Ya, kita gagal secara kolektif. Padahal, umpama bangunan otonomi daerah itu kan bagaimana rakyat bisa memiliki akses lebih dekat terhadap pemerintahnya. Tidak lagi basic-nya sentralistik. Kemudian, proses amandemen Undang-Undang Dasar itu juga kan harus mendorong ke arah tujuan bernegara tadi itu. Prinsip dari tujuan bernegara itu apa, keadilan sosial aja. Iya, kan harusnya kan di situ. Kita baik dalam aspek pendidikan, pengelolaan ekonomi, birokrasi, pemerintahan, harusnya kan di kepala kita keadilan sosial. Hukum juga begitu. Harusnya itu dulu peletakan dasar itu.

Apakah negara sekarang lebih pro terhadap pengusaha?

Lah, iya. Boleh pro-pengusaha, kepentingan pengusaha, tapi juga nggak boleh mengalahkan kepentingan rakyat. Kita lihat tuh China, kenapa bisa tumbuh berkembang? Karena mereka serius dalam mengelola negara. Mereka serius dalam aspek bagaimana seluruh proses bernegara itu tujuannya adalah keadilan sosial. Kan bisa kita bayangkan tuh dalam sistem sosialisme ala China. Di satu sisi, politiknya ketat Kemudian, mereka mampu mereformasi dari yang tadinya kaku—anti-borjuasi, anti-kapitalisme—kemudian beradaptasi. Bagaimana negara menjinakkan kapitalisme tadi. Sehingga, (kapitalisme) dijinakkan, diatur, dan semua bisa mendapat keuntungan dari kapital yang didistribusi kepada rakyat.

Fungsi negara kan di situ. Maka kemudian China membuka diri secara bertahap, mulai dari pesisir, zona ekonomi perdagangan, sampai ke pedalaman. Dia buka China daratannya. Di situ, semua tunduk pada otoritas negara. Artinya, yes okay you berbisnis, tapi juga negara harus melindungi bisnisnya masyarakat, kepentingan masyarakat. Jadi kolaborasi, kerja sama. Sehingga tidak ada yang tertinggal. Pembangunan itu tidak meninggalkan masyarakat kecil. Justru manfaat dari pembangunan itu untuk masyarakat kecil. Nah, di kita kan nggak. Bablas semua. Di sini wilayah tambang, eksplorasi, sampai habis tuh. Yang menjadi masalah selain limbah, kerusakan lingkungan. Kesejahteraan masyarakat juga nggak ada. Kan itu yang terjadi selama ini.

Kita ini nggak jelas. Keadilan sosial itu ya basic-nya sosialisme. Keadilan, society, masyarakat. Itu yang oleh Bung Karno disebut demokrasi harus berjalan di dua kaki. Dia tidak boleh timpang. Dua kaki itu adalah demokrasi politik dan demokrasi ekonomi; sosio-demokrasi. Politik Trisaktinya itu kedaulatan, kemandirian, berdikari, dan berkepribadian. Karakter Indonesia. Itu yang hilang dari kita. Jadi, kita membangun dan membangun, tapi dan abai.

Jika Anda jadi presiden umpamanya, apa yang akan Anda lakukan untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut?

Ya, prinsipnya semua pihak diajak. Dari satu sisi, aturan. Kedua, birokrasinya, hukumnya, apa segala macam. Semua ditata ke sana. Dulu kita mau memberikan keadilan bagaimana prinsip negara kesejahteraan itu. Bagaimana memberikan keadilan pada anak sejak dari dalam kandungan. Tugas negara itu kan di situ. Sejak anak dari dalam kandungan, proses lahir, tumbuh, berkembang, sampai dia bekerja, berumah tangga, bahkan sampai dia dapat jaminan hari tua, sampai wafat. Itu kan tugas negara. Pemenuhan standar gizinya bagaimana, indeks pendidikannya? Bagaimana dia bisa jadi cerdas, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana kemudian dia tumbuh dan bisa bekerja, berusaha, berkeluarga, dan mendapat jaminan hari tuanya.

Kalau di kita kan kebalik. Kita baru di level—maaf-maaf nih bukan mau mengkritik atau apa—bawah. Baru levelmakan gratis. Sementara di negara-negara maju, sudah bicara tentang jaminan hari tua. Lihat saja Revisi Undang-Undang, ngaco menurut saya. Termasuk nanti ada Revisi Undang-Undang di Aparatur Sipil Negara (ASN) dan kepolisian. Usian pensiunnya ditambah. Dari 58 tahun jadi 60 tahun. Kan harusnya ya sudah, dia pensiun di situ, di usia itu, nggak perlu ditambah lagi.

Negara memikirkan bagaimana setelah dia pensiun, jaminan hari tuanya. Bukan lagi ditambah masa kerjanya. Coba kita lihat di negara-negara lain, itu pasti protes. Jaminan hari tuanya kalau dikurangin juga protes. Di kita nggak jelas. Karena negara tidak mampu memberikan jaminan hari tua, maka usia pensiun ditambahin. Padahal, dia kan sudah harus menikmati pensiunnya dong. Katakanlah di usia 58 tahun. Dia harusnya menikmati pensiunnya dengan jaminan hari tua tadi yang negara kasih. Harusnya kan begitu.

Apakah kondisi ini masih bisa diubah?

Bisalah. Kita tuh harus ada itu tadi ya, semuanya harus diperbaiki, termasuk politiknya. Sistem politiknya, demokrasinya, semuanya. Kalau aku sih, keadilan sosial. Hanya itu tujuan bernegara.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Zulfan Lindan: Pramono Anung Sudah Punya Basis Suara Solid

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menyoroti strategi politik yang

Pilgub Jateng Tantangan bagi PDIP

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menilai pemilihan gubernur di