4 months ago
4 mins read

Jazilul Fawaid: Jagoan PKB di Jakarta

Wakil Ketua MPR RI dan Waketum PKB, Jazilul Fawaid. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Menghadapi kontestasi Pilkada Jakarta 2024, PKB telah menjalin komunikasi dengan Partai NasDem dan PKS. Kedua partai itu, menurut Gus Jazil, adalah kawan paling dekat.

“PKS kebetulan sekarang menjadi pemenang, nomor 1. NasDem sama kursinya dengan PKB. Jadi, kalau tiga partai ini solid untuk calon kepala daerah di DKI, tidak ada lawan itu,” ujarnya.

Jazil menyebut Anies adalah satu calon yang paling kuat. Selain itu, ada Ridwan Kami dari Jawa Barat. Keduanya memiliki elektabilitas tertinggi dibanding calon-calon yang lain.

“Tokoh DKI, tokoh partai, atau ketua-ketua partai di DKI itu juga masih belum kelihatan elektoralnya. Tokoh ormas juga belum, artis pun belum ada yang memiliki elektoral cukup,” katanya.

Namun, untuk mengusung Anies Baswedan dan pasangan misalnya, PKB harus berkoalisi dengan partai lain karena suaranya kurang mencukupi untuk maju sendiri.

Bagaimana kans Anies di Jakarta, apakah jadi lewat PKB?

Banyak tokoh lain yang juga ingin mendaftarkan diri di PKB, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Nah, ada parameter yang kita gunakan untuk menunjuk siapa calon kepala daerah. Salah satu parameternya adalah punya keunggulan elektoral dan popularitas. Kader semua juga harus ditanya itu.

Di DKI Jakarta, setelah kita melakukan semacam sharing begitu, memang Pak Anies masih memiliki elektoral yang kuat di DKI. Belum disurvei sih. Artinya kami belum melakukan survei secara khusus, tapi hanya mendengarkan pendapat dari teman-teman di pengurus cabang dan pengurus DKI. Mereka menunjukkan memang warga DKI masih mengharapkan Pak Anies. Masih belum ada tandingannya lagi. Yang mau banyak, tapi yang memiliki tandingan elektoral belum (ada).

Ada banyak tokoh kan yang ingin maju sebagai saingan Pak Anies, yang dianggap kuat. Ridwan Kamil misalnya, diimpor dari Jawa Barat. Nggak ada tokoh yang lain. (Baik) tokoh DKI, tokoh-tokoh partai, apalagi tokoh-tokoh partai di DKI, tokoh PDIP, partai-partailah. Ketua-ketua partai di DKI itu juga masih belum kelihatan elektoralnya. Tokoh-tokoh ormas itu juga belum. Artis pun belum ada yang memiliki elektoral cukup. Tapi, waktu masih terus berjalan.

Jadi, semua proses itu akan dilakukan. Karena apa? PKB tidak cukup untuk mengusung pasangan, PKB harus tetap melakukan koalisi. Memang, PKB di DKI ini di 2024 ini mengalami peningkatan yang tidak pernah sebelumnya. Anggota DPR-RI 2 kursi, DPRD provinsi 10 kursi, dari awalnya 5 kursi. Sekatrang 10 kursi, nggak pernah ada riwayat 10 itu. Belum pernah, baru sekarang, riwayat DKI (dapat) 10 kursi.

Modal inilah yang kemudian, teman-teman menitipkan agar jangan salah memilih siapa kepala daerahnya. Jadi ini harus saling berkait. Jangan salah PKB memilih atau mengusung kepala daerah. Nah, per hari ini memang nama Pak Anies yang masih kuat di basis-basis PKB.

PKB sudah bicara dengan partai mana saja?

Yang paling dekat kan NasDem dan PKS. PKS kebetulan sekarang menjadi pemenang, nomor 1. NasDem sama kursinya dengan PKB. Jadi, kalau tiga partai ini solid untuk calon kepala daerah di DKI, tidak ada lawan itu.

Sudah ada pembicaraan?

Oh untuk berkoalisi, iya. Tapi siapa calonnya belum.

Apakah berarti akan menjadi ‘Koalisi Perubahan’ versi kedua atau bagaimana?

Kalau Koalisi Perubahan yang kita sebut kemarin itu kan di koalisi nasional waktu pilpres. Kalau di tingkat pilkada sudah tidak relevan lagi. Karena pilkada tingkat II itu variasinya berbeda. Bahkan, bisa orang calon independen. Jadi, kalau kita bertahan untuk Koalisi Perubahan ditarik sampai tingkat bawah, pasti kehilangan relevansi nanti. Jadi gitu. Tapi, semangatnya, semangat perubahan tetap. Bahkan, PKB hari ini juga membuat sekolah pemimpin ‘perubahan’.

Sudah buka sekolahnya?

Sudah, kita rancang semua anggota DPRD, DPR-RI terpilih harus ikut sekolah perubahan. Supaya mengerti betul apa yang disebut dengan perubahan ke depan.

Kalau Anies yang dimajukan koalisi PKB, PKS, dan NasDem, siapa pendampingnya?

Belum (dibicarakan) sih. Cuma PKB berharap ada teman PKB di situ. Kalau dipilih (sosok teman PKB) adalah, ada banyak.

Terkait elektabilitas, kira-kira masuk tidak pasangan itu?

Ya, tentu. Pertama, kalau sudah menyangkut pasangan, punya visi yang sama, punya harmoni dalam bekerja. Nanti didiskusikan sama Pak Anies, karena buat posisi wakil ini harus melengkapi, sekaligus menguatkan. Minimal diterima oleh partai-partai yang (berkoalisi).

Baik, sekarang kita bicara tentang peran Anda sebagai politikus. Apakah itu memang cita-cita atau bagaimana?

Nggak. Saya cita-citanya jadi guru. Saya dididik dari kecil, kalau saya secara pribadi cita-citanya jadi kiai ya. Jadi gurulah. Makanya, saya memulai hidup di Jakarta jadi dosen. Dari aktivis (jadi) dosen. Saya dosen di Sekolah Tinggi Nahdlatul Ulama. Aktif di Ansor, aktif di PMII. Untuk memperluas cakrawala pergaulan baru, masuk partai politik.

Saya masuk PKB tahun 1999. PKB (berdiri) 1998, saya 1999. Saya memulai masuknya dari Garda Bangsa. Saya dari bawah lho, dari anggota divisi pengkaderan Gerakan Pemuda Partai Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa). Sampai jadi salah satu pengurus harian di Garda Bangsa, baru masuk di PKB. Jadi, kita mengikutinya dari awal, bukan ujug-ujugsaja.

Apa yang menginspirasi Anda untuk jadi politikus?

Kadang kita di lingkungan ini membuat kita kadang ketarik oleh lingkungan. (Yaitu) lingkungan akademisi, lingkungan aktivis. Nah, lingkungan aktivis ini memang banyak ketariknya itu di dunia politik. Kebetulan teman-teman ada banyak aktif di partai politik, khususnya di PKB, termasuk juga Pak Muhaimin. Waktu Muhaimin Ketua Umum PB PMII, saya sudah Ketua Cabang PMII di Jakarta Selatan. Waktu itu Bang Muhaimin jadi Sekjen PKB. Yang membentuk kita itu memang pendidikan dan lingkungan.

Jadi, lingkungan keluarga saya mengarahkan untuk jadi guru, kiai gitu. Lingkungan aktivisnya mengarahkan pada partai politik. Tapi dua ini juga tidak berbenturan. Sampai hari ini saya juga ngajar kalau ada kesempatan ngajar. Saya tetap ngajar. Dan sekarang saya juga membina pesantren, tapi di Gresik.

Jadi, politik sebagai cita-cita pada gambar besarnya iya. Ingin bermanfaat bagi orang banyak. Waktu itu dengan lewat dunia pendidikan, lembaga pendidikan, sekarang lewat lembaga legislatif, lewat lembaga politik. Itu juga bisa saling membantu ternyata. Punya korelasi yang kuat.

Jadi peran politikus dan akademikus tidak ada hambatan?

Sama sekali tidak. Saya berharap para akademisi, para dosen, wartawan, mereka ini ikut juga. Pertama tentu melihat politik, mengkritisi politik. Habis itu, masuklah di situ, supaya bisa ikut memperbaiki dari dalam. Banyak tantangannya memang, karena dinamika politik terus berubah. Tapi kan, apapun, politik ini menjadi alat untuk rekrutmen kepemimpinan di level manapun. Level bupati, gubernur, presiden, itu jalurnya lewat partai politik.

Meskipun dia guru besar, tapi dia pengen jadi gubernur, harus masuk partai politik. Karena rutenya di situ. Undang-undangnya mengatakan itu, kecuali diubah. Bisa juga lewat jalur independen untuk tingkat gubernur, bupati dan wali kota. (Tapi) presiden kan nggak.* (Bayu Muhammad/Chairul Akhmad)

Baca juga:

Jazilul Fawaid: Akademikus dan Politikus

Jazilul Fawaid: PKB di Dua Era

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Catatan Akhir Periode: Mewujudkan Keamanan Komprehensif (Comprehensive Security) 

JAKARTA – Dalam mengarungi dinamika berbangsa dan bernegara yang tidak

Membangun Ketahanan Demokrasi 

JAKARTA – Konsolidasi demokrasi merupakan tahapan paling krusial dari proses