JAKARTA – Dalam mengarungi dinamika berbangsa dan bernegara yang tidak selalu kondusif, maka aspek keamanan menjadi hal yang selalu bersifat krusial untuk diberikan atensi oleh pemerintah, termasuk kami yang bertugas di Komisi III DPR RI yang salah satunya membidangi urusan keamanan (security matters).
Keamanan dewasa ini secara konseptual dan praktikal telah mengalami perluasan makna. Keamanan tidak lagi dimaknai secara sempit sebagai upaya untuk mewujudkan rasa aman bagi masyarakat dari ancaman yang bersifat fisik seperti perang, konflik komunal, kriminalitas, kekerasan bersenjata, dan sejenisnya, tapi juga menyasar aspek keamanan manusia (human security) yang lebih luas seperti penghargaan terhadap hak asasi manusia, pengarusutamaan demokrasi, kesetaraan gender, pelaksanaan hak dan kewajiban politik sebagai warga negara, keamanan pangan, keamanan air, keamanan data, termasuk juga keamanan siber.
Filosofi keamanan komprehensif
Dengan perluasan makna dan sekup keamanan tersebut, maka tanggung jawab pemerintah secara institusional untuk menyelenggarakan fungsi keamanan dalam kehidupan bernegara tidak hanya dibebankan kepada institusi yang bersifat konvensional saja seperti TNI dan Polri, tapi juga melibatkan institusi lain sesuai dengan bidang permasalahan yang dihadapi.
Sebagai contoh, persoalan krisis pangan yang menjadi ancaman keamanan pangan (food security) merupakan tugas dan tanggung jawab Kementan RI dan Badan Pangan Nasional. Fenomena ini disebut sebagai keamanan komprehensif (comprehensive security).
Konsepsi keamanan komprehensif ini memadukan antara dua hal, yakni keamanan tradisional dan non-tradisional. Para pemangku kepentingan dalam konsepsi keamanan komprehensif melibatkan banyak pihak, yakni instansi-instansi pemerintah terkait, pihak swasta, akademisi, dunia usaha, dan juga masyarakat selaku penerima manfaat (beneficiary).
Konsepsi keamanan komprehensif sejatinya bukanlah terminologi baru. Apabila merujuk pada UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Hanneg), maka doktrin pertahanan nasional Indonesia adalah sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata). Doktrin ini meletakkan tanggung jawab pertahanan dan keamanan nasional kepada seluruh rakyat atau komponen bangsa, tanpa kecuali.
Hal ini segaris pemaknaannya dengan konsepsi keamanan komprehensif yang meletakkan tanggung jawab keamanan tidak hanya pada TNI dan Polri saja, tapi juga melibatkan partisipasi seluruh instansi pemerintah dan pemangku kepentingan.
TNI sebagai komponen utama sistem pertahanan negara juga sejatinya telah menerapkan model keamanan komprehensif dalam penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya melalui pemilahan antara tugas Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Dalam contoh pelibatan TNI untuk penanganan terorisme di Papua, maka mekanisme tugas yang dijalankan adalah dalam koridor OMSP, yakni perbantuan terhadap Polri. Hal ini untuk merespons pemisahan tugas dan wewenang antara TNI dan Polri sebagai amanat reformasi, dalam hal mana TNI fokus pada isu pertahanan (defense matters) dan Polri fokus pada isu keamanan (security matters).
Jika merujuk pada kondisi Indonesia hari ini, maka konsepsi keamanan komprehensif ini sangat perlu untuk dikedepankan dalam rangka mewujudkan stabilitas politik dan keamanan nasional, serta pilar utama yang mendukung kelancaran pembangunan nasional. Ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan (AGHT) yang dihadapi oleh Indonesia dewasa ini cukup kompleks.
Aksi kekerasan bersenjata oleh KKB di Papua masih berlangsung secara intensif, jaringan terorisme belum sepenuhnya ditumpas karena bersalin rupa menjadi sel-sel tidur yang terus berupaya mencari momentum untuk begerak, konflik sosial yang sifatnya vertikal dan horizontal masih sangat mungkin terjadi sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat dan pengaruh penggunaan politik identitas oleh oknum-oknum tertentu, generasi muda banyak yang terjebak pada pada perilaku anarkis seperti geng motor dan penyalahgunaan narkoba.
Di ranah siber, ancamannya lebih serius karena menjadi “kendaraan” bagi pihakpihak tertentu untuk menghancurkan Indonesia melalui penyebaran paham asing yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila, seruang jihad untuk melawan pemerintah, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian pada setiap gelaran kontestasi elektoral, hingga pencurian data pribadi yang melanggar privasi warga negara dan kedaulatan negara.
Kasus pembobolan dan pencurian data pribadi ini menyasar instansi-instansi pemerintah yang bertugas menyelenggarakan pelayanan publik seperti BPJS Kesehatan, lembaga perbankan, KPU, bahkan pernah menyasar DPR RI. Kasus-kasus tersebut menjadi preseden buruk bagi pemerintah, baik oleh dunia luar yang dapat mengancam iklim investasi, maupun dari dalam karena berkurangnya kepercayaan dari warga negara terhadap pemerintah.
Studi kasus
Beragam AGHT yang dihadapi oleh Indonesia tersebut perlu dilihat dan diurai permasalahannya melalui pendekatan keamanan komprehensif untuk mencapai hasil yang optimal. Mengapa demikian?
Saya ambil satu contoh kasus keamanan, yakni terorisme. Penanganan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif dengan melacak apa yang menjadi akar persoalannya. Banyak negara yang keliru dalam menangani terorisme dengan menyederhanakan persoalan terorisme sebagai suatu kasus yang disebabkan oleh radikalisme agama.
Padahal, apabila kita mencermati secara saksama kemunculan kelompok-kelompok teroris seperti Al-Qaeda, ISIS, Taliban, Boko Haram, Abu Sayyaf, UTO, dan sebagainya, mereka lahir dan tumbuh di negara-negara yang bermasalah dalam hal keadilan (justice) dan kesejahteraan (welfare).
Di negara-negara yang penduduknya belum sejahtera, terorisme tumbuh subur dan menginfeksi banyak warga negara untuk tergabung di dalamnya. Artinya, persoalan mendasar yang menjadi akar terorisme adalah kemiskinan, alienasi, dan ketimpangan sosial di masyarakat.
Melalui pendekatan keamanan komprehensif, model penanganan terorisme tidak bisa dibebankan kepada Densus 88 Antiteror Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) saja, tapi juga para pembuat kebijakan di bidang sosial dan perekonomian.
Terorisme dapat diredam bukan dengan membungkam media untuk tidak mempublikasikannya, tapi dapat “dibungkam” dengan langkah-langkah strategis seperti menaikkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pertumbuhan ekonomi, serta membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya untuk mengurangi tingkat pengangguran (unemployment).
Contoh lain urgensi penerapan model keamanan komprehensif adalah dalam penanganan KKB di Papua yang kerap melakukan kekerasan bersenjata, tidak hanya kepada TNI dan Polri saja yang bertugas, tapi juga menyasar masyarakat sipil yang berstatus sebagai non-kombatan. Kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua sekilas hanya berdimensi keamanan, yakni keamanan yang sifatnya konvensional.
Akan tetapi, apabila ditelisik lebih jauh apa yang menjadi akar permasalahan dan tuntutan yang disuarakan oleh KKB, maka dimensi keamanan tersebut bisa meluas pada dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Akar persoalan di Papua sangat kompleks, sehingga tidak bisa dibatasi dengan satu pendekatan saja untuk memahami dan memformulasi solusinya.
Model penanganan yang dijalankan oleh rezim Presiden Joko Widodo pada dasarnya sudah cukup memadai. Dalam hal keamanan, ada pelibatan Polri yag dibantu TNI untuk mitigasi, kurasi, dan pemulihan (recovery) dari ancaman keamanan yang ada. Dalam hal ekonomi, kebijakan pemerintah yang memprioritaskan pembangunan nasional di Papua melalui formulasi kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi suatu inisiatif yang baik dalam mengangkat Papua agar keluar dari kemiskinan dan alienasi sosial.
Pemerintah menggalakkan pembangunan infrastruktur melalui pembangunan jalan tol Trans Papua, pembangunan jalur kereta api, pembangunan bandara di tiaptiap distrik, serta pembangunan tol laut di 30 pelabuhan. Pemerintah bahkan memperpanjang otonomi khusus Papua yang berakhir pada 2021 sebagai sarana untuk mengakselerasi pembangunan di Papua.
Hanya saja apa yang dilakukan oleh pemerintah di Papua perlu dioptimalkan melalui pendekatan keamanan komprehensif yang lebih saksama. Pendekatan keamanan (bullet approach) dan pendekatan ekonomi (butter approach) perlu diperkuat melalui pendekatan sosial budaya. Apa yang menjadi kearifan lokal masyarakat Papua, bahasa, budaya, adat istiadat, perlu dikedepankan dalam aras pembangunan yang berlangsung di sana.
Pendekatan keamanan yang dijalankan juga perlu diperbaiki dengan mengedepankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia agar pelaksanaan tugas Polri dan TNI lebih humanis, dengan meminimalisir sedikit mungkin potensi pelanggaran hak asasi manusia. Pendekatan ekonomi yang dijalankan harus memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan yang menjadi komponen good and clean governance atau tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Indonesia sebagai bangsa dan negara menatap masa depan secara optimis. Hal ini tercermin dari pencanangan Visi Indonesia Emas 2045, serta banyaknya proyek strategis nasional yang dijalankan oleh pemerintah, salah satunya IKN.
Indonesia juga akan memasuki periode suksesi kepemimpinan yang cukup krusial pada Oktober mendatang, baik pada level legislatif (MPR/DPR/DPD RI) maupun pada level top eksekutif, yakni suksesi kepala negara dan kepala pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke presiden terpilih Prabowo Subianto.
Momen-momen krusial tersebut perlu dijaga agar menjadi momentum kebangkitan Indonesia dengan mewujudkan stabilitas keamanan yang senantiasa kokoh dari waktu ke waktu. Penerapan cara pandang dan mekanisme keamanan komprehensif merupakan kunci utama untuk mewujudkan visi tersebut.*
Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A./Anggota Komisi III DPR RI Periode 2019-2024 & Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024.