JAKARTA – Persekutuan antara pihak-pihak yang sulit dibayangkan bersatu merupakan fitur dalam politik Indonesia. Dan tidak hanya belakangan ini, melainkan sejak dahulu kala waktu Indonesia baru saja meraih kemerdekaannya.
Pada pertengahan 1953, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang berhaluan nasionalis, Nahdlatul Ulama (NU) yang berideologi agamis-tradisional, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berpaham komunisme menyatukan diri.
Terbentuknya aliansi tiga partai tersebut dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, kabinet PNI-Masyumi yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Wilopo jatuh karena perbedaan sudut pandang ideologis dan teknokratis yang ada di dalamnya.
Kemudian, NU juga baru saja menarik diri dari Partai Masyumi. Keluarnya NU membawa 8 kursi dari partai tempat sebelumnya mereka bernaung.
Sementara itu, PKI juga memperhalus pertentangannya terhadap kelompok-kelompok nasionalis dengan mengusung garis politik ‘rezim nasional.’
Dalam kasus ini, PKI juga ingin membuka kesempatan bergabung menjadi satu kekuatan dengan PNI dalam parlemen. Sebab, PKI dengan sendirinya masih lemah waktu itu untuk menjadi kekuatan sendiri di kancah politik nasional.
Pada 1953, mereka dipersatukan oleh kepentingan bersama melawan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di parlemen yang dianggap melenceng dari jalur revolusi Indonesia.
Seperti dalam kasus perebutan Irian Barat, kepemimpinan PNI yang dikepalai oleh Sidik Djojosukarto ingin agar pemerintah terus menekan Belanda hingga mereka menyerah. Mereka juga menuntut pemerintah merundingkan kembali hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dianggap terlalu menguntungkan Belanda.
Tapi, Kabinet Wilopo memutuskan mengikuti garis-garis Wakil Presiden (Wapres) Mohammad Hatta berdiplomasi dengan kesabaran dan kehati-hatian. Hatta sendiri diafiliasikan oleh kubu nasionalis yang radikal dengan Masyumi dan PSI.
Demikian, ketika Kabinet Wilopo jatuh digantikan oleh PM Ali Sastroamidjojo dari PNI pada 1953, kekuatan-kekuatan yang lebih radikal dalam politik Indonesia, terutama PNI dan PKI menggumpalkan diri untuk membangun kekuatan melawan Masyumi dan PSI.
Sebenarnya, baik PNI, PKI, maupun NU bertentangan satu sama lain. Terutama dalam aspek ideologi yang dianut oleh masing-masing pihak.
Seperti dalam rumusan ideologi yang disepakati Kongres Ketiga PNI pada 1948, partai itu mengkritik ‘materialisme historis’, unsur penting dalam ideologi PKI.
Kemudian, partai tersebut juga menolak segala bentuk kediktatoran. Konsep ‘kediktatoran proletariat’ yang lekat dengan ideologi komunis tidak menjadi pengecualian.
“PNI menolak semua bentuk kediktatoran. Dalam perjuangannya, PNI dipandu oleh suatu pemahaman tentang demokrasi yang bersifat menyeluruh,” bunyi dalam Keterangan Azas dan Anggaran Dasar PNI yang keluar dari kongres ketiga partai itu.
Jose Eliseo Rocamora dalam bukunya yang berjudul Nasionalisme Mencari Ideologi: Bangkit dan Runtuhnya PNI 1946-1965 mencatat persatuan antara PNI, PKI, dan NU yang sarat akan kompromi itu.
Dalam perintah rahasia yang dimuat di buku itu, PNI memerintahkan kader-kadernya untuk menjalin ‘hubungan kerja sama yang sebaik mungkin dengan PKI dan NU’.
Awalnya, perintah itu sempat mendatangkan pertentangan dari internal PNI sendiri. Menanggapi itu, Sidik selaku pimpinan partai langsung mengirimkan surat susulan.
Berjudul “Pendjelasan Instruksi Rahasia”, Sidik menerangkan bahwa persekutuan dengan PKI tidak membahayakan PNI.
“Pada saat ini belum perlu menganggap PKI sebagai musuh, selama partai itu tidak mengganggu kita atau menganggap kita sebagai musuhnya,” tulis Sidik seperti yang dikutip oleh Rocamora.
Kemudian, ia juga menerangkan bahwa NU merupakan partai yang berhaluan nasionalis, seperti halnya PNI.
Meskipun NU berlandaskan Islam, partai ini dianggap berakar dalam nasionalisme. Partai tersebut selalu mempertahankan kemerdekaan nasional Indonesia.
Seperti pada masa kini, kepentingan politik menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, sekalipun perbedaan itu terletak di aspek-aspek yang fundamental seperti ideologi.
Dan para pemimpin partai akan melakukan serangkaian kompromi supaya dapat membenarkan aliansi yang telah mereka buat.* (Bayu Muhammad)