1 year ago
7 mins read

Laksamana Sukardi (5-habis): ‘Indosat Nan Jauh di Mato’

Politikus Senior Laksamana Sukardi. (Foto: Totalpolitik.com)

Bagaimana Anda melihat hubungan Bu Mega dengan Pak Jokowi saat ini?

Setelah lama gitu, Jokowi masuk. Ibu Mega sudah ‘diratukan’. Dia sudah merasa jadi ratu. Kalau Jokowi masuk zaman saya, beda pasti. Dengar pidato Mbak Mega kemarin kan, ‘Hai tentara’, ‘jenderal-jenderal’, ‘polisi,’ dan ‘rakyatku.’

Bapaknya (Sukarno) aja nggak ngomong ‘rakyatku.’ Tapi ‘saudara-saudara sebangsa dan setanah air.’ Bukan ‘rakyatku.’

Jadi, Jokowi masuk itu sudah harus menerima kondisi Mega sebagai penentu segala-galanya. Orang atau kader yang progresi atau cerdas, nggak betah di situ. Nggak bakal betah. Saya nggak betah. Jokowi nggak bakal betah. Dia tahan perasaan aja. Menurut saya, ya pasti tahan perasaan.

Sebagai calon pemimpin, paling nggak yang menentukan, presiden dua kali—Bu Mega saja cuma sekali, itu pun lungsuran dari Gus Dur—harusnya di-respect, meritokrasi. Pak Jokowi diajak (diskusi dan lain-lain). Tapi di partai itu, semua orang dan anggota partai itu ‘hamba’. Makanya, keluarlah secara tidak langsung kata ‘petugas partai’. Camaraderie-nya nggak ada. Iya, kan?

Di partai itu, camaraderie-nya harus ada. Rasa seperjuanganlah. Jokowi masuk, nggak dianggap. Nggak dianggap sama sekali. Terakhir-terakhir, Jokowi juga mikir, ‘Gua kan pemimpin politik juga, presiden, masa nggak boleh ikut menentukan?’

Kalau dia dibilang cawe-cawe, Megawati dan Surya Paloh, apa nggak cawe-cawe? Dia (Jokowi) kan lebih berhak juga, sebagai pemimpin politik (pemerintahan). Tapi, kasian juga Jokowi disikapi cawe-cawe. Sedangkan Mega, bukan cawe-cawe lagi, tapi otoriter.

Surya Paloh kurang apa nentuin Anies segala, kan. Itu nggak dibahas juga di partainya. Demokrat, Agus Harymurti Yudhoyono (AHY) ada yang nggak setuju? Ada yang berani ngomong gitu? Jadi cawe-cawe istilahnya.

Jokowi kan kelasnya sudah lebih tinggi dari Mega. Presiden dua kali. Dia (Jokowi) akan nurut kalau keputusannya diambil secara demokratis. Akhirnya, yang progresif pada lari. Budiman, Maruarar Sirait.

Akhirnya, begitulah. Effendi Simbolon sudah. Kalau udah nggak cocok di sana, udah nggak jadi Korea lagi, ya udah. Korea itu pembantu, bukan petugas. Kan feodal. Feodalisme itu antidemokrasi.

Masalahnya itu karena Bu Mega atau orang-orang yang di sekitar Bu Mega yang sudah takut duluan?

Terus terang ya, sekarang petinggi-petinggi, kader-kader, itu hanya mencari kedudukan dan jabatan. Takut itu lepas. Hubungan dengan Ibu Mega nggak horizontal, vertikal. Jadi, sebenarnya yang menentukan itu Ibu Mega.

Sekarang ada gerbong Mbak Puan. Ada gerbong Mas Prananda. Ada beberapa gerbong. Tapi kalau Ibu Meganya udah nggak ada, tidak ada mekanisme pergantian pemimpin. Tidak disiapkan. Itu bahaya. Mega sudah dikultuskan sekarang. Benar-benar dikultuskan.

Kalau Anda punya naluri sebagai demokrat yang bebas bicara dan berpendapat, nggak akan betah di sana. Kecuali, kehidupan Anda tergantung dari posisi dan jabatan Anda di sana. Dan ini tidak hanya di PDI-P, tapi di semua partai.

Jadi bisa dikatakan bahwa pengkultusan itu terjadi karena fobia kehilangan kedudukan atau jabatan dari sosok yang ditokohkan?

Saya kira begitu ya. Mana berani mereka keluar jalur. Bicara lantang pendapat pribadinya, nggak ada. Setiap anggota DPR itu kan wakil dari rakyat di dapilnya, bukan wakil dari partai semata-mata. Kader partai iya, tapi dia wakil rakyat yang harus bersuara. Bebas bersuara, bukan takut bersuara.

Di zaman Pak Harto begitu. Jadi, memang otoriter. Tidak ada kebebasan bersuara. Tapi, memang kalau keputusan diambil secara demokrasi, kalau sudah diputuskan, semua harus ikut.

Tapi kalau putusannya tidak melalui proses yang demokratis, kan banyak yang nggak mau ikut juga. Nggak mengikat juga. Kalau demokrasi, dia terlibat, itu akan mengikat. Dia harus patuh.* (Bayu Muhammad/Chairul Akhmad)

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Dari Ragu Menjadi Komitmen di Dunia Politik

JAKARTA – Mantan Ketua Tim Dokter Kepresidenan sekaligus adik Gus

Perubahan Dinamika Pemilihan dalam Partai Politik

JAKARTA – Mantan Ketua Tim Dokter Kepresidenan sekaligus adik Gus
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88