Jadi kalau rugi sudah bukan urusan pemerintah lagi?
Kalau rugi bukan tanggung jawab pemerintah lagi. Bedanya cuma itu. Kalau dulu rugi, pemerintah yang nanggung. Ini memang sulit dimengerti. Karena orang awam lebih gampang dipolitisir. Sangat mudah dipolitisir oleh mereka.
Akhirnya, selesai Indosat terus ada Fuad Bawazier juga, orang yang vokal. Demo. Sudah masuk pas mau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), akhirnya diketok. Dia (Fuad) sudah masuk, karena ada wartawan banyak bawa kamera, dia keluar lagi. Naik mobil.
Tapi dengan itu saya senang sih. Kalau nggak ada protes kan saya juga akan kurang hati-hati. Karena banyak protes, saya jadi hati-hati. Itu ada kontrol juga. Tapi dulu bersih, nggak kayak sekarang. Mau jadi Direksi BUMN, cari satu orang yang bisa palakin duit. Nggak ada.
Pemerintahan pengen orang partai. Saya bikin fit and proper test. Cemplungin aja situ. Saya bilang, ‘Nggak bisa, bukan perusahaan saya. Fit and proper test aja, nanti hasilnya gimana.’ Termasuk untuk orang dari PDI-P sendiri. Pada waktu itu, Mbak Mega juga mendukung.
Sampai akhir masa jabatan Mbak Mega, Pak Laks masih jadi Menteri BUMN?
Masih. Setelah kalah, kan waktu 2004 didapuk jadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu). Tapi, Taufiq Kiemas nggak suka. TK selalu mau ikut campurlah. Ya, urusan uang. Sampai nggak percaya gitu loh. Silakan saja saya bilang. Saya kan masuk partai juga berkorban duit cukup banyak. Rumah sudah di Kebayoran Baru dari dulu. Rumah Mbak Mega aja di Kebagusan.
Berarti Pak Laks sudah lama tinggal di sini?
Saya dari dulu sudah di sini. Jadi, ngapain Gua ngambil? Nyari duit gitu? Saya juga nggak munafik. Jadi menteri mau makan, dibayarin orang. Mau bayar juga susah. Walaupun saya jarang gitu. Di situ akhirnya kalah. (PDI-P kalah lawan Demokrat pada Pemilu 2004). Saya diganti sama TK.
Setelah kalah, saya bilang, ‘Mbak Mega, ini kita udah kalah nih. Kalau barang, sabun di super market nggak laku. Mesti diganti bungkusnya.’
Ya, Mega (harusnya) dia jadi kayak Pak Hartolah, jadi dewan pembina (bukan ketum lagi). Cari siapalah (buat) peremajaan. Bukan saya juga. Saya malas.
Pak Taufiq datang lalu berkata, ‘Tapi kan ini partai milik keluarga, nggak boleh!’
Susahlah orang itu. Kadang-kadang dia (TK) juga takut sama Mbak Mega. Kalau Mbak Mega ngamuk, ‘Wis, aku ora. Emoh jadi presiden meneh!’ Takut si TK. Nggak jadi apa-apa kan. Akhirnya, TK jadi Ketua MPR zaman SBY. Dia pragmatis, ke mana-mana. SBY nggak suka Mega juga.
Setelah itu, Pak Laks langsung menjauh dari PDI-P atau ada proses lagi?
Saya bilang, ‘Mbak Mega, udahlah saya nggak ikut-ikutan.’ Saya bikin Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Itu sukses. Cuma waktu pemilu banyak kecurangan. Komputer di KPU dimatikan. Terus Antasari mau periksa, dia disikat. Suara kita banyak diambilin.
Demokrat kan dari tujuh persen langsung 20 persen. Setelah itu, balik lagi. Saya juga nggak tahu, kecurangan itu malah terjadi. Makanya, ketika kita ada di tahun politik, degup jantung pergerakan politik itu kita tahu lho. Kemarin di Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), saya juga tahu gimana.
Akhirnya, saya nerusin urusan hukum saja aja. Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI-P udah lepas. Saya bilang, ‘Ya, saya hati tetap merah, nasionalis, tapi saya punya kemerdekaan berbicara.’
Karena saya nggak mau jadi “Korea” gitu loh. Saya dilahirkan ibu saya susah-susah, kok jadi Korea. Ya, kan? Mengkhianati demokrasi dan rakyat sebenarnya.
Sebagai orang yang pernah dekat dengan Bu Mega, apa kira-kira yang bisa Anda gambarkan tentang sosoknya?
Nggak panjang-panjang. Dia orang nasionalis, mengutamakan kepentingan negara, dan pemberani. Dari segi intelektual, dia lebih seperti Ronald Reagan. Jadi, mesti fully scripted. Pidatonya dulu bagus-bagus. Anda dengar, kan?
Masalah Aceh, contohnya. Tapi giliran nggak di-script, udah ngalor-ngidul gitu. Dulu waktu dia baru-baru muncul, dia percaya banget dengan tim. Saya dan Eros Djarot ada di tim inti. Itu kita berdua ebih banyak mewarnai. Pak Taufiq nggak boleh ikut.
Setelah itu, waduh. Kalau kita bisa bilang, ‘Mbak, ojo ngonoloh Mbak!’ Kita masih bisa ngomong gitu. Kalau sekarang, boro-boro orang berani ngomong. Pada bilang sudah diskusi, sudah apa? Nggaklah, nggak ada itu. Semuanya dulu kan lingkaran jauh. Rapat mungkin di luar. Sekarang, orang nggak tahu alam perjuangannya. Dianggap Megawati sudah jadi ratu, dikultuskan.
Dan dia memang rada klenik banget. Dia percaya—dan pengikutnya percaya—dia bisa berdialog dengan arwah Bung Karno. Iya, betul. Menurut Mega, Harto klenik juga. Dan yang sekarang, kayaknya teman-teman Puan nggak tahu alam perjuangan dulu. Mereka merasa harus mengamankan posisi, jabatan, uang, dan lain sebagainya.