Pengadilan Korea Selatan sudah kirim surat ke Hyundai. Kalau sudah jadi (tankernya), tolong diserahkan (ke Karaha Bodas). Jangan dikasih ke Pertamina. Nah, kan ada yang belum lunas juga. Masih cicilan.
Mau diserahkan (tankernya), ‘BPKB-nya’ belum ada. Punya siapa? Nggak tahu. Saya bilang, Pertamina cepat jual dalam kondisi susah seperti itu. Ya, jual dengan lelang internasional. Kan, bisa laku. Untung lagi. Atau kalau kita cuek aja, ya paling diambil. Nggak ribut kan. Saya juga nggak jadi masalah, bener nggak?
Lelang internasional itu berjalan dengan terbuka. Dan akhirnya, Pertamina untung USD 53 juta. Lumayan, daripada diambil nggak dapat apa-apa. Yang udah kita bayar malah hilang. Bisa USD 200 juta hilangnya. Akhirnya, saya nggak tahu. Saya udah selesai (tidak jadi menteri lagi). KPPU keluar.
Dia bikin kerugian di amar putusannya ada USD 13 juta belum dibayar dan dikorupsi oleh saya katanya. Lah, KPPU menentukan kerugian negara adalah akibat persaingan usaha yang timbul. Bukan karena tindak pidana korupsi. Itu beda badan. Undang-undangnya juga beda. Saya yang bikin undang-undang KPPU.
Terus saya dibilang Presiden Komisaris Pertamina, Menteri BUMN harus lapor kepada pemegang saham. Masa dia ikut-ikut urusan perseroan terbatas? Dan dibilang saya tidak lapor ke menteri keuangan. Itu bukan urusan dia. Walaupun Pak Boediono (Menteri Keuangan) juga sudah tanda tangan dulu.
Saya bilang, ‘Pak Boed, ini kalau you nggak tanda tangan, kita serahkan aja, diambil.’
‘Wah, jangan!’ kata dia
Jadi, mengenai persaingan usaha itu masuk ke ranah Tipikor. Masuk ke ranah izin-izin di perseroan terbatas. Kan undang-undang perseroan terbatas nggak boleh. Misalnya nih, Kompas TV beli SCTV, beli RCTI, kan jadi monopoli.
Nah, sampai di situ oke. Tapi KPPU bilang sah atau nggak sah, ‘karena Direksi Kompas TV waktu beli itu nggak minta izin Jacob Oetama (pemilik Kompas)’. Kan bukan wewenangnya dia. Banyak ngaconya. Tapi memang sudah by design.
Siapa mastermind-nya menurut Pak Laks?
Setelah itu, saya banding dan menang. Di Pengadilan Negeri menang. Nah, di Mahkamah Agung (MA) mendadak kalah. Ada yang pesan gitu. Diumumkan kalah, tapi berkas kita nggak terima. Setelah saya kalah, saya keluar dari PDI. Kasus kalah, PDI-P dan Demokrat bikin pansus. PDI-P yang bego didorong-dorong juga sama Demokrat.
Gayus Lumbuun, Ketua Komisi III, ada di situ. Bambang Pacul ada di situ. Waktu pansus, saya datang. Tuduhan korupsi dari KPPU, semuanya amar keputusan KPPU, di copy-paste saja sama pansus. Jadi keputusan pansus.
Saya sudah bilang, ini USD 13 juta katanya belum dibayar. Loh kalau saya ambil KPR Anda, masih KPR rumah saya beli. Kan ada sebagian yang belum lunas. Saya bayar yang sudah lunas, tambah berapa sisa yang belum beres, saya bayar ke developer dong.’
Udah dijelasin, bego banget. Malah keputusan pansusnya ada lagi, ‘Dikorupsi Laksamana Sukardi, dan harus dibatalkan karena belum dibayar.’
Bagaimana mana mau dibatalin? Sudah bagus kita bisa jual. Duit sudah masuk negara. Sudah untung kok. Akhirnya, KPK juga panggil saya. KPK periksa-periksa, nggak ketemu. Saya jelasin. KPK lalu dipanggil pansus.
‘Nggak mungkin (nggak ada korupsi),’ kata si Gayus. ‘Sudah, kita jangan mengagung-agungkan KPK, serahkan ke kejaksaan.’ Akhirnya diambilalih oleh Kejaksaan Agung. Pansus maki-maki saya, pokoknya saya harus masuk penjara.
Saya jadi tersangka di kejaksaan karena tekanan DPR. Sampai 18 bulan saya dicekal. Akhirnya, kita proses Peninjauan Kembali (PK). Di PK, saya menang. Karena nggak ada kerugian negara. Kerugian negara itu harus ditentukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bukan cap-cip-cup gitu aja.
BPK bilang nggak ada kerugian negara, malah diuntungkan USD 53 juta. MA menangin saya. Jelas, nggak ada kerugian negara. Bahkan, negara diuntungkan USD 53 juta. Jelas di putusan MA.
Akhirnya, kejaksaan diganti. Gelar perkara lagi. Panggil KPK, BPK, semua. Emang nggak ada case. Udah gitu pengadilan juga udah menguatkan. Akhirnya, di-SP3. SP3 ini bikin marah Gayus. Suruh balik lagi ke KPK. ‘Suruh tangkap aja Laksamana.’
Akhirnya, saya bebas. Tapi udah menjadi gugur saya berapa tahun. Saya nggak bisa bergerak ke mana-mana. Sementara, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga terus panggil-panggilin.
BLBI itu SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) mau ngehantam Megawati. Tapi, nggak bisa langsung. Saya yang disikat. Belum urusan BUMN. Saya punya amplop coklat pemanggilan sampai segini banyaknya. Jadi, nggak fair gitu loh. (bersambung)