1 year ago
3 mins read

Pasang Surut Demokrasi dalam Sejarah Dunia

Ilustrasi demokrasi. (Foto: Salon)

JAKARTA – Ibarat ombak di tepi pantai, demokrasi juga mengalami pasang dan surut dalam sejarah peradaban manusia. Suatu saat demokrasi datang dengan gelombang tinggi, tidak lama kemudian ia kembali turun hingga sampai ke titik terendahnya.

Samuel P Huntington, dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, mencatat gelombang pasang dan gelombang surut demokrasi.

Gelombang pasang demokrasi yang pertama terjadi antara tahun 1828 sampai 1929. Sebetulnya, gelombang itu sudah membangun pasangnya sejak Revolusi Amerika dan Perancis pecah pada abad ke-18. Akan tetapi, demokrasi baru muncul sebagai lembaga pada abad ke-19.

Huntington menggolongkan suatu negara demokratis pada saat itu apabila sudah memenuhi beberapa kriteria. Pertama, separuh penduduk dewasanya bisa ikut pemilihan umum.

Kedua, pemerintahan eksekutif mempertahankan dukungan mayoritas di parlemen atau dipilih dalam pemilihan umum (pemilu) untuk berkuasa. Nantinya, mereka akan bertanggungjawab kepada para pemilih.

Sekitar 1828, Amerika Serikat (AS) memenuhi dua kriteria tersebut. Penghapusan syarat-syarat memiliki properti untuk ikut dalam pemilu di beberapa negara bagian dan pembentukan negara-negara bagian baru dengan hak pilih universal meningkatkan jumlah pemilih. Mulai saat itu, gelombang pasang demokrasi pertama menerpa dunia.

Sepanjang 1828-1929, sebanyak 33 negara menjadi demokrasi. Beberapa di antaranya adalah Australia, Inggris, Chili, Jerman, Italia, dan Argentina. Jerman dan Italia menjadi contoh yang menarik karena setelah 1929, mereka berubah jadi negara otoriter dan menjadi kekuatan pokok yang mendorong gelombang surut demokrasi pertama.

Di antara 1922 sampai 1942, terjadi gelombang surut demokrasi yang dimulai di Italia. Pemimpin kaum fasis di Italia menggerakan March on Rome, yaitu baris-berbaris panjang ke kota Roma dalam rangka menggulingkan pemerintahan yang lemah dan korup.

Setelahnya, banyak negara di dunia yang bergeser dari demokrasi. Bahkan, ada yang menjadi otoriter, seperti halnya Jerman ketika dikuasai oleh Adolf Hitler dan Partai Nasional Sosialis (Nazi) nya selama Perang Dunia Kedua berlangsung.

Pada saat yang bersamaan, pemerintahan demokratis yang rentan di Lithuania, Polandia, Latvia, dan Estonia digulingkan oleh kudeta militer.

Waktu itu, ideologi-ideologi fasis, komunis, dan militer sedang naik daun dan mendapatkan popularitas di kalangan masyarakat. Di negara-negara yang demokratis sendiri, permasalahan-permasalahan yang seperti depresi ekonomi 1930 mendatangkan simpati kepada ideologi-ideologi tersebut.

Kala itu, 22 negara beralih dari demokrasi menjadi otoriter. Beberapa di antaranya adalah Italia dan Jerman.

Gelombang kedua

Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, terjadi gelombang pasang demokrasi yang kedua. Beberapa negara menjadi demokrasi berkat pendudukan kekuatan Sekutu atas pihak-pihak yang kalah.

Lembaga-lembaga demokrasi dipromosikan di Jerman Barat, Italia, Austria, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel) oleh tentara pendudukan sekutu.

Di saat yang sama, demokrasi juga muncul dan berkembang di beberapa negara yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya dari kekuatan-kekuatan imperialis yang sedang melemah.

Sepanjang 1943-1962, terdapat 41 negara demokrasi yang nambah. Dan peningkatan itu ditemukan di seluruh benua.

Dekolonisasi melahirkan demokrasi di berbagai tempat. Beberapa di antaranya adalah Malaysia, India, Filipina, dan Israel. Revolusi kemerdekaan juga membidani demokrasi di Indonesia pada saat ini.

Tapi sama dengan sebelumnya, gelombang pasang demokrasi kedua juga ada surutnya. Banyak demokrasi yang berguguran karena kudeta militer.

Gelombang surut demokrasi kedua ini bermula ketika militer ikut campur dalam pemilu di Peru tahun 1962. Peristiwa tersebut melahirkan kepemimpinan sipil yang bisa diterima oleh sipil. Tapi, ia dikudeta kembali oleh pihak militer pada 1968.

Setelah itu, demokrasi menemukan ajalnya dengan cara yang sama di berbagai negara. Pada 1964, kudeta militer di Brazil dan Bolivia menggulingkan pemerintahan sipil. Hal yang serupa terjadi di Argentina, Ekuador, dan Chili di kemudian hari.

Bersamaan dengan itu, Pakistan menegakkan darurat militer. Syngman Rhee di Korsel menggerus prosedur-prosedur demokratis hingga menjadi lemah. Ferdinand Marcos di Filipina mengambil langkah yang sama dengan Pakistan.

Di Indonesia sendiri, militer mengakhiri ‘Demokrasi Terpimpin’ Sukarno dan mengambil alih kekuasaan sipil. Presiden Suharto yang meneruskan Sukarno akan berkuasa berbekal dukungan militer sampai 1998.

Gelombang surut demokrasi kedua ini akan bertahan hingga 1975. Dari 1962, sebanyak 22 negara demokrasi berkurang.

Gelombang ketiga

Masa-masa sedih dan sulit tidak akan bertahan selamanya. Gelombang ketiga demokrasi terjadi. Hal itu ditandai dengan runtuhnya junta-junta militer di berbagai negara yang ada di seluruh belahan dunia.

Pada tahun 1974, junta militer di Portugal jatuh. Tiga bulan setelahnya, junta militer di Yunani yang telah memerintah sejak 1967 juga mengalami nasib yang sama. Kematian Francisco Franco di Spanyol membuka jalan bagi Raja Juan Carlos untuk mengadakan pemilu untuk susunan parlemen baru.

Hal serupa juga terjadi di negara-negara Amerika Latin, mulai dari Bolivia, Argentina, Brazil, hingga Guatemala.

Menurut Huntington dalam ‘Democracy’s Third Wave’ gelombang pasang ketiga ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satunya adalah legitimasi rezim-rezim militer yang semakin lemah. Pemerintahan mereka dianggap gagal oleh rakyat, terutama di bidang ekonomi.

Pada 1986, Marcos tumbang karena revolusi People’s Power rakyat Filipina. Ia digantikan oleh Corazon ‘Cory’ Aquino, pasangan Benigno Aquino, pejuang demokrasi yang dibunuh rezim.

Pemerintahan Orde Baru Suharto juga menghadapi nasib yang serupa beberapa tahun kemudian. Setelah tiga dekade hengkang, demokrasi kembali ke Indonesia.

Sejak tahun 1974, terdapat penambahan 35 negara demokrasi. Dalam gelombang pasang demokrasi kali ini, jumlah negara demokrasi meningkat jadi 65.

Demikian adalah gelombang pasang-surut demokrasi sepanjang abad ke-20. Sepertinya, demokrasi disertai oleh siklus jatuh-bangun yang abadi.

Tapi tidak hanya itu yang abadi. Pada 1957, Senator John F Kennedy (JFK), mengatakan baik komunisme maupun kapitalisme bukanlah kekuatan yang terbesar di dunia.

Di hadapan Presiden Dwight D Eisenhower, JFK mengatakan kalau kekuatan terbesar di dunia adalah kehendak abadi manusia untuk bebas dan merdeka.

Kehendak abadi itu mungkin jadi alasan di balik kemampuan demokrasi untuk terus membangun gelombang pasang setiap kali surut terjadi.* (Bayu Muhammad).

Baca juga:

Kemunculan Partai Politik Pertama di Inggris

Menyelisik Asal-Usul Demokrasi

Demokrasi Athena dalam Elegi Perikles

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

‘Demokrasi sebagai Pilar Kunci’

JAKARTA – Wakil Kepala Staf Kepresidenan, Muhammad Qodari, menyatakan Presiden

Optimisme Indonesia Menjadi Pemain Kunci

JAKARTA – Kepala BKPM 2005-2009 & Menteri Perdagangan 2020-2022, Muhamad
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88