7 months ago
3 mins read

Zulfan Lindan (3): Dekat Mega karena Taufiq

Politikus Senior Zulfan Lindan. (Foto: Dok. Total Politik)

 JAKARTA – Saat menjadi wartawan Harian Pelita, Zulfan berkonflik dengan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Abdul Gafur, setelah ia digantikan oleh Akbar Tanjung.

Akbar yang merupakan the raising star di Golkar menggantikan posisi Gafur sebagai Menpora. Saat Gafur masuk ke Pelita, ia terlibat konflik dengan Zulfan.

“Konfliknya bukan karena persoalan apa-apa. Dia memberhentikan banyak sekali wartawan dan karyawan. Ya, kita tolak. Kita lawan,” tegas Zulfan.

Setelah itu, Anda berkarier di mana?

Akhirnya, saya berhenti dari Pelita. Pada 1988 hingga 1990 itu, saya aktif lagi di kampus. Saya menjadi Kepala Humas di Unas. Saat itu, rektornya Prof. Achmad Baiquni, yang ahli nuklir itu. Setahun di situ, saya pikir-pikir ternyata di kampus itu enak juga.

Kemudian saya diajak oleh Saifullah Yusuf ketemu dengan Gus Dur. Ketemu sama Gus Dur, kita ngobrol segala macam. Saiful bilang, ini Eros Djarot mau bikin tabloid Detik. “Oh masukin Zulfan dong,” kata Gus Dur. “Zulfan gabung di situ.”

Bergabunglah saya di situ, tetapi tidak lama. Karena saya pikir bagi-bagi tugaslah. Saya bilang, “Saya dampingin Gus Durlah.” Jadi lama saya dampingi Gus Dur, dari 1990 sampai 1994. Namun, saat Gus Dur menjadi presiden, saya pisah dengan Beliau.

Pisah dengan Gus Dur, kembali jadi wartawan?

Tak lama kemudian, kan Detik itu dibredel. Saya sudah capek aktif jadi wartawan. Tapi sebelum kasus Detik itu, saya kebetulan dekat dengan anak Pak Adam Malik (mantan Wakil Presiden). Namanya Mas Ilham Malik, sudah almarhum.

Dia take over beberapa majalah hiburan, salah satunya Vista. Dulu majalah otomotif dan majalah film. Saya diminta membantu di redaksi. Tapi akhirnya saya nggak tahan juga. Ya sudah, saya mendirikan perusahaan konsultan. Dalam perusahaan konsultan ini, ya jalan sendiri. Saya jadi konsultan sejumlah perusahaan dan bank.

Siapa saja kliennya?

Sempat juga menjadi konsultan komunikasi dan riset Bimantara (salah satu perusahaan milik Keluarga Cendana). Kemudian, terjadi krisis moneter pada 1997. Saat krismon itu, saya kembali bertemu Saifullah Yusuf. Dia memperkenalkan saya ke Pak Taufik Kiemas. Setelah itu, saya intens bertemu dengan Pak Taufik. Dengan Ibu Mega juga saya sering bertemu. Saat itu, mereka masih tinggal di Kebagusan.

Apakah perusahaan Anda juga terdampak krisis?

Ya sudah, kita nggak bisnis lagi. Betul-betul all out di politik. Sampai terus terjadi (peristiwa) 27 Juli. Setelah 27 Juli, keadaan sepi. Saya punya ide yang saya sampaikan kepada Pak Taufik. “Mas, bagaimana kalau kita bikin pengajian di rumah? Masa kita pengajian di rumah masih dilarang juga?”

“Pengajian apa, Zul?” tanya Mas Taufik.

“Ya, kita baca Surat Yasin. Setiap malam Jumat saja.”

Ya sudah, kita pun mencetak cetak buku Yasin. Memang niat kita cetak itu untuk mengenang peristiwa 27 Juli. Jadi yang baca doa dan Yasin di rumah Kebagusan itu pertama-tama saya, Pak Taufik, Ibu Mega. Kalau nggak salah Puan juga ikut, ada juga pembantu. Sekitar enam orang totalnya.

Berarti orang luar tak ada yang ikut ngaji?

Memang kita khususkan untuk orang dalam. Karena waktu masuk melewati rumah Ibu Mega nggak gampang. Rumah itu disterilkan oleh Kopassus. Mereka berjaga di depan sambil membawa bayonet. Mereka monitor siapa yang masuk.

Jadi, mobil saya baret-baret itu kiri-kanan. Karena pagar rumah adalah pohon bonsai. Kalau kita lewat, itu ujung bayonet kelihatan. Antara rumah dengan pintu pagar itu kira-kira hampir 150 meter jaraknya. Rumahnya kecil, cuma tanahnya luas.

Saat itu, Anda sudah jadi orang dalam di lingkaran Bu Mega, dong?

Jadi, setiap hari dengan Pak Taufik itu kami intens berkawan saja. Sebab, Pak Taufik ini kan pagi-pagi itu perlu teman. Sementara kawan-kawan aktivis itu biasanya tidur habis Subuh. Yang bisa datang pagi itu saya. Karena yang bisa dihubungi pas bangun pagi itu saya.

Jadi, di situlah sangat aktif intens dengan Mas Taufik. Selain itu, intens juga dengan Gus Dur. Jadi, Mas Taufik-Gus Dur, Mas Taufik-Gus Dur. Sementara Syaiful sudah asyik sendiri. Dia sudah ke mana-mana. Dia kan komunikasinya luas dengan kalangan NU.

Bagaimana dengan kelahiran PDI-P?

Dari situ, setelah Kudatuli, kita terus kita berpikir bagaimana kemudian tidak lagi bicara tentang Partai Demokrasi Indonesia (PDI), tapi bikin partai baru. Diskusinya sangat panjang waktu itu, apakah mau ambil-alih PDI lagi atau mau bikin partai baru? Akhirnya, kesimpulannya kita pakai partai baru dengan nama PDI-Perjuangan (PDI-P). Setelah itu, mulai sibuk kita sampai tahun 1998.

Apakah saat itu berkonsolidasi juga dengan orang-orang PDI lama yang diambil Soerjadi atau bagaimana?

Nggak, ini sudah banyak orang baru semua. Nggak ada lagi itu orang-orang PDI lama. Mereka pada masa itu ada saat Orde Baru (Orba) masih berkuasa. Barulah menjelang Pemilu 1999, itu pun nggak ada orang PDI lama yang ikut. Opung (Panda Nababan) itu sebenarnya lebih kepada pertemanan dengan Taufik Kiemas. Bukan karena konflik PDI-P. Dia lebih pada personal. Karena waktu itu kan terus terang galau juga kan.

Jadi kalau kita lihat, tahun 1998 kita mulai konsolidasi dan persiapan. Kongres pertama PDI-P kan di Bali, tahun 1998. Persiapan untuk pemilu pertama. Setelah itu, sudah sibuk banget. Sudahlah kita cari siapa saja, tukang becak kek. Siapa yang mau, pokoknya politisi. Apalagi di Sumatera itu. Pokoknya, terisilah. Sebenarnya, kalau tidak dicurangi kita bisa raih 40 persen lebih suara. (bersambung)

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Tantangan Anies Membuat Parpol Baru

JAKARTA – Politisi senior, Zulfan Lindan, memberikan saran kepada mantan

Maju Pilpres Lagi, Anies Harus Jadi Oposisi

JAKARTA – Jurnalis Senior Tempo, Bambang Harymurti, menilai keberhasilan mantan