Kenapa memilih Bali sebagai tempat pertama?
Bisa dibilang kepindahan saya ke Bali tahun 2010 itu murni kebetulan.
Apa karena pariwisatanya?
Ya, tapi pada 2010 situasinya berbeda. Saat itu Bali belum sepopuler sekarang. Saya orang Ukraina. Saya sempat hidup di Kyiv, dan teman saya bilang, kamu tahu, saya dulu punya karier yang cukup sukses di industri perbankan di Ukraina. Tapi semuanya hancur pada 2008 saat krisis finansial global. Setelah itu, setahun atau dua tahun kemudian, saya berpikir, “Oke, apa yang harus saya lakukan?” Lalu teman saya bilang, “Ayo ke Bali.” Kita bisa bekerja sekaligus berlibur.
Ada perusahaan di sana, kita bisa coba beberapa bulan. Akhirnya saya bilang, ayo saja. Jadi pada 2010, untuk pertama kalinya saya datang ke Indonesia, ke Bali. Hanya butuh satu atau dua hari untuk saya jatuh cinta dan berkata pada diri sendiri, “Saya ingin tinggal di sini.” Ada dua alasan utama: yang pertama cuaca. Di Ukraina, seperti yang kamu tahu, musim dingin sangat keras. Cuacanya ekstrem. Di sini cuacanya luar biasa. Yang kedua: orang-orangnya. Orang-orangnya luar biasa ramah. Semua orang Indonesia itu baik, terbuka, selalu tersenyum, dan mudah diajak bicara. Alasan ketiga: peluang bisnis. Saya melihat banyak sekali peluang bisnis yang bisa dikembangkan di sini, lebih cepat dibanding di negara lain.
Jadi saya kembali ke Ukraina, berkemas, dan berkata kepada orang tua saya, “Selamat tinggal, saya akan pindah ke sana.” Dan itulah awalnya kenapa Bali jadi rumah saya. Ketika pertama kali membuka klub di Bali, alasannya sederhana, karena itu rumah saya. Dan waktu itu, bisnis saya sebelumnya di Ukraina sudah jatuh karena krisis. Tapi di Bali, peluang baru muncul, dan sejak saat itu semuanya berkembang.
Apakah Anda juga menggelar kompetisi antar klub atau antara antara pemain profesional?
Betul. Kami mengorganisir semuanya sendiri. Misalnya, turnamen pertama kami digelar pada November 2017. Setelah itu, kami rutin mengadakan turnamen seperti Liga Tennis Open. Beberapa hari lalu kami baru saja mengadakan yang terbesar dengan 246 pemain dari 28 negara. Sejak klub pertama dibuka, kami selalu mengadakan Liga Tennis Open setiap tahun. Tahun lalu ada 340 pemain, termasuk pemain Piala Davis. Kadang juga ada selebritas dari luar negeri. Hampir setiap bulan kami adakan turnamen di klub-klub kami.
Apakah Anda tidak tertarik untuk menggelar turnamen antar sekolah, misalnya dari tingkat SD hingga SMA?
Ya, benar. Jumlah anak-anak Indonesia yang benar-benar aktif berolahraga tidak banyak. Anak saya berusia 8 tahun, dan saya lihat anak-anak di sini terlalu sibuk sekolah dan les. Karena itu kami bekerja sama dengan lembaga seperti PELTI (Persatuan Tenis Seluruh Indonesia) untuk menggelar turnamen junior nasional. Kami rutin mengadakan berbagai turnamen, baik mingguan maupun tahunan, di banyak klub.
Bagaimana dengan padel saat ini, berapa lama menurut Anda tren olahraga ini akan bertahan?
Padel akan terus tumbuh. Sekarang lapangan padel sedang banyak dibangun. Ketika jumlahnya terlalu banyak, harga sewa akan turun, dan olahraga ini jadi lebih terjangkau. Dulu main padel bisa Rp500.000 per jam, nanti mungkin hanya Rp150.000. Artinya, masyarakat menengah ke bawah pun bisa ikut bermain. Akan ada pergeseran sosial: dulu sopir Gojek hanya mengantar pemain ke lapangan padel, nanti mereka sendiri bisa ikut main.
Kami di Liga Tennis tetap mempertahankan posisi premium—seperti orang yang memilih beli iPhone atau Mercedes. Jadi ada kelas dan nilai yang jelas. Dengan 285 juta penduduk, pasar Indonesia sangat besar. Ketika biaya bermain turun, makin banyak yang akan ikut bermain. Saya yakin nanti akan ada puluhan ribu lapangan padel di Indonesia.
Apa keunggulan Indonesia dengan Eropa misalnya, dalam hal bisnis lapangan padel?
Keunggulan Indonesia adalah iklimnya. Di Eropa, membangun lapangan padel mahal karena harus indoor, ada pemanas dan pendingin. Di sini cukup outdoor, cukup beratap, dan bisa beroperasi sepanjang tahun.
Oya, siapa pemain tenis favorit Anda?
Novak Djokovic. Bukan hanya karena saya kenal dia secara pribadi—pada 2019, ketika kami membuka klub pertama, Djokovic datang ke klub saya di Bali. Sebelum bertemu langsung, saya pikir dia orang yang keras dan pemarah. Tapi ternyata dia dan istrinya sangat rendah hati. Kami banyak bicara soal keluarga. Kami juga sempat bertemu lagi di turnamen-turnamen lain.
Misi Liga Tennis
Sejak klub komersial pertamanya dibuka pada 2019, Liga Tennis berkembang cepat. Kini, jaringan ini memiliki tujuh klub aktif di seluruh Indonesia. Salah satu kunci kesuksesan Liga Tennis adalah model bisnisnya yang tidak biasa. Mereka beroperasi di bawah perusahaan induk Liga Tennis Sports Management, yang mengelola seluruh klub dan staf secara profesional.
Model ini, menurut Dmitry, terbukti menarik banyak investor, termasuk dari luar negeri. “Banyak yang tertarik karena sistemnya efisien dan transparan,” ungkap Dmitry. “Mereka cukup percaya pada kami, dan kami pastikan hasilnya nyata.”
Selain infrastruktur fisik, Liga Tennis juga menghadirkan solusi digital. Melalui aplikasi Liga Tennis, pengguna bisa memesan lapangan, memilih pelatih, hingga membayar secara cashless.
“Kami ingin orang bisa main tenis atau padel semudah memesan ojek online. Semua olahraga raket—tenis, padel, pickleball, atau squash—bisa diakses dari satu aplikasi,” paparnya.
Bagi Dmitry, Liga Tennis bukan sekadar bisnis, melainkan misi hidup. Ia ingin menjadikan olahraga raket sebagai medium perubahan sosial: membangun kebugaran, persahabatan, dan gaya hidup aktif di tengah masyarakat modern.
“Olahraga ini menyatukan orang dari berbagai latar belakang. Kalau kami bisa membantu satu orang hidup lebih baik lewat olahraga raket, itu sudah cukup. Itulah misi kami,” tandasnya.*
