Bagaimana awal mula ide Liga Tennis muncul?
Saya mulai bermain tenis pada tahun 2016. Sebelumnya, saya sama sekali belum pernah menyentuh raket tenis. Saat itu saya berusia 32 tahun, dan seorang teman menawarkan beberapa pelajaran gratis dengan pelatih di Bali. Saya sendiri sudah tinggal di Indonesia sejak tahun 2010, jadi bisa dibilang Bali sudah menjadi rumah saya.
Awalnya saya tidak terlalu tertarik, tapi akhirnya saya mencoba juga. Begitu masuk ke lapangan, saya langsung jatuh cinta pada olahraga ini, dan tenis benar-benar mengubah hidup saya.
Beberapa bulan setelah mulai bermain, saya mulai ingin bermain secara kompetitif. Saya ingin ada sistem untuk mencatat skor dan melihat hasil pertandingan seperti di liga profesional. Dari situlah ide untuk membuat platform Liga Tennis lahir. Saat itu saya mulai mengembangkan situs web, belum berupa aplikasi, hanya platform berbasis web.
Kisahnya cukup menarik, karena saat saya memulai proyek ini, istri saya sedang hamil. Anak kami lahir pada 14 Februari 2017, tepat di Hari Valentine. Kami menamainya Justin Valentine. Pada hari yang sama, programmer saya mengirim pesan: “Website-nya sudah siap.” Saya menjawab, “Bagus, langsung tayangkan!” Jadi, pada tanggal 14 Februari 2017 itu, dua hal lahir bersamaan—anak kami dan Liga Tennis.
Bagaimana perkembangan selanjutnya?
Beberapa bulan setelah situs diluncurkan, kami mendapatkan ribuan pengguna yang mendaftar. Saat itu saya mulai berpikir, ada begitu banyak komunitas tenis di mana-mana, tapi belum ada satu wadah atau pusat tempat mereka bisa berkumpul, bersosialisasi, dan bermain bersama. Dari situ saya mulai bermimpi untuk membangun klub tenis pertama kami.
Tentu saja waktu itu saya tidak punya modal apa-apa. Tapi setahun kemudian, mantan bos saya di Ukraina—dulu saya bekerja di bidang periklanan di sebuah bank—menghubungi saya. Ia bilang ingin berinvestasi di Bali. Saya pun menawarkan ide klub tenis sebagai proyek investasi, dan ia tertarik.
Kami lalu mencari lahan, dan akhirnya menemukan tempat yang ideal. Saya sempat ke Jakarta untuk bertemu pemilik lahan dan bernegosiasi. Kami mendapatkan kesepakatan yang bagus, dan rencananya investasi akan segera dijalankan. Namun, dua hari kemudian, mantan bos saya itu tiba-tiba berubah pikiran dan membatalkan rencananya.
Lantas apa yang Anda lakukan?
Pada akhirnya hanya saya dan istri yang melanjutkan. Istri saya orang Bali, dan kami menjaminkan rumah kami ke bank untuk mendapatkan modal. Kami benar-benar mengambil risiko besar, all in. Tapi kami percaya pada ide ini, dan akhirnya klub pertama berhasil berdiri pada tahun 2019.
Awalnya kami tidak punya niat untuk membuat jaringan atau waralaba. Namun sekarang, kami sudah memiliki model investasi dan kemitraan yang menarik. Sekitar 70% investor berasal dari luar negeri dan sisanya dari Indonesia, terutama dari Jakarta.
Adakah visi dan misi khusus dalam membangun bisnis ini?
Jadi begini, waktu kami membangun klub pertama, tujuannya hanya untuk tempat bermain. Saat itu saya dan istri masih punya perusahaan travel dan juga bisnis event organizer. Tapi karena ternyata bisnis ini juga cukup menguntungkan secara finansial, kami teruskan saja. Klub pertama itu dibuat lebih karena hobi. Lalu klub kedua berdiri karena ada teman yang mengajak buka di area lain di Bali. Setelah itu, kami buka klub ketiga. Namun saat itu kami belum terlalu berpikir komersial. Kami sadar ini menghasilkan uang, tapi tujuan utamanya bukan uang.
Nah, setelah punya dua klub, kami mulai berpikir: apa sebenarnya misi kami? Kami berdiskusi dengan tim, seperti Jordan, direktur kami di Bali yang juga pelatih pertama saya. Kami mulai merumuskan misi. Misi itu penting, karena menjawab pertanyaan utama: kenapa kami melakukan ini? Misi kami adalah menginspirasi orang untuk hidup lebih baik melalui olahraga raket. Atau dengan kata lain, mengubah dunia melalui olahraga raket. Karena olahraga ini telah mengubah hidup saya dan banyak orang lain, membuat mereka lebih sehat, menemukan komunitas baru, dan sebagainya.
Lalu kami pikir, bagaimana caranya mewujudkan misi itu? Ada dua opsi: melalui aplikasi, artinya kami masuk ke bisnis pengembangan perangkat lunak, atau dengan membangun infrastruktur klub fisik. Kami memilih membangun klub, tempat orang bisa datang dan anak-anak bisa belajar memegang raket untuk pertama kali. Semuanya berkembang dari situ.
Dan sejak kami membuka klub pertama yang benar-benar komersial pada tahun 2019, itu adalah klub raket pertama di Indonesia yang dibangun sepenuhnya untuk tujuan bisnis. Sekarang, orang mulai sadar bahwa ini bisnis yang bagus, sama seperti tren padel saat ini. Bahkan beberapa mal sudah mulai tertarik membangun lapangan padel. Dan secara finansial, kami bisa dibilang sangat sukses.
Apakah pemain atau pengunjung di klub Anda lebih banyak orang lokal atau asing?
Sekitar 50:50 di Bali. Tapi tentu saja di kota lain seperti Jakarta, mayoritas sekitar 99% adalah orang Indonesia. Karena sebagian besar klub kami masih di Bali, komposisinya sekarang masih 50% Indonesia dan 50% asing.
Bagaimana dengan Surabaya? Apakah ada rencana ekspansi ke sana?
Itu target kami berikutnya. Kami belum buka di sana, tapi sedang menjajaki kerja sama dengan beberapa pihak di Malang dan Surabaya. Kami sudah menyelesaikan gambar arsitektur dan segera akan memulai tahap pembangunan.
Bagaimana dengan sistem keanggotaan? Apakah berbasis bulanan?
Permintaan sangat tinggi. Di beberapa kota kami belum menerapkan sistem membership penuh, tapi di tempat seperti Malang kemungkinan akan ada, karena komunitasnya lebih kecil dan mereka ingin lebih terikat. Untuk sekarang, semua layanan dilakukan lewat aplikasi—seperti memesan lapangan, memilih pelatih, atau membayar. Semuanya cashless.
Melalui aplikasi, pengguna bisa memilih mau main tenis, padel, pickleball, atau squash. Semua terintegrasi dalam satu sistem. Kalau pengguna tinggal di area klub, mereka bisa membeli paket pelajaran, misalnya 10 atau 20 sesi dan mendapat bonus. Jadi mereka tidak perlu sistem keanggotaan klasik karena permintaan sudah sangat tinggi.
Berapa banyak karyawan di tiap klub?
Rata-rata antara 25 sampai 45 orang per klub.
Termasuk pelatih?
Ya, termasuk pelatih dan staf. Biasanya sekitar 15 orang adalah pelatih, sisanya staf pendukung.
Apakah setiap klub dipimpin oleh manajer atau direktur?
Ya. Model bisnis kami sekarang di bawah satu perusahaan induk: Liga Tennis Sports Management. Jadi kami yang mengelola semua klub dan staf. Jika Anda adalah investor, Anda cukup membangun klub, membeli atau menyewa lahan, lalu menyerahkan pengelolaannya pada kami. Anda tidak perlu repot, kami yang urus semuanya dan Anda menerima pembayaran rutin. Kami bukan sistem waralaba (franchise), tapi full-service management company. Sistemnya mirip seperti maskapai penerbangan, contohnya AirAsia yang mengelola pesawat milik investor.
Jadi Anda bisa dibilang pelopor model bisnis ini?
Ya, betul. Investor hanya perlu menyediakan fasilitas, dan kami mengoperasikannya penuh. Karena itu, model ini sangat menarik bagi investor, terutama investor internasional. Mereka cukup bangun klub dan serahkan ke kami. Kami urus sisanya.
Untuk pelatih, kontrak mereka tahunan. Kami tidak menggunakan sistem freelance. Semua pelatih adalah staf penuh waktu, karena mereka bagian dari keluarga besar kami. Kami peduli pada mereka dan keluarga mereka.
Kami punya nilai-nilai inti dan panduan kerja sendiri, semuanya tertulis dalam buku pedoman. Jadi setiap orang tahu budaya dan standar yang kami junjung. Semua pelatih digaji penuh, dengan tunjangan dan bonus tambahan. Kami pastikan mereka merasa dihargai. Kalau ada yang tidak bahagia, kami terbuka menerima masukan.

