Kesannya DPR lebih banyak bekerja daripada MPR, bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Karena kerja MPR itu bukan kerja teknis. Tidak membuat undang-undang, tidak mem-product undang-undang, tidak melakukan pengawasan kepada pemerintah. Beda dengan DPR. DPR membuat undang-undang, melakukan controlling terhadap kinerja pemerintah termasuk budgeting.
Kalau MPR kan nggak. Dia sosialisasi 4 pilar. Dan itu hampir sama, hanya beda tempat dan beda lokasi, materinya sama. Sebenarnya yang kemarin dianggap akan menjadi legacy itu kalau jadi amandemen kelima, dengan memasukkan PPHN. Tapi itu tidak terjadi di dalam dua periode ini.
Apa kendalanya?
Dari hasil diskusi sih, kita sudah banyak menerima masukan pro-kontra dari masyarakat. Tapi energi masyarakat juga biasa saja, tidak ada dorongan yang kuat. Bahkan banyak variasi (kepentingan) untuk memasukkan ke dalam poin amandemen. Jadi akhirnya (pembahasan) tidak terbuka.
Ada juga yang bilang ‘kalau dibuka, pintu amandemen, maka semacam membuka kotak pandora, akan banyak pasal-pasal.’ Padahal kalau di Pasal 33 Undang-Undang Dasar itu kan harus jelas, amandemen itu harus jelas pasalnya, tidak boleh semau-maunya. Tapi kan tetap saja, kalau dibuka amandemen, pasal-pasal tertentu bisa juga dimasukkan oleh fraksi maupun kelompok DPD yang lain, atau aspirasi masyarakat. Misalkan ingin lagi di DPR ada utusan golongan.
Jadi kelompok-kelompok khusus yang anggap, kan gini, DPD elektoral, pemilihannya lewat mekanisme elektoral, DPR (juga) elektoral. Harus ada kelompok-kelompok minoritas yang tidak dipilih secara elektoral. Karena kalau dipilih secara elektoral, mereka tetap tidak akan terpilih. Makanya ada kelompok-kelompok minoritas yang dia bisa menjadi anggota DPR dengan utusan golongan.
Sebenarnya, pemikiran baik boleh juga. Karena kan kelompok-kelompok adat tertentu itu bisa dimasukkan dengan komposisi tadi, berapa persen mereka. Jadi kinerja MPR dan kinerja DPR berbeda. Memang berbeda. Kecuali ada sidang istimewa begitu, baru MPR (naik panggung). Selama itu nggak terjadi ya, MPR hanya sosialisasi 4 pilar dan membuat kajian.
Seberapa penting amandemen UUD 1945?
Ya satu sisi, sekelompok mengatakan ini urgent terkait dengan PPHN. Pertama, karena semenjak otonomi daerah, visi-misi bupati dan wakil bupati, gubernur dan wakil gubernur, dan presiden kadang tidak sinkron. Makanya sebenarnya, GBHN ini menjadi arah saja. Bukan kayak program kerja detail, (tapi) arah pembangunan Indonesia ada tahap-tahap yang terarah, bagi yang menyetujui perubahan.
Sementara yang lain bilang kalau hanya itu bisa diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang ada seperti sekarang. (Seperti) undang-undang pembangunan jangka menengah, jangka panjang. Jadi, dianggap tidak urgent. Kurang urgentmasuk melalui pintu amandemen. Cukup dengan undang-undang yang dibuat oleh DPR.
Jadi, pro-kontranya di situ. Dan energi masyarakat juga biasa saja, ya boleh iya, boleh nggak. Karena memang ini berkaitan dengan hal yang sifatnya ke depan, bukan hari ini. Bukan kenaikan minyak gitu, bukan kenaikan harga pangan di mana masyarakat berteriak kalau nggak segera dibuat regulasinya.
Ini menyangkut masa depan Indonesia. Ini kan penting juga, menyangkut arah pembangunan Indonesia yang tidak boleh bablas. Harus jelas jati diri (nya), arahnya. Nah itu dibuat di dalam PPHN. Kalau sekarang kan lewat panduan aja.
Jadi tiap presiden terpilih bisa berbuat apa saja sekarang?
Iya, termasuk juga memindah ibu kota cukuplah tidak melalui MPR, (tapi) melalui undang-undang. Melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR kan sudah cukup. Tidak melalui forum MPR. Kalau GBHN memberikan arah saja, haluan, panduan terhadap kerja pemerintahan, baik tingkat dua, provinsi, dan pusat (nasional). Jadi, sekarang kan provinsi punya sendiri, kabupaten sendiri. Wah, ini dianggap harus ada satu yang menjadi arahan, dan itu disebutnya GBHN.
Bagaimana dinamika amandemen UUD di MPR periode ini?
Separuh-separuh waktu itu. Jadi, separuh fraksi mendukung amandemen, separuh fraksi tidak. Masih imbang. Ada separuh fraksi bilang cukuplah lewat undang-undang, tidak harus membokar undang-undang dasar. Karena undang-undang cukup yang saya sebut tadi. Jadi, disebut urgent, untuk sebagian urgent, bagi sebagian yang lain masih bisa diatasi lewat jalur parlemen.

Selanjutya: Jazilul Fawaid: PKB di Dua Era
