4 months ago
10 mins read

Puteri Komarudin: Literasi Keuangan Kaum Emak

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin. (Foto: Totalpolitik.com)

Di dapil Anda banyak terjadi yang demikian?

Kalau misalnya teman-teman jalan ke dapil aku, banyak di depan RT-RT gitu (tulisan), ‘Dilarang masuk Bank Emok – Bank Keliling – Rentenir’, gitu. Jadi udah ada signage-nya. Nggak usah jauh-jauh sampai ke Purwakarta ya. Di Bekasi aja, yang dari sini cuma sejam, sudah banyak signage-nya kayak gitu. Terus belum lagi masalah di sana kota industri, salah satu yang paling besar di Asia Tenggara, Jababeka. Tapi yang kerja banyakan dari Jawa Tengah, Jawa Timur.

Kenapa? Karena orang lokalnya dianggap terlalu malas. Jadi banyak bangetlah yang punya pabrik itu bilang, ‘oh kalau orang lokal kebanyakan nongkrong, sama demo. Jadi kalau nuntut apa, demo, terus udah gitu, mereka nggak mau kerja.’ Mereka (bos pabrik) nggak suka, akhirnya nyari lagi dari Jawa Tengah. Nyari lagi dari Jawa Timur, yang menurut mereka lebih kerja dan nggak banyak nuntut. Etos kerjanya beda.

Makanya, tiap tahun Karawang itu sekarang udah Rp 4 juta kan, UMR-nya. Bekasi itu Rp 4 juta, Purwakarta Rp 3 juta. Dan tiap tahun mereka datang ke sini buat demo, menuntut kenaikan UMR. Karawang sama Bekasi, Cikarang, itu yang paling tinggi UMR-nya, dengan etos kerja yang nggak di-update juga setiap tahunnya.

Jadi, itu sih sebenarnya yang bikin pusing. Walaupun mereka selalu bilang ‘kan kalian-kalian ini pemilik pabrik punya aset di mana-mana.’ Gitu-gitu loh. Jadi mereka selalu bilang ‘kalian ini kan hartanya udah bergelimang, bagi-bagi ah sama kita ini buruh-buruh.’

Terkait dengan pengelolaan risiko kredit bagaimana? Di satu sisi fintech tetap sustain melalui penetapan bunga, tapi di satu sisi tidak memberatkan masyarakat?

Sebenarnya kan kemarin, karena Undang-Undang PPSK ini, akhirnya diubah juga maksimum bunganya untuk setiap pinjol itu berapa. Dan yang paling penting sebenarnya menurut aku, literasi keuangan itu, jadi orang paham kalau mereka minjam itu pasti harus bayar. Itu kewajiban mereka sebagai seorang debitur. Mau di pinjol, mau di mana pun, tetap harus dibayar.

Nah, pemahaman itu yang nggak ada. Plus yang paling utama sebenarnya, kemampuan buat mengelola keuangan sedini mungkin. Karena dengan era media sosial ini, manusia tendensinya lebih konsumtif. Terus godaannya dari mulai konsumsi yang luxury goods atau judi online. Dan itu sekarang jadi permasalahan juga di kota-kota besar, Jawa Barat, Jakarta, samalah ya. Sebenarnya, ini yang kita nggak punya di sistem akademik kita sekarang.

Sementara di negara-negara lain yang lebih maju, pengelolaan keuangan ini mereka masukkan seringkali ke berbagai pelajaran. Supaya mereka paham. Dan ini yang menurut aku salah satu ketika nanti ketika kita reformasi kurikulum, ya harus ada pembelajaran untuk ini. Karena korban pinjol itu semakin lama itu semakin muda. Ada yang SMP, SMA, dan dipakainya bukan buat kehidupan sehari-hari, dipakainya buat judol (judi online). Sama ya perlindungan data pribadi.

Jadi, kemarin pas Undang-Undang PDP keluar itu sebenarnya kita juga bersyukur. Karena dengan kebocoran KTP, data-data orang, orang nggak minjem, tiba-tiba diteror, suruh bayar. Itu kan salah satunya karena kelemahan kita dalam menjaga data, datanya masyarakat. Jadi semoga dengan undang-undang ini nanti, dan sanksi yang sudah ada, nggak ada lagi kejadian-kejadian yang viral orang nggak minjem tapi ditagih.

Selain yang Anda paparkan tadi, apa lagi tugas utama di Komisi XI?

Ya paling penting itu tadi, untuk industri jasa keuangan. Terus kita kan juga sekarang pembahasan APBN. Kita membahas namanya KEM-PPKF, Kerangka Ekonomi Makro, dan kebijakan fiskal. Jadi di situ kita menentukan misalnya, pertumbuhan ekonomi mau berapa persen, nilai tukar dolar ke rupiah berapa persen? Selain itu, nilai tukar petani, nilai tukar nelayan. Jadi, untuk jadi landasan di APBN kita yang nanti juga akan dibahas di Banggar.

Nah, makanya ini menjadi sangat penting. Kenapa? Supaya APBN kita nggak salah langkah. Kan kalau kita terlalu pede, misalnya naruh nilai tukar rendah dibanding realisasinya, nanti kan berarti kompleksitas kita dalam pembayaran utang dan bunga itu juga akan meningkat. Jadi, kita di situ bahasnya sangat hati-hati sama pemerintah, sama BI, sama Kementerian Bappenas juga. Dan hal ini kan juga kita lakukan rutin, dalam pembahasan APBN di setiap tahun.

Terus belum lagi misalnya, sebelum bahas KEM-PPKF ini ada panitia kerja untuk membahas pertumbuhan ekonomi dan lain-lainnya. Kita selalu melihat anggaran yang sekian besar untuk kementerian-kementerian teknis seperti Pertanian, KKP, apakah memang sudah bisa menjawab tuntutan undang-undang untuk mensejahterakan petani dan nelayan? Itu kan setiap tahunnya kita tanya.

Kita sering minta juga ke Kementerian Keuangan, coba dilihat performanya masing-masing kementerian. Terus dilihat di situ, kenaikan di sektor industrinya berapa? Dan kesejahteraannya petani, nelayan di situ seperti apa? Dari situ kan kita bisa lihat bagaimana akhirnya anggaran APBN yang semakin tahun semakin meningkat ini, bisa benar-benar mensejahterakan masyarakat di Indonesia.

Dan hal-hal seperti ini yang selalu kita bahas. Dan menurut saya menjadi sangat penting, karena kita kan di tengah rutinitas itu jadi lupa. Sebenarnya anggaran sebesar ini tuh buat apa sih? Terus tiba-tiba udah akhir tahun, laporan Presiden ke DPR, selesai aja gitu kan.

Rutinitasnya gitu. Iya tiap tahun kita bahas APBN, tapi terus manfaatnya buat warga yang kita wakilin apa? Jadi, memang harus serius bahasnya di situ. Supaya nanti bisa kita pertanggungjawabkan juga.

Selanjutnya: Puteri Komarudin: Konsistensi Sang Wakil Rakyat

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Solusi RK-Suswono Atasi Banjir di Jakarta

JAKARTA – Calon Wakil Gubernur (Wagub) Gubernur Daerah Khusus Jakarta

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

JAKARTA – Partai politik merupakan pilar demokrasi, adalah salah satu