4 months ago
10 mins read

Puteri Komarudin: Literasi Keuangan Kaum Emak

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin. (Foto: Totalpolitik.com)

Soal Merchant Discount Rate (MDR) buat pelaku usaha mikro itu bagaimana? Mungkinkah ke depannya ada adaptasi. Misalnya buat usaha yang golongannya mikro itu bebas charge, tapi di satu sisi memastikan industri besar atau sedang dikenakan lebih besar?

Sebenarnya kan setiap ada kebijakan untuk kasih fee gitu. Misalnya untuk UMKM ini kan pasti diskusinya juga sebenarnya sudah panjang. Terus juga melihat kesiapan dari sektor usahanya juga. Makanya pemerintah dan BI, kalau dalam hal QRIS ini, kan juga hati-hati sekali. Begitu ada komplain atau keluhan, kalau itu memberatkan, mereka biasanya langsung mengkaji ulang. Dan biasanya sih langsung dicabut.

Jadi, industri ultra mikro sama mikro kita ini kan memang susah ya untuk mengejar. Yang bisa UKM, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. Kita selalu bilang sama BI, sama Menteri Keuangan juga, kalau memang ada kebijakan-kebijakan yang seperti itu, ya kalau bisa disorot itu lebih ke yang udah menengah gitu.

Kenapa? Karena kita kan pengennya, ketika mereka dari ultra mikro, bisa naik ke mikro. Terus pelan-pelan bisa jadi usaha kecil. Itu kan juga tidak selalu sesuai sama kemauan kita kan, biasanya mereka kan lama.

Terus belum lagi permasalahan di kebijakan pinjamannya tadi. Kan kalau ultra mikro kita misalnya udah punya Kredit Mekar, yang di daerah-daerah. Atau di Jawa Barat namanya Mesra. Terus buat naik dari ultra mikro ke mikro, mereka biasanya lulusnya bisa 10 tahun hingga 15 tahun. Jadi kadang-kadang faktor-faktor seperti ini yang harus di-consider dulu.

Dan ini menurut kita baiknya memang tidak dibebankan sama orang-orang yang pengen naik lintasan. Daripada, kasarnya ya, misalnya dunia fintech atau dunia keuangan itu mencari untung dari mereka, mereka-mereka yang sudah susah payah untuk mendapatkan keuntungan mereka di situ. Maka dari itu, kalau kita lagi rapat misalnya sama KSSK, Menteri Keuangan, BI, OJK, salah satu keluhannya kan selalu ­net interest margin perbankan kita itu kan tinggi. Terutama untuk UMKM.

Ya dengan berbagai hal, kita pahamlah, kalau dari sisi operasional bank, karena human resource-nya yang dibutuhkan sumber daya manusia lebih banyak. Jadi kalau misalnya kredit korporat, mereka satu orang bisa megang 15-20 perusahaan. Kalau ini satu sampai dua orang megang 15 orang yang itu pinjamannya kecil-kecil. Itulah alasannya kenapa mereka net interest margin-nya harus lebih besar.

Tapi kan kalau kayak gini terus, ya susah juga majuin sektor perbankan kita. Makanya, pemerintah harus sampai bikin KUR yang khusus disubsidi sama pemerintah. Jadi, setiap tahun akhirnya kita mengevaluasi supaya yang namanya KUR ini tidak hanya menguntungkan kelompok usaha yang memang sudah stabil.

Jadi harus didorong dan ada pendampingan buat usaha-usaha yang memang baru mau berkembang dan mau maju. Yang ini juga sebenarnya banyak dilakukan sama teman-teman kita yang anak-anak muda. Yang mencoba untuk berkarier bukan sebagai pekerja misalnya, tapi sebagai pengusaha UMKM.

Bagaimana realisasi KUR-nya itu mengurangi celah bagi bank, dan agar memaksa mereka mencari calon-calon nasabah yang belum tersentuh oleh bank?

Sebenarnya kayak contoh kecil ya. Ini juga baru gue lepas di Instagram kemarin. Saya itu sering mencari respons lewat media sosial. Terus kemarin kita keluarin edisi soal KUR, pengen lihat tanggapan masyarakat gimana? Karena kan sebenarnya dalam peraturannya, di bawah 100 juta itu tidak usah pakai agunan. Tapi kalau kita lagi balik ke dapil, semua masyarakat bilang ‘nggak’. Yang namanya KUR itu walaupun di bawah 100 juta, tetap harus ada agunan.

Kalau kita ngobrol sama teman-teman perbankan, mereka bilang, ‘ini udah program pemerintah. Tapi kan nggak ada agunan. Banyak yang bilang ini dana hibah. Jadi habis mereka tarik, mereka nggak ngerasaharus dibayar. Jadi, masih ada mentalitas seperti itu. Apalagi kan KUR itu program pemerintah. Jadi, mereka bilang ‘kan gue udah bayar pajak’, gitu.

Bank kan tetap berpikir ini kan bisnis. Mereka juga harus beroperasi kan. Jadi, lu tetap harus bayar. Karena yang namanya utang, kalau di agama Islam aja, punya utang, nggak bisa masuk surga kan. Ya, dong. Selalu ditanya kan, kalau misalnya ada yang meninggal, kalau ada utangnya, tolong ke keluarganya gitu.

Tapi sayangnya, karena memang rendahnya literasi keuangan tadi, ketika berutang, banyak masyarakat, apalagi kalau ini program pemerintah, menganggap tidak perlu dibayar. Makanya bank bilang ‘makanya kita tetap minta, minimal BPKP, minimal sertifikat rumah. Jadi walaupun jumlahnya tidak sesuai sama pinjamannya, lebih rendah, tapi ada pegangan. Biar mereka tahu ini orang seriusan. Ini sebenarnya yang jadi permasalahan kita selama ini.

Di satu sisi, kita harus ngerti juga, kalau bank itu adalah entitas bisnis yang punya karyawan ribuan yang harus dibayar juga. Yang kalau mereka bankrut, apalagi bank pemerintah, itu akan jadi permasalahan nasional. Tapi di satu sisi, pemerintah juga perlu buka akses ke permodalan ini. Supaya mereka nggak balik lagi ke ‘banke-banke’ tadi.

Bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa pinjaman itu bukan dana hibah?

Rumusan ini yang sebenarnya setiap tahun masih kita evaluasi. Bagaimana caranya supaya tidak ada lagi orang-orang yang menganggap ini dana hibah dan kawan-kawannya. Makanya, tadi selain kita meningkatkan literasi keuangan, juga ikhtiar buat meningkatkan inklusi keuangan tadi. Selain kita, dunia keuangan jualan produknya, inklusi keuangan kan. Literasinya tolong ditingkatkan dulu, supaya nggak ada lagi salah paham seperti tadi.

Makanya, setiap aku keliling ke dapil, kalau lagi cerita soal KUR, karena banyak yang komplain, aku selalu bilang, ‘ya pemerintah subsidi pakai APBN itu untuk bunga, makanya yang dibayar cuman enam sampai tujuh persen’. Harusnya 12-15 persen misalnya. Nah, ini sudah disubsidi sama pemerintah, ya tolong bayar.’

Makanya, mereka lebih milih buat minjam ke ‘banke’ karena ‘banke’ kan tanpa agunan. Cuma butuh KTP, surat izin suami, kalau yang buat perempuan, habis itu langsung cair. Tapi bunganya gila, 30 persen, dan sanksi sosialnya besar. Karena sistemnya ‘tanggung renteng’ tadi, makanya banyak yang diusir dari tempatnya, dari desanya, dicerai sama suaminya. Wah pokoknya banyaklah.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Solusi RK-Suswono Atasi Banjir di Jakarta

JAKARTA – Calon Wakil Gubernur (Wagub) Gubernur Daerah Khusus Jakarta

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

JAKARTA – Partai politik merupakan pilar demokrasi, adalah salah satu