4 months ago
10 mins read

Puteri Komarudin: Literasi Keuangan Kaum Emak

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Sebagai salah satu Anggota DPR RI yang berkiprah di Komisi XI, salah satu tugas yang diembannya adalah mengedukasi masyarakat, khususnya kaum perempuan, terkait literasi keuangan.

 Oleh sebab itu, dalam tiap kunjungannya ke berbagai daerah, ia selalu menyisipkan pesan-pesan tentang pentingnya memahami bagaimana sistem keuangan bekerja.

“Karena memang rendahnya literasi keuangan, ketika berutang, banyak masyarakat menganggap tidak perlu dibayar. Apalagi kalau mereka menganggap ini (pinjaman) sebagai program pemerintah,” kata Puteri.

Menurut Puteri, karena masyarakat menganggap utang sebagai program pemerintah, apalagi tanpa agunan. Bahkan, ada juga yang menganggap sebagai dana hibah. Setelah dana ditarik, mereka merasa tak harus membayar.

“Jadi, masih ada mentalitas seperti itu. Apalagi kan KUR itu program pemerintah. Mereka bilang ‘kan gue udah bayar pajak’, gitu,” tutur Puteri. “Ini sebenarnya yang jadi permasalahan kita selama ini.”

Di satu sisi, lanjut dia, kita harus mengerti juga bahwa bank itu adalah entitas bisnis yang punya ribuan karyawan yang harus digaji. Kalau mereka bankrut, apalagi bank pemerintah, itu akan jadi masalah nasional.

“Tapi di satu sisi, pemerintah juga perlu (buka) akses ke permodalan ini. Supaya mereka nggak balik lagi ke ‘banke-banke’ (bank keliling atau rentenir) tadi,” tegasnya.

Berikut lanjutan wawancara Totalpolitik.com dengan Puteri Komarudin:

Bagaimana dengan regulasi mandatory sandbox?

Kalau sandbox itu kan karena banyak sekali produk keuangan yang sebenarnya regulator juga belum terlalu familiar. Saking canggihnya sekarang produk keuangan kita, jadi kadang-kadang ‘jenis kelaminnya’ aja tuh belum ketahuan. Apakah ini yang patut diawasi oleh OJK atau BI. Karena kadang-kadang ada (unsur) pasar keuangannya, ada unsur industri jasa keuangan juga.

Makanya ada sandbox ini supaya apa? Supaya setiap produk itu bisa dievaluasi, ditelaah, oleh masing-masing pengawas dan analis yang ada di BI dan OJK. Supaya nanti mereka bisa menentukan. Jadi aspek dari produk ataupun jasa yang ditawarkan oleh startup atau perusahaan tersebut itu cocoknya diawasi oleh siapa. Karena kan kita sama industri, maksudnya BI, OJK, dan industri itu, mereka selalu berkoordinasi. Selalu berkoordinasi dengan pemerintah juga memastikan bahwa kita tidak mematikan industri.

Jadi, industri tetap harus bisa grow (tumbuh). Mereka harus bisa tetap bersaing dengan negara-negara lain di Asia Tenggara ataupun di dunia. Tapi tidak boleh juga merugikan masyarakat. Tetap harus ada kepastian dan perlindungan hukum. Makanya harus ada sandbox ini supaya BI sama OJK bisa nentuin. Ini pengawasannya di siapa, undang-undang yang berlaku yang mana? Dan ketika ada permasalahan, siapa yang bertanggungjawab, BI kah atau OJK?

Kalau blueprint sistem pembayaran digital ke depan mau seperti apa rencananya?

Sistem pembayaran kita kan sebenarnya sekarang sudah semakin advanced. Jadi dengan keberhasilan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), BI juga akhirnya menyadari bahwa ketika sosialisasi itu dilakukan secara masif dan ekstensif ke seluruh provinsi di Indonesia, terus bagaimana juga kemudahan QRIS ini akhirnya membuat banyak pihak merasa bahwa pembayaran non-tunai ini memang diperlukan.

Akhirnya blueprint sistem pembayaran kita juga terus di-update, tapi bisa diimplementasikan. Apalagi, karena Covid kemarin. Jadi ini sebenarnya jadi kayak momentum untuk blueprint ini supaya bisa berjalan. Cashless society itu akhirnya benar-benar terwujud.

Tapi karena undang-undang mata uang kita tetap menyatakan bahwa uang tunai itu bisa dipakai, jadi ada beberapa perdebatan gitu. Kalau kita terlalu mendorong cashless society ini, toh undang-undang mata uang kita masih bilang masih bilang ‘harus bisa menerima uang kas’ gitu kan.

Walau kita sudah lihat sekarang di berbagai toko, banyak yang sudah menolak uang cash. Mereka hanya mau menerima QRIS atau debit. Bahkan, ada yang nggak mau nerima debit, hanya mau pakai QRIS.

Nah, ini juga sebenarnya di Komisi XI sering didiskusikan sama BI, di mana konversi dari society yang dulu sampai ke yang cashless sekarang ini tidak merugikan pihak-pihak lain, yang mungkin adaptasinya tidak secepat itu. Karena kita kan juga harus memikirkan orang-orang yang mungkin lebih tua usianya, yang belum mempunyai pemahaman, yang usaha mikro, yang di pasar.

Makanya BI juga sering melakukan sosialisasi di pasar-pasar langsung. Supaya apa? Supaya mereka bisa mengajarkan. Kan kita juga sering hadir kalau lagi ada sosialisasi kayak gitu. Tapi ya, keluhannya juga itu. Kadang-kadang penjual bilang ‘kalau pakai QRIS nih uangnya nggak langsung masuk ke rekening kita,’ Jadi ada time lag-nya kira-kira 24 jam. Padahal kita butuhnya cepat, karena harus beli bahan baku lagi, gitu. Jadi masih ada hal-hal seperti itulah.

Terus misalnya, per transaksi kan di-charge ya. Walaupun sebenarnya charge­-nya kecil. Tapi untuk pedagang kalau itu diakumulasi, mungkin buat mereka juga memberatkan. Itu juga sering kita suarakan. Untuk transaksi yang masih di bawah nominal tertentu memang tidak sepatutnya ada charge-nya, dan itu sudah dilakukan Bank Indonesia juga.

Jadi, ini memang pentingnya fungsi Komisi XI yang kita juga tiap hari, tiap minggu, itu pasti ada komunikasi sama konstituen di wilayah masing-masing. Ya untuk menyuarakan hal-hal seperti ini kepada Bank Indonesia, sebagai pelaksananya. Terus kan Bank Indonesia sekarang lagi mengkaji yang namanya Central Bank Digital Currency (CBDC).

Dan itu sudah kita tuangkan di Undang-Undang PPSK juga. Jadi, boleh salah satunya. Selain uang cash, juga CBDC ini juga boleh dipakai di Indonesia. Tapi karena memang masih jauh prosesnya, masih dikaji. Nanti konsultasi dulu sama negara-negara lain yang sudah lebih dulu sukses mengimplementasikan ini. Kita lihat juga keamanan teknologinya. Karena kan ini digital ya, digital currency.

Kita lihat dulu kemampuan ekosistem di Indonesia untuk menerima ini. Dan kayaknya prosesnya juga masih panjang. Kita lihatlah di periode depan, bagaimana progress ini. Karena Cina aja tujuh tahun ya, dari pengkajian sampai implementasi itu dia tujuh tahun. Dan menurut saya, sebagai negara yang belum semaju Cina, kita harus lebih hati-hati lagi. Supaya apa? Tidak jadi celah lagi buat orang-orang yang mau ‘memainkan’ ini jadi celah keuntungan.

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Solusi RK-Suswono Atasi Banjir di Jakarta

JAKARTA – Calon Wakil Gubernur (Wagub) Gubernur Daerah Khusus Jakarta

Dilema Partai Politik Pasca Reformasi

JAKARTA – Partai politik merupakan pilar demokrasi, adalah salah satu