Pemilu 1955 menjadi salah satu momen di mana Masyumi mengencangkan dan menguji tangan-tangan politiknya, khususnya dalam konteks berkampanye memenangkan suara rakyat di kontestasi elektoral.
Menghadapi pemilu tersebut, Masyumi menggunakan banyak taktik. Mulai dari pertemuan-pertemuan raksasa, reli-reli, hingga menyebarkan souvenir-souvenir berhiaskan atribut partai kepada pemilih seperti halnya yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Semua dilakukan.
Secara ideologis, Masyumi berusaha meyakinkan para Muslim bahwa memilih mereka adalah bagian dari kewajiban agama.
Tapi pada saat yang bersamaan, mereka mengurangi penggunaan rujukan-rujukan agama dalam kampanyenya. Salah satu alasannya adalah untuk meyakinkan publik kalau mereka moderat dalam menyikapi berbagai isu, termasuk hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama, dan hak-hak perempuan.
Kata ‘negara Islam’ betul-betul dihindari. Dan Masyumi tidak berbicara dengan detail mengenai cara-caranya melakukan Islamisasi terhadap lembaga-lembaga negara.
Seperti dalam majalah Hikmah, Masyumi berjanji akan memastikan setiap bagian undang-undang akan sesuai dengan tuntutan komunitas Muslim Indonesia. Tapi, Masyumi tidak menjelaskan dengan pasti apa-apa saja tuntutan yang dimaksud.
Tiba hari pemilihan, beserta penghitungan suara yang datang setelahnya. Lebih dari 38 juta rakyat Indonesia pergi mencoblos di bilik. Dan Masyumi hanya memperoleh 20,9 persen suara. Kalah dengan lawannya, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berhasil meraup 22,3 persen suara.
Kendati segala usahanya ketika berkampanye, Masyumi hanya mendapatkan posisi kedua. Meskipun perolehan kursinya di parlemen sama dengan PNI, yaitu 57 kursi. Ini merupakan hal yang mengejutkan bagi Masyumi.
Seorang petinggi Masyumi, Jusuf Wibisono, mengkritik rekan-rekan separtainya. Jusuf menilai Masyumi tidak memiliki strategi kampanye yang jelas. Hal itu disebabkan oleh perasaan ‘besar kepala’ Masyumi yang meyakini mereka merupakan organisasi politik terbesar di Indonesia kala itu.
Hal itu terlihat dalam kasus Isa Anshary yang memimpin Masyumi di Jawa Barat. Selama kampanye, ia berhasil menarik kerumunan. Pertemuan-pertemuan Masyumi di wilayah kewenangannya ramai.
Tapi itu hanya mengelabui jajaran pimpinan Masyumi untuk berpikir pengaruhnya di masyarakat besar.
Padahal, tidak sedikit orang-orang yang datang ke acara-acara Masyumi karena mencari hiburan. Penduduk-penduduk desa ikut karena rasa penasaran. Dan mereka mencari orator-orator yang bisa menghibur malam mereka.
Fenomena tersebut menciptakan jurang antara harapan dan realita di alam pikir dan perasaan pemimpin-pemimpin Masyumi. Hingga mereka bisa kecolongan dalam Pemilu 1955. Atau mungkin bukan kecolongan, tetapi memang mereka mematok target yang terlalu besar.
Walaupun demikian, Masyumi akan tetap menjadi partai besar yang berpengaruh ke depannya. Pemimpin-pemimpin dan kader-kadernya mulai dari Natsir hingga Roem, semua akan mewarnai kehidupan politik masa-masa awal republik.
Sampai akhirnya dibubarkan setelah anggota-anggotanya dituding terlibat pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1960.* (Bayu Muhammad)
