JAKARTA – Ratusan Muslim yang mewakili organisasi-organisasi Islam besar membanjiri Yogyakarta waktu itu. Kehadiran mereka di kota itu untuk mengikuti Kongres Umat Islam Indonesia.
Tujuannya adalah menentukan wadah tepat bagi para pemuda Muslim untuk menyerukan pesan-pesan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan. Dan menyebarkan agama Islam di tengah masyarakatnya.
Kongres tersebut diadakan pada 7-8 November 1948, setelah pemerintah republik yang baru berdiri melalui Maklumat 3 November 1948 menetapkan sistem multi-partai bagi kehidupan politik Indonesia.
Di dalamnya, para delegasi memperdebatkan banyak hal. Mulai dari kolonialisme, persatuan nasional, dan kemerdekaan. Hingga mencapai serangkaian resolusi yang salah satu dari isinya memberikan mereka basis pergerakan memperjuangkan pemikiran mereka untuk Indonesia.
Remy Madinier dalam bukunya Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Integralism merangkum peristiwa itu.
Kongres tersebut memutuskan agar para Muslim di Indonesia mempersiapkan diri untuk berjuang di jalan Allah. Kemudian, agar mereka mendukung pasukan-pasukan yang berusaha mempertahankan Indonesia.
Baru yang ketiga, agar mereka membentuk suatu partai bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Dalam kongres itu, partai berlogo bulan sabit dengan bintang di atasnya lahir.
Sebetulnya, kelahiran Masyumi tidaklah diinginkan. Remy menjelaskan banyak tentang itu. Ada kekhawatiran di sisi para pendirinya bahwa sistem kepartaian akan merusak persatuan nasional. Sesuatu yang sangat dibutuhkan Indonesia dalam perjuangannya melawan kekuatan-kekuatan imperialis yang belum sepenuhnya pergi.
“Mereka hanya melakukannya dengan enggan, karena mereka menentang pembentukan sistem kepartaian yang dikhawatirkan bisa menghilangkan semangat persatuan nasional,” tulis Remy.
Dan mereka mempertahankan pandangan awalnya secara konsisten. Setelah kemerdekaan hingga sistem kepartaian diberlakukan, tidak ada anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengampanyekan peralihan kekuasaan dari sistem presidensial yang dipimpin oleh Dwi Tunggal Sukarno-Hatta ke badan legislatif.
Tapi bukan berarti mereka tidak siap untuk mendirikan suatu partai. Para politikus Islam pendahulu seperti Agus Salim, Abdul Wahid Hasjim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Ki Bagus Hadikusumo yang telah berkiprah melintasi zaman—terlibat dari Sarekat Islam (SI) sampai dengan Masyumi pertama yang didirikan pada masa pendudukan Jepang—telah membangun dasar-dasar organisasi dan jaringan di masyarakat sejak lama.
Dan pada awal November 1948 itu, dengan penuh rasa sesal, Masyumi didirikan oleh pemimpin-pemimpinnya. Bahkan Presiden Masyumi pertama, Soekiman, menyuarakan penyesalannya yang mendalam.
“Pada saat-saat yang genting ini, ketika rakyat seharusnya perlu menyatukan jiwa dan raga, kita menyesali pengumuman pemerintah akan pengajuannya untuk membentuk partai-partai, sebuah langkah yang hanya akan memecah belah rakyat,” kata Soekiman.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, wacana pemerintah untuk membuka keran pendirian partai-partai politik sudah berubah menjadi kenyataan. Dan Masyumi akhirnya dibentuk sebagai partai di antara yang lainnya.
Remy menilai kemunculan Masyumi tidak didorong oleh program-program politik tertentu, melainkan sebagai reaksi defensif pendiri-pendiri dan pengikut-pengikutnya atas perkembangan politik yang terjadi.
Sebagai partai politik, Masyumi bertindak layaknya yang lain. Terus memperjuangkan aspirasinya di badan legislatif dan mempersiapkan diri berkampanye dalam rangka menghadapi pemilihan umum (pemilu).
