7 months ago
3 mins read

Zulfan Lindan (2): Antara Media dan Organisasi

Politikus Senior Zulfan Lindan. (Foto: Dok. Total Politik)

 JAKARTA – Saat menjadi aktivis HMI, Zulfan terkesan dengan salah seorang alumni HMI bernama Ahmad Dahlan Ranuwihardjo SH. Dahlan adalah tokoh HMI era 1951-1953.

Dialah yang ikut menyelamatkan HMI ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mendesak Bung Karno untuk membubarkan organisasi ini. “Pak Dahlan mendatangi Bung Karno untuk berdialog,” tuturnya.

Pada masa itu, kenang Zulfan, sebagian besar alumni HMI cenderung merapat ke Soeharto. Dahlan justru beroposisi terhadap Soeharto.

Zulfan kemudian ‘nyantri’ pada Dahlan. Ia belajar banyak pada seniornya itu; tentang Indonesia, Pancasila, hingga nasionalisme. Tentang pemikiran kiri dan kanan, hingga liberal kapitalistik.

Apakah pergaulan dengan mereka yang membuat ghirrah politik Anda, atau mungkin semangat untuk terjun ke dunia politik itu muncul?

Iya, jadi saya itu sebenarnya dalam berpolitik ini tidak suka dengan jabatan-jabatan formal. Makanya ketika saya diusulkan menjadi Ketua Umum HMI, saya tidak tertarik. Karena background saya jurnalis, wartawan, dan aktivis. Katakanlah lembaga studi. Jadi kurang tertarik (dengan jabatan formal).

Terus selalu kawan-kawan mengatakan ‘kalau nggak sekarang kapan lagi’ Itu satu. Kemudian, ini kesempatan, peluang. Karena dalam pikiran saya, kapan pun saya mau itu saya bisa. Tidak mesti tahun inilah, saya bilang tahun depanlah.

Akhirnya, tahun ini tidak. Pada periode berikutnya saya maju lagi. Memang terpilih jadinya. Karena memang kita membangun komunikasi dengan aktivis-aktivis kampus. Terus terang saja, pada masa itu, akhir 1970-an hingga 1980-an, pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin gencar sekali masuk di sini (Indonesia).

Pengaruh Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Abdul Kadir Audah, Mustafa as-Siba’i itu berkembang. Nah, saya kebetulan sering membaca buku mereka. Jadi berdialog dengan kawan-kawan tentang pikiran-pikiran Ikhwanul Muslimin.

Jadi semasa kuliah hingga lulus itu interaksi Anda dengan tokoh politik makin luas?

Akhirnya, saya menempel. Terkesan dengan salah seorang tokoh alumni HMI, yakni Pak Ahmad Dahlan Ranuwihardjo SH. Beliau itu adalah tokoh HMI dan Ketua Umum HMI sekitar tahun 1951-1953. Pak Dahlan inilah yang juga ikut menyelamatkan HMI ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mendesak Bung Karno untuk membubarkan HMI.

Pak Dahlan mendatangi Bung Karno untuk berdialog. Dan dia dianggap sebagai salah seorang muridnya Bung Karno. Pada masa itu, sebagian besar alumni HMI kan cenderung merapat ke Soeharto. Mas Dahlan ini justru, boleh kita katakan, alumni HMI yang oposisi terhadap Soeharto.

Saya sendiri kan oposisi terhadap Pak Harto. Oleh sebab itu, saya cenderung memilih Mas Dahlan. Akhirnya, saya diangkat menjadi semacam sekretaris pribadi Pak Dahlan. Sempat tinggal di rumah dia. Ngetik-ngetik surat segala macam. Membangun komunikasi dia dengan tokoh-tokoh, itu saya yang selalu diminta untuk berhubungan. Apakah dengan Ali Sadikin misalnya, bahkan dengan Ali Moertopo.

Jika menulis sesuatu dan mengirimkannya ke orang, saat itu sangat sulit. Kalau lewat pos, takut nggak sampai. Jadi saya yang mengantarkan ke sana. “Tolong Zulfan, antarkan!” Ya, saya senang karena orang ini tokoh kita. Pak Dahlan adalah pamannya Adi Sasono. Keponakannya Mohamad Roem aka Mr. Roem yang dulu pernah Menteri Luar Negeri kita.

Jadi sama Pak Dahlan ini saya banyak belajar. Tentang Indonesia, Pancasila, hingga nasionalisme. Persoalan pemikiran kiri atau kanan, hingga liberal kapitalistik. Mengenal apa bedanya kaum borjuis dan proletar.

Saya belajar semua itu dari Pak Dahlan, Hanya saja saya agak jarang ketemu ketika mulai sibuk mengurus organisasi saat menjadi Ketua Umum HMI. Kita harus ke daerah, harus konsolidasi sampai provinsi hingga kabupaten. Akhirnya, jarang komunikasi.

Lulus kuliah, Anda jadi wartawan atau langsung terjun ke politik praktis dengan masuk partai?

Saya itu kan sejak masih kuliah saya sudah menjadi wartawan. Di LSP itu ada majalah namanya majalah Wawasan. Di samping diminta sebagai tenaga riset, saya juga diminta untuk menangani beberapa tulisan. Mencari narasumber untuk majalah ini. Akhirnya, saya mulai belajar menjadi wartawan.

Nah, kemudian saya harus memilih. Karena terpilih menjadi Ketua HMI Jakarta, Pak Adi Sasono mengatakan ‘Zulfan kamu harus pilih. Kamu mau di HMI atau mau di sini? Kita kerjanya profesional, tidak boleh rangkap.’ Mas Adi bilang gitu.

Akhirnya, saya mengambil langkah untuk aktif di HMI. Kira-kira sekitar 1983-1984 itu saya menjadi wartawan Pos Sore. Sebuah koran sore punya Harmoko, satu grup dengan Pos Kota. Kemudian, Pos Sore itu berganti nama menjadi Harian Terbit. Jadi, dulu ada dua koran yang terbit sore; Sinar Harapan dan Harian Terbit. Saya juga sempat menjadi reporter Sinar Harapan, masuknya lewat tabloid Mutiara.

Bagaimana Anda melihat wartawan dulu dan kini?

Proses jadi wartawan dulu nggak gampang. Harus menjadi pembantu reporter dulu, baru bisa jadi reporter. Baru diangkat menjadi reporter. Pada 1986 Sinar Harapan dibredel. Kemudian tahun 1987 itu ada Harian Pelita, media milik Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Oplahnya kala itu bisa menyaingi Harian Kompas. Karena fanatisme orang terhadap Islam, di setiap rumah tokoh-tokoh atau aktivis Islam, selalu ada Harian Pelita. Pada 1987, Harian Pelita diambil-alih oleh Golkar lewat Pak Sudharmono, Pak Bustanil Arifin, dan Pak Sukarto. Pemrednya saat itu Akbar Tanjung. Saya masuk di situ, bekerja di koran itu.

Namun, Pelita ini sudah seperti partai politik. Jadi apa yang terjadi di PPP balik lagi di sini. Karena di situ kan aktivis HMI dan aktivis lain. Ada Akbar Tanjung yang HMI, ada Slamet Effendi Yusuf yang Ketua Umum Ansor, NU. Tapi basis PPP yang non-NU, tidak ada di Harian Pelita saat itu. (bersambung)

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Tantangan Anies Membuat Parpol Baru

JAKARTA – Politisi senior, Zulfan Lindan, memberikan saran kepada mantan

Maju Pilpres Lagi, Anies Harus Jadi Oposisi

JAKARTA – Jurnalis Senior Tempo, Bambang Harymurti, menilai keberhasilan mantan