6 months ago
3 mins read

Laksamana Sukardi (2): ‘Pancasalah’, Salah Lihat

Politikus Senior Laksamana Sukardi. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Sebagai politikus senior, Laksamana Sukardi, tentunya mengikuti dinamika politik yang bergulir. Ia juga menyoroti jalannya sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah memeriksa perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

 Menurutnya, orang-orang saat ini hanya berkutat pada symptom (gejala), bukan penyebabnya.

“Penyebabnya nggak ada yang mau benerin. Misalnya, Undang-Undang Politik nggak mau diubah. Coba diubah, nggak akan terjadi kayak Gibran tiba-tiba nyelonong. Itu memang memungkinkan karena undang-undang politiknya. Tapi nggak ada yang mau ubah,” papar Laks.

Belum lagi soal-soal lain, kata Laks. Menurutnya, demokrasi Indonesia adalah demokrasi kapitalistik, bukan Pancasila. “Zaman modern ini semua menyembah berhala uang dan jabatan. Demokrasi uang dan jabatan berkedok Pancasila,” tegasnya.  

Memang, lanjut Laks, ‘setting’-nya untuk memungkinkan kecurangan. Orang-orang sekarang ribut mempermasalahkan bantuan sosial (bansos). “Larang saja bansos menjelang pemilu. Bikin undang-undangnya. Wong, nggak ada undang-undangnya. Siapa yang salah?”

Berikut lanjutan perbincangan Totalpolitik.com dengan mantan Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P ini.

Bagaimana Anda melihat lolosnya Gibran jadi cawapres dan pelanggaran etika Ketua MK?

Masalah Gibran. Saya sih nggak kenal Gibran. Jokowi juga nggak pernah ketemu. Tapi kalau kita lihat hakimnya, pamannya Gibran, ya nggak ada undang-undang melarang itu. Hanya conflict of interest.

Kita ini diatur oleh norm (norma). Normatik aja, bukan undang-undang. Norm-nya itu harus dijadikan undang-undang. Maksudnya, etikalah. Etika nggak ada undang-undang. Misalnya, presiden bagi-bagi bansos menjelang pemilu, itu masalah etika. Tapi undang-undangnya, dia berhak menyalurkan.

Di Prancis, pernah dibuat undang-undang, (yang mengatur) dua minggu menjelang pemilu, nggak boleh ada keluar survei polling report. Karena itu memengaruhi pemilih, membangun persepsi.

Salah satunya dari ‘salah’ Pancasalah itu ‘salah lihat.’ Orang jelek jadi kelihatan bagus, orang bagus jadi kelihatan jelek. Karena apa? Ada buzzer-lah, podcast macam-macam, ya kan? Sekarang nggak usah di Indonesia. Donald Trump aja jadi kelihatan bagus kok. Di sana, di Amerika.

Donald Trump itu pintar. American govern by the norm. Dia break the norm. Nggak bisa orang tangkap dia. ‘Gua nggak peduli, pokoknya gua lakuin’. Kan nggak ada undang-undang. Di kita itu, harus lihat permasalahannya. Sekarang, elite-elite politik, pemimpin benar mau benerin atau hanya karena kalah jadi ribut.

Oke, sekarang kita bicara tentang aktivitas Bapak di dunia politik praktis. Apa peran Anda di Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)?

Saya nggak terlalu banyak terlibat. Kemarin saya bantuin PKN sama Mas Anas—mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Supaya saya tahu apa yang terjadi di dinamika politik. Jadi, memang harus independen juga sih. Tapi, itu kan partai kecil. Saya mau lihat partai kecil mungkin nggak bisa masuk parlemen. Prinsip demokrasi itu, aspirasi itu harus dinamis. Generasi dia (Anas) muncul.

Di Amerika, their founding fathers mengatakan ‘kopi itu harus hangat, baru enak diminum.’ Supaya hangat kan ada air panas baru (dituangkan). Saya sih bukannya mencontoh Amerika. Ini prinsipnya saja.

Saya juga nggak semua setuju dengan Amerika. Jadi anggota senat enam tahun, kongres dua tahun. Terus masuk baru, masuk baru. Jadi hangat terus. Supaya apa? Kan pemilu buat apa? Kalau nggak sekali aja terus, suruh terus aja seumur hidup yang dipilih kan.

Di sini nggak ada by-election (pemilu sela). Tapi pemilu lima tahunan itu artinya untuk memperbarui, menangkap aspirasi yang dinamis dan baru. Aspirasi ini kan berubah, karena generasinya berubah. Tapi pemimpinnya nggak mau tahu, nggak berubah.

Aspirasi yang dinamis ini harus ditangkap oleh partai politik dan perwakilan. Sekarang, kalau wakil kita nggak ganti-ganti, kan nggak benar juga. Walaupun kita jelek, kan banyak juga tokoh-tokoh yang nggakkepilih lagi. Itu bagian dari proses masyarakat.

Posisi Pak Laks di PKN sebagai apa?

Saya masuk dewan pembina saja.

Apa yang menarik dari seorang Anas sehingga Anda mau gabung?

Saya itu dukung Anas karena saya kan juga pernah mengalami penzaliman. Saya itu setelah jadi menteri, bolak-balik ke kejaksaan, juga KPK. Malah pernah jadi tersangka. Saya lihat Anas sudah dipenjara sembilan tahun. Dan dari pengamatan saya, dia itu nggak salah. Hanya karena posisinya sebagai ketua umum mau diambil.

Biasanya yang mau menzalimi itu dari lawan politik, bukan dari dalam. Bukannya ditolongin. Saya berpikir pemimpin itu harus menghargai hukum. Dan tidak zalim menggunakan hukum untuk naluri dan hajat kekuasaannya saja.

Itu syarat bagi pemimpin. Nggak boleh hukum dipakai untuk nafsu birahi kekuasaan. Menggunakan hukum menghantam lawannya. Itu makanya kalau Anas naik, dia udah ngalamin. Dan tidak akan mungkin zalim seperti itu. Itu saja.

Siapa saja yang terlibat di PKN?

Kebanyakan orang-orang Partai Demokrat. Kawan-kawan Anas itu. Saya cuma lihat Anas saja. Supaya dia lebih berani lagi, kita dukung.

Bagaimana intensitas komunikasi Anda dengan Anas?

Kenal profesional saja. Dia kan tumbuh dari HMI. Saya kan bukan HMI. Tapi kita waktu dia di Demokrat, ya suka berinteraksi. Saya hanya melihat keinginan saya, seorang pemimpin itu harus sudah diuji coba. Sudah pernah dizalimi. Supaya nanti kalau dia jadi pemimpin nggak (niru) zalim lagi.

Dulu Anas terlihat sangat potensial sebelum diterpa kasus?

Ya itu, habis dia punya karier disikat. Kasihan lho anak muda, dan punya potensi. Bukan dipeluk, malah dipotong lehernya. Nah, ini sistem yang salah.

 Malah Demokrat kini jadi ‘Partai Keluarga’?

Semuanya partai keluarga. Kalau saya mau ngomong, marah-marah, ngehina politik dinasti. Siapa yang nggak dinasti? (bersambung)

 

 

 

 

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Pramono Jalan Tengah Jokowi, Prabowo dan Megawati

JAKARTA – Jurnalis Senior Tempo, Bambang Harymurti, berpendapat kalau sosok

Megawati Tak Setuju dengan Sosok Anies

JAKARTA – Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis, menilai kalau