7 months ago
4 mins read

Zulfan Lindan (4-habis): Masuk PDI-P karena Gus Dur

Politikus Senior Zulfan Lindan. (Foto: Dok. Total Politik)

 JAKARTA – Dekat dengan Taufik Kiemas dan Megawati Soekarnoputri tentu saja jadi hal yang membanggakan. Demikian pula bagi Zulfan, berada di pusat lingkaran Megawati tentu membawa keuntungan tersendiri.

Ia lantas dijadikan calon legislatif (caleg) oleh partai berlambang banteng dengan moncong putih itu. “Akhirnya saya masuk menjadi caleg, daerah pemilihan Sumatera Utara,” tuturnya.

Bagaimana proses Anda menjadi caleg?

Saya itu nggak mau sebenarnya. Jadi proses saya masuk PDI-P itu karena Gus Dur. Pada 1998-19999 itu ada gerakan tokoh Ciganjur; Amien Rais, Sultan Hamengkubuwono, Megawati, dan Gus Dur.

Empat tokoh Ciganjur itu populer banget dulu. Ini gerakan pemakzulan, kira-kira tokoh pemakzulan Soehartolah. Akhirnya, pada suatu malam sebelum pertemuan itu, jam 03.00 WIB pagi, mereka bertemu selama satu jam.

Persis sebelum acara itu, Mbak Mega datang duluan, karena rumah Mbak Mega itu dekat dengan Gus Dur. Antara Ciganjur dengan Kebagusan memang dekat.

Gus Dur bilang, “Fan kamu masuk PDI-P.”

“Bukan PKB aja?” jawab saya.

“Ah, nggak usah. Kamu PDI-P aja. Nanti saya sampaikan ke Mbak Mega.”

Mbak Mega datang, dan Gus Dur langsung ngomong, “Mbak Mega, ini Zulfan nanti di PDI-P ya.”

Mbak Mega malah tanya, “Emang mau? HMI kan mana mau gabung sama orang-orang Marhaen.”

“Udah, mau,” timpal Gus Dur.

Gitu. serius?” tanya Mbak Mega ke saya.

“Serius, Mbak,” jawabku.

Malah Mbak Mega bilang, “Ajak juga kawan-kawan kamu yang lain!”

Tapi waktu itu karena mereka nggak yakin PDI-P ini menjadi partai besar, teman-teman tidak mau semua. Malah saya didiskreditkan dengan sebutan ‘apa ini, gabung dengan Marhaen, kiri, segala macam.’

Saat itu, saya memang menjabat sebagai Sekjen KAHMI. Masuk ke PDI-P, kan jadi masalah. Alasan saya satu saja, saya masuk dalam partai yang dimusuhi oleh Soeharto pada masa itu.

Sudah, akhirnya saya masuk menjadi caleg, daerah pemilihan Sumatera Utara. Saya nggak tahu, si Opung (Panda Nababan) masuk dari Bandung apa Jawa Barat, atau mana? Yang jelas, dia bukan dapil Sumatera Utara.

Nah, saya lantas terpilih dari Sumut mewakili Kota Medan. Jadi anggota DPR periode 1999-2004. Setelah itu, saya nggak mau (nyalon) lagi.

Apa capaian terbesar seorang Zulfan Lindan kala jadi anggota dewan di Senayan?

Waktu itu kita tidak ada fokus ya. Ketika itu kan ada keinginan untuk misalnya, amandemen. Itu bukan ide pribadi kan. Bahkan, PDI-P sempat menolak amandemen itu. Terutama, faksinya Mas Taufik itu menolak adanya amandemen pertama itu.

Kemudian beberapa kawan dari partai Islam, dari Golkar, termasuk kawan-kawan dari PDI-P minta saya meyakinkan Pak Taufik bahwa amandemen ini aman.

Sebab, yang paling Pak Taufik khawatirkan adalah amandemen ini jadi kembali kepada Piagam Jakarta. Saya lalu meyakinkan Mas Taufik, hal itu nggak mungkin terjadi. Sebab, itu berkaitan dengan pasal 29.

Kita tidak akan sentuh sedikit pun pasal 29 itu. Tidak akan dibicarakan. Yang dibicarakan itu persoalan masa jabatan presiden. Kemudian soal ABRI-Polri yang tidak ikut lagi dalam dunia politik. Akhirnya, Mas Taufik bisa terima. Ketok palu, sidang, sepakat.

Tapi ada gerakan juga dari ABRI dan Polri waktu itu. Karena mereka keluar dari DPR, tidak ada lagi fraksi Polri dan ABRI. Kalau saya melihat pertarungan-pertarungan yang sangat spesifik nggak ada. Yang ada kita goyang, goncang, itu pada saat problem konflik DPR dan Presiden.

Gus Dur itu kan sangat mudah dimakzulkan karena dia mengeluarkan dekrit membubarkan DPR. Nggak punya dasar. Di situ perlawanan DPR semakin keras. TNI-Polri yang awalnya netral, jadi mem-backup DPR. Sehingga dengan mudah Gus Dur itu dilengserkan.

Apalagi Kepala Polri diganti juga oleh Gus Dur?

Awalnya itu persoalan Pansus Bulog, Bulog Gate. Dengan Bulog Gate ini Gus Dur ingin mengganti Kapolri dan Jaksa Agung. Kapolri diinstruksikan oleh Gus Dur untuk menangkap anggota Pansus Bulog Gate ini. Ada 50 orang anggotanya waktu itu. Kapolri nggak menangkap karena nggak punya dasar.

Apa dasarnya mau ditangkap? Oleh karena itu, Gus Dur ingin menaikkan Pak Chairuddin, Wakapolri, menjadi Kapolri. Kita tolak. Nggak bisa sewenang-wenang tanpa fit and proper test lewat DPR. Macam-macamlah ancaman Gus Dur kepada Polri. Karena, kalau Polri nggak mau menangkap orang-orang Pansus, berarti ini jalan. Ternyata, tidak mau ada yang ditangkap.

Ada isu Kapolri mundur sebelum diganti. Bagaimana menurut Anda?

Kapolrinya memang mau mundur. Dari mana saya tahu mau mundur? Karena, sore-sore jam 15.00 WIB pada Hari Minggu, dia datang ke rumah Ibu Mega (Wakil Presiden saat itu) di Teuku Umar. Saya lihat kok ada Bintang Empat masuk ke rumah Ibu Mega. Kemudian keluar lagi.

Saya tanya kepada Pak Budi Gunawan sebagai ajudan Wakil Presiden, “Siapa itu?”

“Pak Bimantoro,” jawabnya.

“Kenapa?”

“Dia ingin melapor karena dia sudah bawa surat mengundurkan diri ke presiden atas perintah presiden,” jelas Budi.

Jadi, pertama Bimantoro ini dipanggil oleh Presiden. Di situ ada Wakapolri, ada Rahmawati, ada suaminya Rahmawati, untuk minta dia dipecat atau mengundurkan diri.

Akhirnya, Pak Bimantoro sebagai Kapolri mengambil langkah mengundurkan diri. Tapi sebelum dia mengantarkan surat pengunduran diri, dia singgah dulu ke Teuku Umar, mau ketemu Ibu Mega.

Ternyata, Ibu itu masih tidur, sehingga tidak jadi ketemu. Ajudan kan nggak mungkin bangunin. Nah, waktu saya mau keluar ke toilet, saya lihat mobil Bintang Empat. Siapa itu? Ternyata, Bimantoro. Dia mau ke Istana tapi mau ketemu Ibu dulu mau ngantar surat pengunduran diri.

Saya lempar mobilnya dari jauh pakai handphone. Jadi, waktu mobilnya itu mau keluar, saya lempar. Kenalah belakang bagasinya. Kaget kan supirnya, berhenti. Saya kejar. “Ada apa, Pak Bim? Masuk lagi, masuk,” kata saya.

Setelah dia kembali masuk, saya lapor sama Pak Taufik, “Mas, ceritanya begini, begini, begini.”

“Oh, ya. Kau bangunin Mbak Mega,” perintah Pak Taufik.

Akhirnya saya ke rumah besar. Saya ketuk pintu. Mbak Mega langsung bangun dan bertanya, “Ada apa, Zulfan?”

Saya cerita, “Ini, Mbak. Pak Bim mau mengundurkan diri dari Kapolri, begini, begini. Pokoknya Mbak jangan kasih,” kata saya.

Saya telepon Akbar Tanjung, Ketua DPR. Saya telepon Ginanjar. Waktu itu saya susah cari Amien Rais. Matori Abdul Djalil juga saya telepon. Semua saya telepon untuk bikin konferensi pers, bahwa Kapolri tidak mengundurkan diri.

Saya sendiri juga mengundang wartawan di Teuku Umar. Saya ngomong sebagai Juru Bicara Ketua Umum PDI-P waktu itu. Akhirnya, nggak jadi. Gus Dur kaget.

 Setelah itu, Abang sudah nggak di PDI nih. Apa kira-kira yang melatar-belakangi pergeseran minat politik dan kepartaiannya?

Begini, pada masa itu kan banyak kawan-kawan ini praktek-praktek korupsi berjalan. Saya bilang, “Kalau setelah menjatuhkan Orde Baru kita juga menjalankan cara-cara kotor seperti Orde Baru, ya ngapain saya di sini?”

Saya tidak mundur dari PDI-P. Saya tidak mau lagi dicalonkan sebagai anggota DPR. Taufik bilang, “Jangan Fan, kita perlu bantuin Ibu Mega. Begini, begini… kalau kau nggak ada di DPR bagaimana kau mau bantu dia?”

Tapi dalam hati saya, “Mbak Mega juga nggak bakal terpilih menjadi Presiden. Karena banyak orang-orang munafik. Yang paling dia percaya itu penipu semua.” Waktu itu, Mbak Mega dan Mas Taufik tidak percaya dengan apa yang saya sampaikan.* (Bayu Muhammad/Chairul Akhmad)

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Tantangan Anies Membuat Parpol Baru

JAKARTA – Politisi senior, Zulfan Lindan, memberikan saran kepada mantan

Maju Pilpres Lagi, Anies Harus Jadi Oposisi

JAKARTA – Jurnalis Senior Tempo, Bambang Harymurti, menilai keberhasilan mantan