4 weeks ago
10 mins read

Suriah Pasca Bashar al-Assad dan Potensi Perang Saudara Suriah Kedua

Peta Suriah. (Foto: Wikipedia)

JAKARTA – Pada tanggal 8 Desember 2024, pasukan pemberontak Suriah dari kelompok Islamis Hayat Tahrir Al-Syam (HTS) pimpinan Ahmed Hussein al-Sharaa atau lebih dikenal dengan nama alias “Abu Mohammad al-Julani.” merebut Damaskus dan secara resmi mengakhiri pemerintahan Bashar al-Assad. Bashar al-Assad sendiri diketahui pergi meninggalkan Suriah dan bertolak menuju ke Moskow.

Perubahan geopolitik di Timur Tengah terjadi secara tiba-tiba dan mengejutkan banyak pihak. Tidak terbayangkan rezim al-Assad yang berkuasa hamper 54 tahun, digulingkan hanya dalam waktu 11 hari. Mulai dari direbutnya Kota Aleppo pada tanggal 2 Desember 2024, hingga akhirnya ke Ibukota Suriah, Damaskus pada 8 Desember 2024. Aleppo mulai diserang pemberontak pada 29 November 2024 dan dapat dikuasai cukup dalam peperangan selama 3 hari.

Al-Julani kini tampil sebagai pemimpin baru Suriah dan dunia menantikan bagaimana arah , ia menampilkan dirinya dengan branding “Zelenskyynya dunia Arab” dan hal ini terlihat dari penataan pakaian hingga jenggotnya. Bisa dipahami mengapa al-Julani menggunakan branding seperti ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dianggap antitesis dari Presiden Rusia Vladimir Putin yang dianggap membekingi kekuasaan Bashar al-Assad. Kemenangan al-Julani memberi kesan bahwa Rusia dapat dikalahkan, begitu juga Iran dan Hezbollah yang juga membekingi kekuasaan Bashar al-Assad.

Kemenangan al-Julani mendapatkan sambutan hangat dari kalangan Islamis khususnya dari kalangan Islamis Sunni di dunia, terutama kalangan Islamis Sunni dari Indonesia banyak yang berharap besar akan kemajuan Suriah di bawah pimpinannya dan berharap Suriah akan menerapkan syariat Islam, serta akan menjadi negara Islam yang adil dan Makmur. Suatu anggapan yang sangat naif menurut saya.

Sayangnya bagi saya sendiri yang sudah lama memperhatikan dinamika politik di Timur Tengah dan juga saya sedari lama mempelajari sejarah bangsa Arab, juga saya sendiri berasal dari etnis Arab-Indonesia, hal ini membuat saya tidak berharap banyak terhadap Suriah. Dari proses pengambil alihan kekuasaan oleh al-Julani, saya menyimpulkan akan terjadi Perang Saudara ke-II di Suriah. Tentunya analisa ini bukan berasal dari ramalan, sumber klenik, pseudosains, ataupun teori konspirasi, tentu saja bukan—semua itu didapat dari analisa yang sepenuhnya ilmiah.

Kita bisa melihat rezim Muammar Gaddafi di Libya dan rezim Ali Abdullah Saleh di Yaman yang sama-sama digulingkan oleh gelombang “Arab Spring”. Yang terjadi di sana malahan bukannya konflik berakhir dan terjadi proses demokratisasi seperti yang diharapkan oleh kelompok oposisi, melainkan perang saudara kedua, yakni perang saudara antar faksi yang menggulingkan rezim diktator.

Bukan tidak mungkin hal tersebut juga bisa terjadi di Suriah, sebab sudah ada contoh dua negara Arab yang diktatornya sama-sama jatuh lewat perang saudara seperti di Yaman dan Libya. Antar faksi yang menggulingkan hanya berfokus menggulingkan diktator, tanpa memikirkan lebih lanjut arah ke depan bangsanya mau bagaimana dan bagaimana pembagian kekuasaan antar faksi yang berkuasa.

Menggulingkan diktator bagi banyak kelompok pemberontak tersebut hanya semata sentimen kebencian dan balas dendam, tanpa pertimbangan jangka panjang mengenai ideologi negara kedepannya, narasi kebangsaan apa yang harus diciptakan untuk menggantikan narasi yang sudah ada, dan juga arah pembangunan bangsa ke depannya serta rekonsiliasi pasca perang. Apakah hal tersebut juga akan terjadi di Suriah? Tentu saja bila kita melihat proses perebutan kekuasaannya.

Abu Mohammad al-Julani dan HTS bukan faksi dominan yang berkuasa di Suriah

Mengapa di Libya dan Yaman transisi menuju demokrasi tidak menghasilkan demokratisasi serta rekonsiliasi pasca-konflik, malahan menciptakan perang saudara baru? Malahan di Libya situasinya lebih buruk pasca Gaddafi berkuasa terjadi tigalisme, hingga kemudian dualisme dan baru terjadi pemerintahan bersatu pada tahun 2023. Antar faksi yang bertikai sendiri memiliki bohir negara-negara yang berbeda, bahkan antar negara di Blok Barat saja mendukung faksi yang berbeda dan punya kepentingan sendiri di Libya, tanpa saya sangka ada negara Barat yang satu faksi dengan negara Blok Timur untuk proxy mereka di Libya.

Saya ambil contoh kubu Faksi Tobruk, didukung oleh Rusia, Prancis, dan Arab Saudi. Faksi Tripoli malahan didukung oleh Qatar, Turki, dan Iran. Kita bisa melihat negara yang berbeda aliansi geopolitiknya, bisa ketemu kepentingannya di Libya. Ketika terjadi dualisme pemerintahan untuk waktu hampir 10 tahun, tidak mudah untuk mempersatukannya sebab untuk mempersatukannya harus melibatkan perundingan antar negara yang menjadi bohir faksi yang bertikai tersebut. Mereka semua hanya pion kekuatan yang lebih besar.

Pertama-tama kita harus melihat proses pengambil alihan kekuasaan di Suriah. Bila kita melihat proses bagaimana Damaskus bisa ditaklukkan oleh HTS pimpinan al-Julani, kita bisa melihat rezim Assad memang sedang melemah akibat banyak instalasi militer vital yang menyokong rezimnya diserang oleh serangan udara serta drone oleh Israel dan Amerika Serikat, bukan saja instalasi militer rezim Assad namun juga penyokongnya yakni Iran dan Hezbollah. Terlebih lagi Israel melakukan serangan yang menewaskan Pemimpin Hezbollah, Hassan Nasrallah.

Pada saat yang sama Rusia sendiri sedang sibuk atas peperangannya di Ukraina, sehingga Rusia sendiri terpecah fokus dan tidak bisa melindungi sekutu terdekatnya di dunia Arab tersebut. Iran sendiri sedang dalam perang proxy dengan Israel, bahkan menghadapi banyak serangan balasan serius dari Israel terhadap proxy Iran di Lebanon, Irak, Yaman, bahkan ada juga serangan ke Iran pada Oktober 2024. Hal ini tentunya menyita energi Iran, belum lagi juga masalah dalam negeri Iran sendiri pasca kematian Presiden Ebrahim Raisi pada 19 Mei 2024 dan juga perjuangan Iran untuk mempertahankan ekonominya di tengah embargo dan potensi instabilitas politik dalam negerinya.

Pada saat terjadi perang proxy ini Turki melihat kesempatan dari melemahnya kekuasaan al-Assad dengan melihat banyak instalasi militer vitalnya yang hancur, tentu membutuhkan waktu bagi rezim Assad membangun ulang kekuatan militernya dan juga negara sekutunya seperti Iran serta Rusia butuh waktu juga untuk membantu al-Assad.

Ketika semuanya sedang lengah, para pemberontak melihat peluang besar untuk menyerang rezim yang sedang lemah. Turki selaku salah satu bohir pemberontak Islamis memberi lampu hijau untuk al-Julani dan koalisi kelompok pemberontak Islamis melakukan serangan ke Aleppo pada 29 November 2024 hingga akhirnya bisa merebut Damaskus pada 8 Desember 2024. Serangan tak terduga tersebut, membuat Bashar al-Assad kemudian kabur ke Moskow.

Al-Julani kini dianggap sebagai pemimpin de facto Suriah karena ia menguasai ibukota. Namun ia bukan satu-satunya faksi pemberontak yang dominan, banyak wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak yang berbeda dengan ideologi berbeda yang disokong juga oleh negara-negara berbeda.

Misalkan Turki mendukung Syrian National Army (SNA) dan melakukan pendudukan di wilayah Suriah Utara. Juga seluruh wilayah bagian utara Suriah tidak sepenuhnya dikuasai SNA, wilayah utara lainnya serta timur Suriah dikuasai oleh pemberontak etnis Kurdi dan minoritas Assyria yang tergabung dalam Syrian Democratic Forces (SDF) yang didukung oleh Inggris, Amerika Serikat, dan diduga ada dukungan Israel yang ditengarai ada agenda tersembunyi untuk mendukung Kurdistan untuk melemahkan kekuatan bangsa Arab.

Namun dukungan negara-negara Barat untuk SDF sembunyi-sembunyi, sebab Turki yang juga anggota NATO terganggu dengan adanya pemberontak Kurdi yang dianggap mengancam kedaulatannya, serta SDF dianggap sekutu pemberontak Kurdi di Turki sendiri.

Walau bagaimana pun Turki juga anggota aliansi militer Blok Barat, NATO maka Amerika Serikat tidak bisa terang-terangan mendukung SDF karena tidak enak hati dengan Turki.  Juga ada pemberontak Syrian Free Army (SFA) yang memegang wilayah bagian tenggara Suriah. SFA didukung terang-terangan oleh Amerika Serikat, bahkan Amerika Serikat punya benteng dan pangkalan militer di wilayah yang diduduki oleh SFA. SFA sendiri berideologi sekuler-liberal, berbeda dengan HTS dan koalisi pemberontak Islamis pimpinan al-Julani. Belum lagi terdapat wilayah yang dikuasai oleh ISIS.

Wilayah yang dikuasai HTS dan koalisinya masuk ke dalam pengaruh Turki, tentunya tidak mungkin HTS dan koalisinya berani menyerang tanpa seizin Turki. Presiden Terpilih AS Donald Trump pada 16 Desember 2024 menyatakan bahwa Turki melakukan “unfriendly takeover” di Suriah. Pernyataan ini membuktikkan asumsi bahwa Turki berada di balik penggulingan Bashar al-Assad.

Masalah ini baru faksi pemberontak yang berbeda, belum lagi pendudukan militer asing di Suriah. Masih terdapat pangkalan laut dan militer Rusia di Tartus, juga pasukan Israel sudah merangsek masuk ke luar wilayah Dataran Tinggi Golan, dan terdapat pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah tenggara Suriah. Tentunya negara lain yang sudah menguasai Suriah, tidak mau semudah itu menarik tentaranya dari Suriah. Mereka akan tetap bermain hingga siapa yang berkuasa sesuai kepentingan mereka.

Abu Muhammad al-Julani menyatakan mereka tidak akan mengganggu pangkalan militer Rusia di Tartus, pernyataan ini dikeluarkan agar Rusia tidak melakukan serangan balasan dan menyokong pemberontakan loyalis al-Assad. Tentu janji al-Julani bukan hal yang bisa dipegang, bisa saja ada negara lain yang menyuruh agar pangkalan itu ditutup dan berani memberi sokongan finansial serta dukungan diplomatik yang besar dengan syarat Rusia diusir dari Suriah. Bukan hal tidak mungkin hal itu bisa terjadi.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Kegagalan Bantuan Kemanusiaan di Tengah Krisis Medis

DARFUR – Hari ini menandai 500 hari krisis kemanusiaan terburuk

Palestina: Netanyahu Hambat Gencatan Senjata Israel-Hamas

JAKARTA – Penasihat Khusus Presiden Palestina untuk Hubungan Internasional, Dr