1 week ago
3 mins read

Revitalisasi Layanan Publik Parpol

Lambang partai politik. (Foto: Denpasar.go.id)

JAKARTA – Hasil survei nasional Indikator bertajuk ‘Evaluasi Publik Terhadap 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo’ sungguh membuat mata kita terbelalak. Bagaimana mungkin institusi demokrasi penting bernama Partai Politik (Parpol) menjadi lembaga pesakitan dengan skor terendah sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik.

Temuan Indikator menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, hanya 51 persen, dengan 48 persen yang merasa cukup percaya. Sedangkan 44 persen menyatakan kurang percaya (Republika, 5/10/2024).

Indeks persepsi publik terhadap partai politik tergolong jauh tertinggal dibandingkan dengan 10 lembaga lain yang sama-sama jadi obyek survei Indikator. Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertengger sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan tertinggi dengan angka 71 persen. Di posisi berikutnya, ada lembaga Presiden, dengan tingkat kepercayaan 85 persen.

Disusul Kejaksaan Agung (Kejakgung) dengan tingkat kepercayaan 69 persen. Sedangkan kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus merosot dengan tingkat kepercayaan 61 persen, jauh berada di bawah Polri. Polri berada satu tingkat di bawah Kejakgung dengan tingkat kepercayaan publik di angka 67 persen.

Sontak, temuan Indikator ini di satu pihak menjadi penanda bahwa masih ada banyak yang perlu dibenahi dalam hal tata kelola parpol dan kader parpol. Parpol dan kader parpol adalah setali tiga uang. Mau membenahi parpol, ya pada saat yang bersamaan mengharuskan ada pembenahan kinerja kader partai yang duduk di lembaga-lembaga publik dan pemerintahan. Ini kompatibel dengan keadaan bahwa dimana citra parpol negatif, disitu diiringi oleh kinerja kader partai yang dipertanyakan. Pun sebaliknya, kinerja kader partai buruk berkorelasi pada party identity yang rendah.

Kondisi ini terafirmasi dari temuan lapangan bahwa pada tahun 2021 Indikator mengeluarkan hasil poling bahwa partai dan masyarakat memiliki hubungan (party identity) yang sangat longgar. Dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh Provinsi, hanya 6,8 persen saja yang menyatakan memiliki hubungan dekat dengan partai.

Selebihnya, 92,3 persen, menjawab tidak ada. Sementara itu, Jajak pendapat Litbang Kompas 4-6 Oktober 2022 menunjukan publik belum merasa aspirasinya didengarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mayoritas responden (78,7 persen) menilai DPR belum memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat (Kompas, 17/10/2022).

Konsekuensi dari party identity yang rendah ini akhirnya banyak pihak tidak mau dirinya diasosiasikan dengan partai politik dan atribut-atribut partai. Maka, wajar saja kalau sampai saat ini praktik politik yang dijalankan oleh parpol di tengah masyarakat belum berhasil menstimulasi selera publik sehingga parpol belum ditangkap sebagai sarana artikulasi dan agregasi kepentingan politik yang akuntabel dan terpercaya.

Layanan politik publik

Dalam konteks ini, adalah menjadi kebutuhan setiap parpol dengan segala perangkatnya agar membangun kembali pola komunikasi politik yang lebih efektif serta menyediakan sarana (medium) layanan politik publik yang lebih kreatif dan relevan dengan kebutuhan konstituen.

Seperti yang kita tahu bahwa selama ini sebetulnya sudah tersedia layanan politik publik. Diantaranya, yang dikelola oleh Lembaga legislatif. DPR RI memiliki program yang lumayan bagus bernama Rumah Aspirasi, dan Serap Aspirasi (RESES), Kunjungan Dapil (Kundapil), dan Kunjungan Spesifik (Konspek).

Secara fungsi layanan-layanan itu disamping sebagai wahana penyerapan aspirasi politik di tingkat warga (konstituen), juga sebagai bentuk dari pelaksanaan fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat melalui pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi dan pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Bahkan, sebagai daya dukung, pasca di lantik DPR RI periode 2024-2029 membentuk Alat Kelengkapan Dewan (AKD) baru bernama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM).

Namun demikian, dengan semakin derasnya arus aspirasi yang berkembang serta semakin kompleks dan rumitnya persoalan sosial dan politik yang dihadapi masyarakat, sudah barang tentu keberadaan kanal-kanal layanan yang ada itu tidak cukup memadai untuk bisa menampung secara keseluruan aspirasi dan aduan publik yang berlangsung secara day to day.

Ketersediaan sarana layanan komunikasi publik seperti call center, web, media sosial, dan layanan sms/wa di tengah membajirnya aduan publik dirasa belum cukup. Publik membutuhkan lebih dari skedar itu. Publik lebih senang jika keluhannya bisa didengar langsung oleh stakeholder—daripada hanya ditampung kotak aduan. Kondisi ini sejalan dengan kecenderungan bahwa pejabat yang sering turun ke lapangan dalam menjalankan fungsi komunikasi publik lebih disukai daripada pejabat yang hanya bekerja di depan meja saja.

Merespon kecenderungan di atas maka PKB melalui Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) di DPR RI, menyediakan satu layanan khusus audiensi publik berupa program #PKBMelayani sebagai saluran gelaran aduan publik secara tatap muka dan langsung—antara pengadu yang terdiri dari perorangan atau kelompok masyarakat—dengan F-PKB.

PKB Melayani yang dikemas dalam format audiensi publik disini sengaja didesain sebagai bentuk respon akan masih menumpuknya aduan masyarakat yang belum tercover oleh kanal-kanal mal layan publik yang ada.

Di sisi yang lain, kehadiran PKB Melayani coba menjawab selera publik yang menginginkan respon langsung dan cepat atas aduan-aduan politiknya. Dengan kata lain, program audiensi publik PKB Melayani diharapka bisa memangkas rantai birokrasi politik aduan publik yang yang selama ini dipandang belum efisien karena masih berbelit-belit.

Penyediaan audiensi publik PKB Melayani——meminjam istilalah Jurgen Habermas (1929)—diidealkan bisa terbangun suatu model komunikasi deleberatif. Suatu format komunikasi politik yang mensyaratkan pada penggunaan argumen, logika, dan nalar secara ketat dalam setiap perundingan politik.

Kesedian PKB dalam menjembut aduan masyarakat bisa dipandang sebagai bentuk komitmen akuntabilitas dan keterbukaan PKB. Suatu komitmen moral yang diharapkan menjadi vitamin bagi pembangunan politik dan ketahanan demokrasi kita kedepan karena bisa berguna sebagai daya dorong meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat. Terlebih di tengah anjloknya kepercayaan masyarakat kepada institusi partai politik selama ini seperti terpotret dari hasil temuan Indikator di atas.

Dengan makin terbukanya akses dan keran komunikasi politik dua arah antara konstituen dan wakil-wakil politiknya di parlemen, saya yakin kedepan lambat laun akan berhasil merias wajah politik kita yang cenderung pragmatis menuju hubungan aspiratif-konstruktif antara partai dan konstituennya.

Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan politik yang dicanangkan parpol mutlak diperlukan, di satu sisi agar konstituen bisa berdiri seutuhnya sebagai subjek politik yang sadar akan hak-hak dan kewajiban politiknya. Disisi lain untuk menepis anggapan bahwa selama ini partai politik hanya menyentuh dan menyapa Masyarakat saat menjelang pemilu saja.*

Abdul Khalid Boyan, Tenaga Ahli Fraksi PKB DPR RI Bidang Aspirasi Masyarakat & Aduan Publik.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

BRICS dan Prospek Geopolitik Indonesia

JAKARTA – Untuk pertama kalinya di awal tahun 2025 Indonesia

Outlook Politik Luar Negeri Indonesia 2025

JAKARTA – Kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai kepala negara dan kepala