JAKARTA – Kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di Indonesia sejak dilantik pada 20 Oktober 2024 lalu telah membawa warna baru bagi praksis politik luar negeri dan diplomasi Indonesia di kancah regional dan global.
Dinamika politik global yang cenderung bersifat konfliktual dan berpotensi menjadi hambatan terhadap kepentingan nasional Indonesia disikapi dengan pendekatan diplomasi yang berbasis kepentingan bersama (common interest), solutif, penuh perdamaian (encouraging peace), yang merupakan esensi utama dari prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dianut oleh Indonesia. Setapak demi setapak, Presiden Prabowo Subianto berupaya menebalkan pengaruh Indonesia di kawasan Asia Tenggara, Indo Pasifik, dan konstelasi politik global.
Langkah awal
Presiden Prabowo Subianto sangat memahami esensi politik luar negeri sebagai cara berpolitik suatu negara sebagai bagian dari komunitas global (global community). Dikarenakan sebagai bagian dari komunitas global tersebut, maka apa yang menjadi kepentingan nasional Indonesia diselarasakan dengan apa yang menjadi kepentingan masyarakat regional dan global.
Perspektif ini dipandang efektif untuk mengurangi resistensi global dalam tataran sistem internasional yang semi- multipolar saat ini, memperbesar lingkaran pengaruh Indonesia (sphere of influence) terhadap negara lain, dan yang terpenting adalah pencapaian kepentingan nasional secara positive sum game (saling menguntungkan dengan negara lain), minim konflik, mengedepankan interaksi yang mutualis, sebagaimana diamanatkan dalam Preambul konstitusi, yakni politik luar negeri yang senantiasa mengedepankan perdamaian dunia (perpetual peace).
Mari kita baca satu per satu langkah-langkah politik luar negeri dan diplomasi yang dipraktikkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya sejak menjabat sebagai presiden. Pertama, melalui Menteri Luar Negeri Sugiono, Indonesia menyatakan keinginan untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS pada KTT BRICS plus di Kazan, Rusia, 24 Oktober 2024.
Kedua, Presiden Prabowo Subianto dan jajarannya melakukan kunjungan luar negeri ke beberapa negara yang memiliki posisi dan peran strategis seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Peru, Brazil, Inggris, Mesir, dan Uni Emirat Arab. Ketiga, komitmen Indonesia untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina sebagai bangsa dan negara yang merdeka melalui langkah-langkah yang lebih konkret seperti pengiriman bantuan medis dan pangan, pembukaan KBRI di Palestina, serta pengiriman pasukan penjaga perdamaian (peace keeping forces) apabila sudah mendapatkan “lampu hijau” dari PBB.
Poin ketiga ini sampai sekarang memang belum terealisasi secara sempurna, namun senantiasa diimplementasikan secara aktif dan progresif dalam praktik politik luar negeri Indonesia.
Pemaknaan
Komitmen dan ketegasan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS memiliki makna yang mendalam. Indonesia di era Presiden Prabowo Subianto menyadari bahwa relasi politik ekonomi global lebih didominasi oleh north countries atau negara-negara Utara (negara maju). Ada kecenderungan dari negara-negara Utara tersebut untuk melakukan pemiskinan secara struktural dan mendudukkan negara- negara Selatan (negara berkembang) agar selalu tergantung dengan negara-negara maju. Kondisi ini yang hendak dipecah dan dicarikan solusinya.
Oleh karenanya, Indonesia mengambil inisiatif untuk memajukan kerja sama negara-negara Selatan (global south) dengan bergabung bersama BRICS yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Indonesia yang secara atributif tergolong sebagai negara Selatan memandang bahwa kerja sama yang lebih erat di antara sesama negara berkembang akan bersifat lebih mutualis dan kolaboratif, jauh dari dependensi politik dan ekonomi, serta saling memperkuat kapasitas ekonomi nasional masing-masing. Terlebih lagi agenda politik nasional Indonesia seperti target ketahanan pangan, swasembada energi, pengembangan ekonomi hijau dan ekonomi biru, akan dapat berjalan lebih optimal dengan dibantu oleh negara-negara tersebut.
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke negara-negara sahabat merupakan realisasi konkret dari janji kampanye beliau untuk mewujudkan many friends and zero enemy dalam sirkumstansi politik regional dan global. Ada banyak pembacaan yang bisa dianalisis dari kunjungan tersebut. Pertama, kunjungan dapat dimaknai sebagai bentuk perkenalan dari beliau sebagai presiden terpilih Indonesia untuk periode 2024-2029. Ini lazim dilakukan dalam praksis diplomasi negara-negara di dunia.
Kedua, Presiden Prabowo Subianto hendak menyampaikan pesan tersirat kepada negara-negara di dunia bahwa Indonesia siap untuk lebih terbuka, lebih aktif dan kontributif dalam menyelesaikan persoalan dunia. Indonesia tidak akan bersikap pasif karena Indonesia memiliki modal besar untuk berkontribusi baik dari sisi demografi, geografi, maupun kepemilikan sumber daya alam. Ketiga, kunjungan ke beberapa negara sahabat menunjukkan cara pandang yang holistik terhadap dinamika politik internasional.
Kunjungan ke Tiongkok merupakan bentuk respek Indonesia terhadap Tiongkok yang menjelma sebagai major state baru dunia, negara yang berpengaruh di kawasan Asia Pasifik dari sisi ekonomi, perdagangan, serta pertahanan. Kunjungan ke Amerika Serikat merupakan pesan politik kepada negara Paman Sam bahwa Indonesia tidak mau dan tidak akan terjebak pada polarisasi politik yang diciptakan oleh Amerika Serikat dan Tiongkok yang menjalar ke seluruh kawasan di dunia seperti yang termanifestasi dalam perang dagang.
Kunjungan ke Brasil dan Peru menunjukkan iktikad yang kuat dari Indonesia untuk mengedepankan kerja sama Selatan-Selatan, kerja sama di antara negara-negara berkembang. Sedangkan kunjungan ke Uni Emirat Arab dan Mesir menyampaikan pesan kuat kepada negara-negara Timur Tengah dan Arab Maghribi bahwa dunia Islam tetap menjadi bagian penting dalam piramida kepentingan nasional politik luar negeri Indonesia.
Indonesia di era Prabowo Subianto terlihat lebih konsisten dan persisten dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Indonesia siap untuk mewujudkan kontribusi secara lebih aktif melalui pembangunan KBRI di Palestina, sekaligus mengirimkan pasukan perdamaian di bawah perintah dan koordinasi PBB. Hanya saja komitmen ini masih tebentur pada dinamika di DK PBB yang didominasi oleh kekuatan pro-Israel seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang memiliki hak veto. Pada KTT Developing Eight (D-8) di Kairo, Mesir, pada 19 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato secara tegas dan asertif dengan mengkritisi situasi negara-negara Islam yang cenderung tidak solid dalam mendukung kemerdekaan Palestina.
Akibatnya, soliditas negara-negara Islam menjadi lemah dan tidak cukup kuat untuk menghentikan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Jika dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia sebelumnya, pidato Presiden Prabowo Subianto ini cenderung frontal, namun mampu menghentak kesadaran dunia Islam yang suka tidak suka berada dalam kondisi terpecah.
Quo vadis?
Bagaimana quo vadis politik luar negeri Indonesia setahun ke depan? Pada hemat kami, ini menjadi poin penting nan menarik untuk dianalisis dan dibuat prognosanya ke depan. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman untuk analisisnya.
Pertama, dari sisi kebijakan nasional. Indonesia berkomitmen untuk mewujudkan target swasembada pangan dan lumbung pangan dunia, menjadi negara yang berswasembada energi dengan mengedepankan produksi energi baru dan terbarukan (EBT) secara masif, melakukan industrialisasi tinggi untuk memacu pertumbuhan ekonomi 8 persen dengan berpedoman pada prinsip ekonomi hijau dan ekonomi biru/maritim, serta menjadikan Indonesia sebagai negara yang tangguh ekosistem pertahanannya dengan mengedepankan sistem pertahanan negara yang holistik, modern, serta dilengkapi teknologi pertahanan tinggi.
Kedua, perspektif politik luar negeri Presiden Prabowo Subianto sangat kental dipengaruhi oleh cara pandang Soekarno mengenai geografische constellatie. Geografische constellatie sendiri adalah cara pandang suatu bangsa mengenai diri dan lingkungannya. Artinya, pencermatan terhadap kebutuhan nasional dan lingkungan strategis yang mempengaruhi (nasional, regional, global) akan menjadi kunci bagi arah politik luar negeri Indonesia.
Ketiga, faktor idiosinkratik Prabowo Subianto sendiri sebagai pemimpin. Latar belakang beliau sebagai prajurit TNI, menteri pertahanan, anak begawan ekonomi, mantan ketua umum HKTI, akan menjadi titik pijak beliau untuk selalu mengedepankan aspek pertahanan, ekonomi, dan pertanian dalam aras kebijakan luar negerinya.
Dengan berpijak pada pedoman analisis tersebut, maka prognosa politik luar negeri Indonesia ke depan sebagai berikut. Pertama, politik luar negeri baik dalam tataran regional maupun internasional akan dijalankan dengan mengedepankan diplomasi berbasis ekonomi dengan mendorong negara-negara sahabat dan mitra untuk menanamkan investasi sebesar-besarnya di Indonesia.
Kementerian dan lembaga negara terkait akan melakukan follow-up terhadap komitmen investasi yang telah disepakati dari kunjungan presiden yang dilakukan di sepanjang tiga bulan terakhir 2024, sembari melakukan approaching terhadap negara-negara lain untuk menanamkan investasinya. Investasi padat modal sangat diperlukan Indonesia untuk mendorong keberhasilan program swasembada pangan, pengembangan energi alternatif, dan hilirisasi tambang dan sektor-sektor lainnya yang notabene membutuhkan biaya besar.
Kedua, Indonesia akan berupaya seoptimal mungkin untuk meminimalisasi dampak negatif dari ketegangan dan konflik global yang sedang eksis saat ini seperti ketegangan Indo Pasifik, konflik Laut Tiongkok Selatan, perang Rusia dan Ukraina, serta perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok. Secara teknis, pola diplomasi yang dijalankan akan cenderung non-blok atau tidak memihak kekuatan manapun yang bertikai, mengarusutamakan kerja sama ASEAN sebagai lini pertama ketahanan nasional, serta seoptimal mungkin melakukan diversifikasi kerja sama dengan berbagai negara agar tidak terjebak pada dependensi atau ketegantungan yang dapat menyendera kepentingan nasional.
Ketiga, ujung tombak diplomasi tidak akan terlalu bertumpu kepada Kemenlu RI sebagai leading sector diplomasi. Politik luar negeri dan diplomasi yang bersifat multijalur (multi-tracks) akan lebih banyak dijalankan dengan menyasar sektor pertahanan, ekonomi, dan pertanian. Ekosistem di ketiga bidang tersebut, baik lembaga negara, korporasi, maupun pelaku individu akan lebih banyak dilibatkan, baik secara mandiri atau kolaboratif dengan Kemenlu RI dalam mencapai target-target yang ditetapkan.*
Boy Anugerah, Tenaga Ahli FPKB DPR RI.