3 months ago
5 mins read

Masinton Pasaribu: Sosialisme ala Indonesia

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Pada Pemilu Legislatif 2024 lalu, Masinton gagal melanjutkan perannya sebagai wakil rakyat di DPR RI. Ia tersingkir dari kerasnya pertarungan di dapilnya.

Walau begitu, ia tak mau menggugat kekalahannya. Baginya, apa yang terjadi cukup menjadi catatan sejarah perjalanan hidupnya. “Yang penting kita sudah berupaya, kerja keras,” ujarnya.

Berikut lanjutan perbincangan Totalpolitik.com dengan Masinton.

Apa kritik terhadap sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024?

Aku nggak ngebahas kenapa aku nggak masuk ya. Nanti dikira kita cari pembenaran, membela diri, apa segala macam, nyalah-nyalahin, nggak di situ aku. Dikira kita nggak move-on. Kalau gue sih, udah tuh, itu sebagai catatan satu pribadi, catatan sejarah juga. Makanya gue nggak menggugat apa segala macam. Tapi yang penting kita udah berupaya, kerja keras. Gue umpama ditaruh nomor 7 ya, kan.

Di dapil (daerah pemilihan)-ku dua kursi. Aku bisa posisi kedua dalam perolehan suara. Sialnya kan kursinya hilang, dari dua kursi jadi satu. Sialnya lagi kan kita posisi kedua dalam perolehan suara. Nah, cuma sebagai sebuah catatan dalam pemilu kita ya itu tadi, pemilunya nggak didesain secara benar. Maka harus perbaikan sistem politiknya juga, termasuk dalam rekrutmen.

Sistemnya umpama, apa kita masih dengan model terbuka begini, atau dimodif, atau bagaimana? Sehingga yang ke DPR itu yang berkualitas. Sekarang kan model terbuka, bablas begitu. Dan kemudian itu, semua di parlemen ya gitu. Orang bicara politik kadang ditarik lagi. Bicara soal ‘dapil saya’, padahal kan dapil itu cuma cara memilih. Artinya, bicara yang umum dong, even terkait apa yang jadi (masalah) bersama.

Bagaimana pandangan Anda terhadap Parliamentary Threshold (PT)

Nggak ada sih, tetap perlu ada threshold itu harusnya. Banyak hal yang harus dibenerin, termasuk ya di partai politik. Partai politik itu menurut saya, harus punya kesadaran sama-samalah. Terlepas apapun itu spektrum ideologinya. Dia harus mendekat ke politik, mendesain bangunan politik. Kemudian praktik politik yang mendekatkan kepada tujuan bernegara tadi, yaitu keadilan sosial. Kalau nggak semuanya lupa.

Kita semua jadi politisi, ya cuma enak di jabatan. Nggak punya sense yang tinggi lagi, bagaimana idealisme, gitu lho. Jadi politiknya begitu aja tuh. Jadi gimmickgimmick semua politik kita. Makanya tadi saya bilang, nggak lepas dari persoalan partai politik sebagai institusi ya, harus memandang politik itu sebagai sebuah cara untuk memperbaiki kehidupan masyarakat tadi.

Apa yang akan dilakukan ke depannya, setelah tidak secara formal ada di DPR?

Ya, teruslah menyuarakan mana hal-hal yang terkait dengan kepentingan rakyat tadi. Menyuarakan tentang persoalan kita, ya demokrasi kita. Demokrasi kita masih demokrasi ‘seakan-akan’. Demokrasi politiknya ‘seakan-akan’, demokrasi ekonominya nggak ada.

Padahal kita sudah reformasi, kenapa itu bisa terjadi?

Lah makanya, kalau aku sih ya perlu Reformasi Jilid II. Tapi instrumen perbaikannya harus lebih bagus. Partai harus punya semangat yang sama, harus punya karakter dan ideologilah.

Apa tanggapan terhadap stereotype dari netizen kalau PDIP hanya bagus saat menjadi oposisi?

Ya, nggak ada salahnya tuh. Itu udah benar. Kita juga di dalam begitu. Kok kita, ketika di luar pemerintah kita mengkritik kebijakan-kebijakan yang dianggap pro-neolib (neoliberal), tapi ketika kita berkuasa, kok kita membiarkan praktik itu, kan gitu ya. Nah itu makanya saya bilang tadi ya, kritik itu nggak salah. Itu juga bagian dari partai, umpama PDI Perjuangan melakukan introspeksi ke dalam.

Sehingga, ke depan jika diberikan kesempatan, kepercayaan oleh rakyat, benar-benar menjadi partai politik yang memandu arah politik bangsa ini. Lagi-lagi saya ulangi politik mendekatkan keadilan sosial tadi, tujuan bernegara. Ini kan kita politiknya sangat liberal sekali, individualis, DPR-nya begitu. Sebenarnya, partai politik itulah yang memandu perubahan sebuah bangsa, terlepas kita multi-partai atau tidak.

Makanya dalam multi-partai, seluruh institusi politik itu harus tetap punya komitmen yang sama untuk mendekatkan tujuan bernegara. Demokrasinya harus ke arah sana. Nggak menang-menangan sendiri, jalan sendiri. Kita semua harus lebih transformatiflah, bukan partai politik yang transaksional. Bukan partai politik yang melakukan transaksi, tapi partai politik yang melakukan transformasi. Dia pemandu untuk melakukan perubahan.

Apakah PDI-P lebih baik di dalam atau luar pemerintahan Prabowo?

Kalau saya sih tergantung ya. Kalau di dalam, menurut saya, hal-hal yang mendasar yang harus dibicarakan dengan Pak Prabowo, kita perbaiki. Saya justru khawatir dalam pembacaan saya, kalau Pak Prabowo mengambil jalan keberlanjutan, maka akan jadi masalah sendiri bagi Pak Prabowo. Kalau mau dilanjutkan program ini, IKN atau segala macam, beban APBN-nya nggak cukup.

Kedua, harus dievaluasi berbagai program tadi. Kan nggak bisa nih, kita lihat nih kan hari ini, kenapa Dollar (naik). Kan nggak bisa dong kita bilang, ‘oh ini memang trend global-nya begini, Amerika naikkan suku bunganya sekian’, kan ada perang Ukraina segala macam, jadi yes okay. Ini umpama, kembali ke Pak Prabowo, apakah dia mau melanjutkan?

Menurut saya, kalau dia lanjutkan kondisi sekarang, dengan trend global yang nggak pasti begini, itu juga akan rawan. Kan kita lihat itu pertumbuhan di kelas menengah. Terus anak-anak muda, kan nggak ada pertumbuhan dari kelas menengah kita, lapangan kerja dan lain-lain. Terus kalau masyarakat bawah, kan dia ya melihat aja.

Tapi kan motor penggerak itu kan menengah. Nah kelas elite segelintir ini udahlah, udah nyaman itu. Nah, sekarang kan di mana nih sebagai katalisator, bagaimana dia menjaga kelas menengah, kelas terdidik, anak-anak muda ini bisa tumbuh. Kalau dengan model sekarang tuh, semuanya prioritas anggaran tuh cuma menyuap ke bawah. Itu udah salah sasaran. Di tengahnya nggak tumbuh. Itu kan juga masalah.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

‘Anies Tidak Jadi Maju Bukan Karena Ridwan Kamil’

JAKARTA – Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah

Membangun Ketahanan Demokrasi 

JAKARTA – Konsolidasi demokrasi merupakan tahapan paling krusial dari proses