1 year ago
7 mins read

Masinton Pasaribu: Kegagalan Kolektif Anak Bangsa

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu. (Foto: Totalpolitik.com)

Kini kita bicara tentang diri Anda. Apa yang menyebabkan Anda terjun ke dunia politik?

Tertarik terjun ke dunia politik itu karena terkait dengan hajat hidup orang banyak. Politik itu (soal) hajat hidup orang banyak. Karena kita tahu semua mekanisme pengambilan keputusan dan segala macam melalui mekanisme politik. Makanya, kita berharap bahwa kontribusi dalam lapangan politik itu kita bisa melakukan sesuatu. Tapi itu kan nggak cukup kalau hanya kita saja. Yang mendasar bagi kita dalam politik itu selalu mengacunya ke situ. Prinsip dalam konteks kepentingan rakyat banyak, kepentingan masyarakat banyak. Kalau aku ya, dalam politik itu kita nggak bisa lepas dari yang namanya Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Seluruh langkah politik itu harus dalam konteks itu sebenarnya.

Apakah itu merupakan cita-cita politik Anda?

Ya, sebagai cita-cita dan misi kita. Politik itu kan harus dimaknai untuk kepentingan orang banyak. Bukan kita pribadi, bukan golongan kita. Partai yang kita yakini bahwa partai memiliki panduan, memiliki ideologi, memiliki program. Tapi itu kan harus dilakukan dengan kuat dan bersama-sama. Kalau aku melihat justru khawatir dengan masa depan demokrasi kita. Ketidakjelasan politik kita ini, ya begini saja. Politiknya cuma gimmick ‘seakan-akan’. Nggak pernah menyentuh persoalan mendasar tadi. Nggak revolusioner.

Harusnya kan negara lebih revolusioner. Revolusi dalam arti bukan kekacauan atau apa ya, (tapi) semangat mengubah ke akar. Menyentuh hal-hal yang fundamental. Okay, kita membuka diri terhadap investasi. Tapi ada dong sisi satu soal keberpihakan, perlindungan, kemanfaatan dalam jangka pendek, menengah, atau panjang. Terus ada kesinambungan pembangunan. Kan lucu nih kita sebagai sebuah bangsa, nggak ada guidance. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kita nggak jelas. Bernegara harusnya ada panduan.

China hari ini, kemarin mereka membuat perencanaan China 50 tahun. Sekarang dia (buat) perencanaan China 100 tahun. Dan mereka konsisten, step-step-nya tadi. Perencanaan mereka sekarang adalah bagaimana bisa explore. China meng-explore Mars, planet di luar Bumi. Coba ita lihat nih, kita umpama ada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), pembiayaan-pembiayaan beasiswa ke luar negeri, apa segala macam, tapi instrumen di dalamnya kita nggak siapin.

Orang kita sekolahkan, it’s okay. Kemudian ada yang sudah kelar, dia enggan balik. Terus dari dalam negeri bilang ‘wah itu nggak nasionalis’, bagi saya terlalu prematur tuduhan itu. Bukan dia tidak nasionalis, ‘kalau gua balik, ekosistem di dalam, ekosistem kerjanya nggak mendukung dia untuk tumbuh’. Masih pakai ordal. Yang nggak punya ordal gimana dong? Sementara ketika dia bergaul di sana, sistem, merit system-nya, sistem dalam dia kerja, lingkungan kerjanya, membuat dia bisa tumbuh. Di kita kan nggak ada begitu.

Orang sudah kita sekolahin ,habis itu balik-balik ya udah, terserah elu mau ngapain. Harusnya diciptakan (ekosistemnya) dong. Sehingga anak muda kita yang penerima LPDP tadi, menjadi bermanfaat bagi negara sebagai anak-anak muda yang mampu memberikan transformasi pengelolaan pemerintahan dan lain-lain. Bagaimana dia dengan kerjanya, sistem kerjanya. Bagaimana proses nanti kalau dia bekerja bagus, meritokrasi sistemnya berjalan, kariernya jelas, kan harusnya begitu. Nah, di kita nggak ada. Ya udah, nanti balik lagi tanpa ada penciptaan kondisi itu tadi.

Kenapa pilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) di antara sekian banyak partai lainnya?

PDI Perjuangan itu partai yang, satu dia punya ideologi, kedua sejarah. PDI Perjuangan itu kan sebelumnya PDI. PDI itu fusi dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, Partai Kristen, dan Partai Katolik. Partai nasionalis, kebangsaan, kerakyatan. Saya kan senang dengan pemikiran Bung Karno. Bung Karno itu bagian dari PNI. Nah ideologi, historis, itulah yang kemudian membuat saya ke PDI.

Banyak partai lain yang juga platform-nya nasionalis, tapi yang punya karakter kerakyatan, ya PDI. Partai lain kan juga nasionalis, seperti Golkar, Gerindra, NasDem, Demokrat, dan lain-lain. Tapi karakteristik nasionalis kerakyatan itu lebih ada di PDI Perjuangan. Karena dianggap konsisten dengan pemikiran Bung Karno tadi. Nah menurut saya, itu yang hilang dari bangsa ini.

Kemarin aku ke Tanzania, ini menarik. Negaranya itu toleransinya tinggi. Jadi Tanzania itu kan gabungan dari Zanzibar, kepulauan East Afrika, terus kemudian di mainland-nya itu Tanganyika, maka itu digabungkan jadi Tanzania. Di situ kira-kira populasinya itu, 60-40 persen, 60 persen Kristen, 40 persen Islam. Kira-kira gitu. Tetapi di sana toleransinya sangat tinggi. Nggak pernah mempermasalahkan orang, nggak ada orang ribut karena persoalan agama atau keyakinan, nggak pernah.

Kemudian, keributan di jalan itu nggak pernah ada. Kenapa? ‘Di sini itu prinsip kami itu hakuna matata,’ katanya. Hakuna matata itu artinya no problem. Keyakinan dia (itu) keyakinan dia, keyakinan gue (itu) keyakinan gue. Kira-kira begitu. Toleransinya tinggi, nggak cuma di Indonesia, ternyata lebih keren mereka. Di jalanan nggak ada ribut. Dengan prinsip hakuna matata tadi itu, no problem, kita semua sama, kita semua saudara. Kira-kira begitu.

Kemudian, uniknya di situ itu pendiri bangsa mereka hormati, Julius Nyerere. Jadi yang ada dalam official kantor-kantor pemerintah atau swasta, ya hanya gambar pendiri bangsanya, Julius Nyerere. Terus di depannya itu presidennya doang, wakil nggak ada. Cuma dua foto itu aja, presiden yang menjabat sama pendiri bangsa.

Di sana ada hukum yang tidak tertulis (dalam) konstitusi mereka itu. Dan itu sudah berlangsung lama. Kalau dia umpama presidennya Muslim, wakil presidennya non-Muslim. Kalau presidennya non-Muslim, wakilnya Muslim. Luar biasa. Lebanon juga gitu. Nggak perlu ditulis. Kita yang tertulis aja bisa diubah.

Kemudian di China kita lihat. Pendiri bangsanya, Pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) itu, tetap Mao. Di China itu museum selalu ramai. Karena apa? Mereka datang ke museum itu melihat sejarah peradaban masa lalu bangsanya. Anak-anak mudanya antusias. Sebuah bangsa itu, dia bisa punya karakter, dia memahami sejarah peradaban bangsanya, dari zaman kekaisaran ini, dinasti ini. Itu yang Bung Karno sebut dengan Jas Merah (jangan sekali-kali melupakan sejarah).

Sebuah bangsa itu dia bisa tumbuh, punya karakter, punya kepribadian, karena dia tumbuh dan berangkat dari sejarah pergulatan bangsanya. Dan mereka meng-explore terus kemajuan peradaban mereka sebelum-sebelumnya. ‘Ini lho kita bangsa yang pekerja keras, bangsa yang bisa berinovasi dari berbagai fase sejarah.’ Dari zaman batu hingga modern.

Kita kan nggak kebayang, umpama kalau kita baca literasi-literasi tentang China 20 tahun lalu. Kan dianggap kolot segala macam. Dianggap, propagandanya itu-itu aja, anti-kemajuan. Sekarang kebalik. China sekarang itu kotanya bersih, di mana-mana itu yang namanya Starbuck—yang dianggap simbol borjuasi, kapitalisme global—ada semua. Brand-brand internasional macam Hermes dan segala macam itu di setiap kota. Luar biasa. Tampilan anak-anak mudanya kebarat-baratan, tapi budaya (Chinanya) tetap terjaga.

Selanjutnya: Masinton Pasaribu: Sosialisme ala Indonesia

 

1 Comment

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Zulfan Lindan: Pramono Anung Sudah Punya Basis Suara Solid

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menyoroti strategi politik yang

Pilgub Jateng Tantangan bagi PDIP

JAKARTA – Politisi Senior, Zulfan Lindan, menilai pemilihan gubernur di
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88