4 months ago
1 min read

‘Ketuhanan yang Berperikemanusiaan’ ala Bung Karno

Presien RI Pertama, Sukarno. (Foto: Quora)

JAKARTA – “Ketuhanan yang Maha Esa” kini dikenal sebagai bagian pertama dari Pancasila. Tapi siapa sangka, sila tersebut awalnya merupakan yang terakhir dalam gagasan Sukarno mengenai azas-azas yang mendasari pendirian negara Indonesia modern.

Pada 1 Juni 1945, baru setelah Sukarno membicarakan azas nasionalisme, kemanusiaan, demokrasi, dan kesejahteraan sosial, ia membahas “prinsip ketuhanan”.

“Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa,” ujarnya.

Daniel Dhakidae dalam artikel berjudul “Lima Bulan yang Mengguncang Dunia: Kelahiran Pancasila, Proklamasi, dan Pendirian Negara-Bangsa” menjelaskan kenapa sila mengenai ‘Ketuhanan’ itu dimunculkan terakhir.

Sebetulnya, Dhakidae pun mengakui kalau keputusan Sukarno menempatkan sila “Ketuhanan yang Maha Esa” di akhir menggemparkan.

“Ketuhanan ditempatkan sebagai sila terakhir, yang dalam pandangan umum kalau mengatakan sesuatu dalam urutan dan berhubungan dengan Tuhan, maka harus mendapatkan kedudukan pertama dan bukan terakhir,” katanya.

“Karena itu, apa yang dikemukakan Sukarno menjadi sacrilegious, blasphemous (penistaan) bagi siapapun yang beriman,” lanjutnya.

Berperikemanusiaan

Salah satu penjelasan yang diberikan oleh Dhakidae berkaitan dengan pemahaman ontologis Sukarno atas Pancasila yang ia rangkai sendiri itu.

Mengutip pidato Sukarno, Dhakidae menafsirkan sila “Ketuhanan” yang ia munculkan di akhir berlandaskan kepada dasar kemanusiaan, bukan agama.

“Jangan pun Weltanschauung (pandangan dunia) yang diadakan oleh manusia… “De mensch,” – manusia – harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit. Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit,” ucap Sukarno.

Karena manusia berjuang atau bekerjalah, Dhakidae memahami, ‘ketuhanan’ muncul dan menjadi bermakna bagi orang-orang.

“Tanpa kerja tidak ada kebudayaan, tidak ada masyarakat, dan tidak ada ketuhanan,” ujarnya dalam artikel yang telah disinggung.

Baru setelah orang-orang berjuang untuk mewujudkan pandangan-pandangannya, termasuk agama, maka ‘ketuhanan’ bisa hadir dalam kehidupan manusia.

“Ketika Sukarno mengatakan bahwa perjuangan adalah menschlich, dan dalam Menschlichkeit (kemanusiaan) dari perjuangan itulah terletak keberhasilan dari Gottlichkeit, dari sila pertama,” kata Dhakidae.

Dan hadirnya ‘ketuhanan’ setelah manusia berjuang itulah yang sengaja dijadikan sila terakhir oleh Sukarno.* (Bayu Muhammad)

Baca juga:

Gali Dasar Negara, Bung Karno Temukan Pancasila

Sukarno Memilih antara Nasionalisme dan Agama

Kelahiran Putra Sang Fajar

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Penjelasan Sukarno tentang Peristiwa Gerakan 30 September

JAKARTA – Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) merupakan kejadian yang

Bung Karno dan Rehabiitasi Sejarah

JAKARTA – Peristiwa krusial Pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 pada