8 months ago
4 mins read

Gali Dasar Negara, Bung Karno Temukan Pancasila

Proklamator Kemerdekaan sekaligus Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno. (Foto: Web)

JAKARTA – 1 Juni 1945, itu akan menjadi hari yang menentukan dalam sejarah Indonesia. Pada saat itu, seorang pemuda berperawakan ramping dan tinggi mencoba untuk menjawab apa yang menjadi dasar-dasar kemerdekaan Indonesia. Jawabannya adalah lima azas yang kini dikenal sebagai “Pancasila”.

Sosok itu tidak lain adalah Ir Sukarno. Dan ia mengambil kesempatan berbicara di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk mengatasi permasalahan yang amat mendasar itu.

“Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag… meminta suatu weltanschauung, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu,” katanya.

Ketika Ketua BPUPK, Dr Radjiman Wedyodiningrat, dan peserta-peserta sidang lainnya menajamkan telinga mereka, Sukarno menyuarakan pemikiran-pemikirannya soal philosophische grondslag secara panjang lebar dan rinci.

Kebangsaan

Sukarno berpikir kalau azas pertama negara Indonesia adalah kebangsaan. “Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan kesatuan wilayah-wilayah yang secara geografis sudah ditentukan oleh Tuhan terhimpit antara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Hindia dan Pasifik.

“Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!” jelas Sukarno.

Selain itu, kebangsaan Indonesia dilihat oleh Sukarno sebagai kesatuan dari orang-orang yang tinggal dalam bentangan wilayah yang telah disebutkannya tadi.

“…bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh SWT, tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra sampai ke Irian! Seluruhnya!

Sukarno juga menilai kalau 70 juta rakyat Indonesia saat itu sudah memiliki ‘le desir d’etre ensemble’ atau kemauan untuk bersatu. “Umat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu. Satu, sekali lagi satu!” tekannya.

Oleh karena itu, Sukarno mengajukan agar Indonesia berdasarkan azas kebangsaan, yaitu kesatuan wilayah dan orang-orang di dalamnya menjadi suatu negara yang satu.

“Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat,” lanjutnya.

Internasionalisme

Akan tetapi, Sukarno menyadari bahayanya kebangsaan, atau nasionalisme yang berlebihan. Sauvinisme yang beberapa waktu sebelumnya mendorong beberapa negara di Eropa untuk merendahkan dan menjajah negara-negara lainnya telah menciptakan Perang Dunia II yang datang membawa kehancuran. Maka, ia tak mau nasionalisme Indonesia menjadi berlebihan.

“Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham ‘Indonesia uber Alles’. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia!” lanjutnya.

Bung Besar berkaca dengan obrolannya bersama salah satu pemimpin kemerdekaan India, Mahatma Gandhi, yang sempat mengatakan kalau “My nationalism is humanity”.

Sukarno tidak mengartikan kalau kebangsaan Indonesia merupakan nasionalisme sauvinistik yang berkeyakinan ‘uber Alles’ dan merendahkan negara-negara lainnya.

Tapi ia melihat bahwa nasionalisme Indonesia haruslah berdampak kepada munculnya rasa kemanusiaan terhadap negara-negara lainnya dalam pergaulan internasional. Itu lah yang ia kehendaki.

Ia menyiratkan kebangsaan yang sauvinistik akan mengacaukan perdamaian dunia. Sebaliknya, kekacauan global pada gilirannya akan menghambat ekspresi nasionalisme dari bangsa-bangsa yang menghendaki suatu negara merdeka.

“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme,” sambungnya.

Mufakat

Sukarno tidak menafikan kondisi bangsa Indonesia yang beragam. Ia mengakui ada banyaknya suku, agama, ras, antar-golongan, dan kelompok yang mungkin punya kepentingannya masing-masing. Tapi, ia menyatakan bahwa negara Indonesia dibentuk ‘semua buat semua.’

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar ‘dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan’, diadopsi sebagai azas yang mendasari kehidupan nasional Indonesia ke depannya.

Mengungkit kelompok agama yang dominan di Indonesia, Sukarno berkata, “Saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini… Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya.”

Dengan adanya sistem perpolitikan yang didasari kepada ‘permusyawaratan’, ia ingin agar semua kelompok bisa memperjuangkan kepentingannya dengan cara-cara yang teratur dan tidak diskriminatif.

Kelompok-kelompok yang beragama Islam dan Kristen contohnya, nanti dapat bertanding memperebutkan kursi di dewan perwakilan rakyat.

Setelahnya, mereka dapat menggunakan kekuatan di parlemen untuk menciptakan dan menetapkan undang-undang yang sesuai dengan kepentingan mereka. “Itu adil, fair play!” kata Sukarno.

Kesejahteraan

Tapi permusyawaratan semata-mata tidak cukup bagi Sukarno. Ia mempelajari bagaimana demokrasi yang mencakup ‘kebebasan politik’ saja tidak mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat di negara-negara Eropa. Baginya, itu tidak memuaskan.

“Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democracy. Tetapi tidakkah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?” ujarnya.

Ia menilai gagalnya negara-negara Barat untuk mensejahterakan rakyatnya karena, “Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie di sana itu hanyalah politike-democratie saja. Semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali,” tandasnya.

Makanya, Sukarno menegaskan kalau permusyawaratan atau demokrasi yang hendaknya dicari oleh bangsa dan negara Indonesia adalah yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!

Terlebih, orang-orang Indonesia sudah lama membicarakan apa yang mereka sebut sebagai ‘Ratu Adil’.

“Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan di bawah pimpinan Ratu Adil,” jelasnya.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Tantangan Kualitas Pemimpin Politik Pasca Reformasi

JAKARTA – Pendiri Inisiatif Sabri & Saudara (ISS), Miftah Sabri,

Kekerasan Hancurkan Keadaban Pancasila

JAKARTA – Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila