JAKARTA – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengadakan peluncuran hasil penelitian bertajuk ‘Potret Penegakan Hukum dan Pemberian Layanan kepada Buruh Migran Indonesia yang Menjadi Korban Perdagangan Orang’ di Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Adapun penelitian tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi pelik yang dialami oleh pekerja migran Indonesia.
“Sepanjang tahun 2019-2023, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) telah menerima dan mendampingi sebanyak 1.607 kasus calon pekerja migran Indonesia atau pekerja migran Indonesia yang terindikasi kuat sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” terang mereka dalam pemaparan yang dilakukan oleh Tim Advokasi SBMI, Dios Lumban Gaol.
Selanjutnya, penelitian tersebut juga dilatarbelakangi oleh adanya kesimpangsiuran dalam penafsiran produk-produk hukum, yaitu UU TPPO dan UU PPMI ketika hendak diaplikasikan oleh aparat-aparat penegak hukum.
Kemudian, SBMI juga menyorot lemahnya pemenuhan hak-hak korban dalam melaksanakan penelitian mereka.
“Lemahnya pemenuhan hak korban terutama hak atas restitusi, terdapat 11 putusan pengadilan kasus TPPO yang didampingi SBMI mendapatkan hak restitusi senilai Rp 4.227.385.259 yang sayangnya hingga saat ini restitusi tersebut belum dibayarkan pelaku kepada korban,” lanjut Dios.
Isu problematik
SBMI menemukan terjadinya kesimpangsiuran dalam upaya berbagai pihak, terutama aparat penegak hukum dalam menafsirkan produk-produk hukum terkait dengan perlindungan terhadap buruh-buruh migran.
“Kesenjangan antara Protokol Palermo dan UU No 21 Tahun 2007 dalam pembuktian eksploitasi. Protokol Palermo hanya membutuhkan bukti tujuan eksploitasi untuk menetapkan kejahatan perdagangan manusia sehingga eksploitasi tidak perlu harus terjadi. Sedangkan UU No 21 Tahun 2007 memerlukan pembuktian eksploitasi dalam kasus delik materil,” papar SBMI.
Jadi terdapat perbedaan pemahaman di mana tidak jarang suatu tindakan baru bisa dikatakan sebagai ‘eksploitasi’ apabila sudah terjadi.
Masih terkait dengan kesimpangsiuran pandangan, SBMI juga menemukan adanya perbedaan pendapat dalam menggunakan UU PTPPO dan UU PPMI ketika para penyidik hendak menentukan suatu tindakan masuk ke dalam jenis kejahatan apa.
Terdapat kasus-kasus di mana para penyidik mengklasifikasikan calon pekerja migran yang direkrut secara melawan hukum sebelum berangkat merupakan kasus penipuan.
Berkebalikan dengan itu, Jaksa dari Jakarta mengklasifikasikan suatu perbuatan sebagai TPPO sepanjang 3 unsur utama TPPO terpenuhi.
Kemudian, seperti yang disampaikan sebelumnya, SBMI juga menemukan kalau pihak-pihak yang berwenang masih belum memprioritaskan pemenuhan hak-hak korban.
“Para penyidik dan Jaksa belum menganggap penting tentang hak korban TPPO terutama terkait dengan akses terhadap rehabilitasi dan restitusi,” lanjut SBMI.
Demikian hasil penelitian yang dilakukan SBMI dengan memfokuskan beberapa daerah, yaitu Provinsi Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan Jakarta.* (Bayu Muhammad)
Baca juga:
JPPI: Pembatalan Kenaikan UKT Kuliah Tidak Cukup
Pemerintah dan Komnas HAM Diduga Langgar Hak Ribuan Buruh Freeport