1 year ago
6 mins read

Dahnil A Simanjuntak (3): Pijakan Dua Momentum

Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak. (Foto: Totalpolitik.com)

Apa yang dilakukan Bapak di sana? Apakah masih jadi ASN?

Bapak saya mulai bisnis lagi di sana lagi. Kemudian, lulus SMP saya pindah ke Jakarta. Di sini momen saya, titik balik juga dalam kehidupan saya. Dari Sibolga pindah ke Jakarta, masuk SMA. Saya itu sekolah dari SD sampai SMP, selalu juara 1. Pindah dari SMP (masuk SMA), kondisi ekonomi Bapak payah.

Di Jakarta Bapak sempat jadi supir taxi Bluebird, segala macam. Saya bekerja jadi tukang parkir di Ciledug, Tangerang. Tukang parkir di Rumah Sakit Medika Lestari. Pas mau masuk SMA, nggak ada duit. Akhirnya, waktu itu putus sekolah, nggak bisa daftar. Waktu itu daftar ke SMA Negeri 1 Tangerang, tapi kemudian nggak cukup uang. Nggak mudah, putus harapan saja, nggak bisa sekolah.

Suatu hari, Om saya yang kebetulan tinggal di Ciledug, mendaftarkan saya ke sekolah SMA Muhammadiyah 1. Saya ingat, dia bawa saya naik motor Astrea Prima ke sekolah itu. Sekolahnya agak rendah, turun ke bawah gitu, jadi kalau hujan banjir. Nggak bayar uang pendaftaran segala macam, saya masuk gratis di situ. Mungkin Om saya kenal (dengan pihak sekolah), jadi gratis.

Selama tiga tahun, saya dapat beasiswa terus dari sekolah ini karena juara 1. Kepala sekolahnya mencarikan beasiswa, saya dapat beasiswa terus. Ketika masuk ke sekolah itu, saya nggak suka karena sekolahnya jelek. Tidak seharusnya saya di sini, karena prestasi saya lebih bagus. Tapi karena kondisi ekonomi, ya sudah.

Lantas kenapa bisa bertahan?

Kesimpulan yang mau saya dapat apa? Untuk sesuatu yang kita tidak suka, itu belum tentu nggak baik buat kita. Allah itu selalu kasih jalan yang terbaik buat kita. Sesuatu yang kita nggak suka, belum tentu itu jelek buat kita. Bisa jadi itu adalah jalan yang diberikan Allah untuk kita. Terus terang, dari SMA itulah kemudian saya dapat beasiswa. Dari SMA itulah semangat aktivisme saya mulai tumbuh.

Saya jadi Ketua OSIS di situ. Saya dididik sebagai Kadep Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan paham organisasi dari situ. Dari Ketua OSIS, Ketua IRM, semuanya dari situ. Basis pertama saya berorganisasi dari situ. Ibaratnya batu lompatan pertama saya, milestone saya.

Di situlah saya mulai aktif. Dari mulai Ketua Cabang Muhammadiyah, terus naik, sambil tetap saya jadi tukang parkir. Saya markir cari duit untuk apa? Karena di tahun kedua, orang tua saya (Bapak dan Ibu) dan adik-adik sudah kembali ke Medan. Mereka kembali lagi ke Medan. Bapak mulai usaha, mulai bisnis di Medan sampai dengan sekarang.

Jadi Anda sendirian di Tangerang?

Saya tinggal sendiri di Tangerang, ngekos sendiri. Sampai pas kuliah, saya nggak bisa kuliah lagi. Saya nganggur satu tahun. Maunya (kampus) negeri, nilai bagus, tapi kan nggak ada duit. Tetap saja. Akhirnya, saya masuk ke Universitas Ahmad Dahlan Jakarta. Saya tetap sambil bisnis. Karena saya waktu itu parkirnya di rumah sakit, saya buka toko obat. Kemudian, saya buka restoran. Pelan-pelan, dibantu orang tua saya yang mulai membaik kondisi ekonominya.

Setelah selesai S1, saya lanjut S2 di Universitas Indonesia (UI). Saat S1 selesai tahun 2005 itu, saya langsung diminta jadi dosen di Universitas Muhammadiyah Tangerang. Umur saya baru 22 tahun sudah jadi dosen. Saya mengajar mahasiswa yang umurnya 30-an, terutama kalau kelas malam.

Setelah itu saya jadi dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, di Serang. Di situ saya jadi ASN, di tahun 2007. Kemudian pada 2017, saya selesai S3. Pada 2018, saya mundur jadi ASN karena bergabung dengan Pak Prabowo.

Lalu kapan jadi Ketum Pemuda Muhammadiyah?

Saya jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah di 2014-2018, saya sudah doktor. Jadi pada 2017-an itu saya sudah doktor. Yang jadi doktor saat Ketum Pemuda Muhammadiyah itu antara lain saya, Mas Saleh dan, Pak Din Syamsuddin. Kami bertiga waktu itu berstatus doktor ketika jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Tambah lagi, dalam sejarah Pemuda Muhammadiyah, saya paling muda jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah.

Siapa lawan Anda saat kontestasi jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah?

Ada Ketua DKI, Ketua Jawa Tengah, ada empat-lima (calon). Jadi saya pada saat itu, terpilih jadi Ketua Umum saat berusia 32 tahun. Padahal, dalam sejarah Pemuda Muhammadiyah, rata-rata umurnya 37-38 tahun. Cak Nanto yang terakhir itu bahkan sudah 40 tahun. Waktu itu yang sempat bertemu dengan saya ketika jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, misalnya Nusron Wahid di GP Anshor. Nusron sudah senior sekali. Kemudian, Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Agama saat ini.

Anda juga jadi Ketua Youth Interfaith Religion for Peace Asia and Pacific Network saat itu?

Ketika saya terpilih jadi Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, sebelum itu saya sudah aktif di Youth Interfaith Religion for Peace Asia and Pacific Network. Saya sudah aktif sejak 2012. Pada 2014, saya terpilih sebagai presidennya.

Youth Interfaith Religion for Peace Asia and Pacific Network adalah organsisasi pemuda lintas agama. Saya banyak terlibat dalam mediasi, dialog antar lintas agama di dunia. Jadi pada saat itu double; sebagai Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah dan Presiden Youth Interfaith Religion for Peace Asia and Pacific Network. Pada 2019, dua-duanya selesai. (bersambung)

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Ide Koalisi Permanen

JAKARTA – Pada pertemuan dengan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM

Menakar Prospek Hubungan Diplomatik Indonesia dan Turki

JAKARTA – Pada tanggal 11-12 Februari 2025, Presiden Turki Reccep
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88