1 year ago
6 mins read

Dahnil A Simanjuntak (3): Pijakan Dua Momentum

Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak. (Foto: Totalpolitik.com)

JAKARTA – Masa kecil Dahnil yang akrab dengan nilai-nilai keislaman turut mewarnai perjalanan hidupnya sebagai aktivis Muslim.

Ada dua hal, kata dia, yang menjadi dasar pijakannya dalam menyusuri jalan aktivisme di kemudian hari; masa kecil dan masa remajanya.

Sejak kecil Dahnil memang dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah, dan dakwah-dakwah ala Muhammadiyah ini begitu lekat dengan kesehariannya.

“Keluarga saya berangkat dari keluarga Muhammadiyah. Kakek saya, semuanya pendiri Muhammadiyah di kampung saya, di Barus, Tapanuli Tengah,” tuturnya.

Saat remaja, Dahnil harus rela hidup sendiri untuk melanjutkan sekolah dan kuliahnya di Tangerang. Untuk membiayai sekolah, ia bekerja sebagai tukang parkir di sebuah rumah sakit.

Dua pengalaman itulah yang membentuk karakter dan semangat aktivismenya dalam dunia yang ia tekuni saat ini.

Anda dikenal sebagai aktivis yang cukup mumpuni, bisa diceritakan sejak kapan mulai aktif berorganisasi?

Kalau di Muhammadiyah itu, memang keluarga saya berangkat dari keluarga Muhammadiyah. Kakek saya, semuanya pendiri Muhammadiyah di kampung saya, di Barus, Tapanuli Tengah. Ibu saya dari Al-Washliyah, jadi agak berbeda. Dari jalur Bapak saya, semuanya Muhammadiyah. Ibu saya Al-Washliyah. Karena ada jalur Nenek saya dari Nahdlatul Ulama (NU). Apalagi saya (marganya) Simanjuntak. Simanjuntak itu orang Batak biasanya Kristen. Makanya, saya biasa hidup dalam suasana keberagaman itu.

Salah satu yang juga menarik itu adalah cerita tentang dakwah Muhammadiyah yang saya pertama kali bersinggungan. Waktu kecil, waktu Sekolah Dasar (SD) kelas 3 dan kelas 4—masih kecil sekali—kampung saya itu di daerah Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Ibu saya orang Tamiang, bapak saya orang Batak.

Di Aceh Tamiang itu, dulu namanya Aceh Timur. Di Kuala Simpang itu, kampung saya namanya kampung Sriwijaya, terdapat satu masjid besar (masjid jami’) dan satu langgar. Langgar itu mushola kecil yang tidak digunakan untuk shalat Jumat. Rumah saya di tengah-tengah antara masjid dan langgar itu.

Kami anak kecil itu kalau maghriban suka ke masjid yang besar. Tapi kelakuan anak-anak kan Anda tahu, kalau shalat main-main, tendang-tendang, bercanda, berisik, khas anak-anak. Marbotnya (takmir masjid) dan ustadz-ustadz di sana kadang ngomel ke kita. Kalian ini bandellah, segala macam. Bahkan, kami kadang diusir oleh marbot dan ustadz-ustadz di situ karena dianggap mengganggu shalat. Kami pun takut dan nggak berani shalat ke situ (masjid besar).

Saat itu, seringkali kalau mau shalat kami ketemu dengan seseorang yang bernama Atok Kasim. Dia adalah ustadz di langgar kecil itu, namanya Langgar Takwa. Ini langgarnya Muhammadiyah. Kalau bertemu Atok Kasim di jalan, dia selalu ngajak, ‘Yuk, shalat.’ Akhirnya, kami anak-anak kecil ini ikut shalat di langgar.

Di langgar, kelakuan kami nggak berubah. Tapi Atok Kasim nggak pernah marah. Paling dia hanya menasihati, ‘udah, udah’. Saya disuruh azan sama Atok Kasim. Malah, Atok Kasim bagi-bagi tugas ke kita. Jadi kalau kami shalat itu, walau berisik, Atok Kasim hanya liatin, hanya senyumin.

Kadang kan anak-anak selalu ditaruh di belakang saat shalat jamaah. Oleh Atok Kasim, kita ditaruh di saf depan, ‘Kalian, di sini. Yang di belakang itu adalah orang-orang tua,’ katanya. Jadi, kami nggak bisa bergerak gitu. Atok Kasim nggak pernah marah-marahin kita. Dia itu komunikasinya bagus. Nah, sejak saat itu, anak-anak ini semuanya senang di situ, di Langgar Takwa. Akhirnya, kami bantu-bantu di langgar.

Apa yang saya ingin sampaikan terkait dengan Atok Kasim? Dia adalah gambaran pertama saya tentang dakwah Islam dan tentang Muhammadiyah. Itu saja yang tertanam dalam hati saya sampai sekarang. Doktrin pertama pada saya tentang Islam, tentang dakwah Islam dan dakwah Muhammadiyah. Semua itu dari Atok Kasim.

Atok Kasim itu tidak pernah memukul, tapi merangkul. Dia melibatkan orang-orang yang dianggap tidak pantas itu menjadi pantas. Atok Kasim mendidik dengan cara begitu. Akhirnya, kami terlibat azan dan segala macam. Jadi, dakwah dia itu bukan memukul, tapi merangkul. Dakwah dia itu persuasif, bukan membenci atau marah-marah. Dan dia memberikan contoh, teladan. Itu yang dilakukan oleh Atok Kasim.

Kemudian, peristiwa kedua yang membuat saya aktif adalah waktu itu saat tinggal di Aceh Tamiang, masih era konflik. Pak Harto dulu menyebutnya Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Momentum itu, saya dengan keluarga, Bapak jadi korban. Bapak saya waktu itu adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) di sana, penyuluh lapangan pertanian. Akhirnya Bapak, kalau istilah anak Medan, ‘lari malam’. Lari malam itu karena situasi tidak menentu, keamanan yang sangat membahayakan.

Akhirnya orang tua saya membawa kami semuanya keluar dari Aceh Tamiang menuju Medan. Dari Kuala Simpang ke Medan itu sekitar tiga jam. Kami lari tengah malam karena situasi tidak aman, mengancam keselamatan, segala macam. Suasana kan panas, ada konflik antara GPK dengan TNI-Polri pada saat itu. Kami semua meninggalkan Kuala Simpang. Itu sekitar tahun 1990-an. Di Medan, Bapak kemudian pindah dan tinggal di Sibolga. Saya sekolah SMP di Sibolga, Tapanuli Tengah, kampungnya Bapak saya.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Ide Koalisi Permanen

JAKARTA – Pada pertemuan dengan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM

Menakar Prospek Hubungan Diplomatik Indonesia dan Turki

JAKARTA – Pada tanggal 11-12 Februari 2025, Presiden Turki Reccep
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88