JAKARTA – Kurang lebih 100 kilometer barat daya Surabaya, di Kota Kediri, kelompok-kelompok nasionalis dari seluruh Indonesia berkumpul. Dipelopori oleh Serikat Rakjat Indonesia (Serindo), mereka mengadakan Kongres untuk membentuk sebuah partai baru.
Partai yang berkiprah dalam kehidupan bangsa Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan. Bergabung dengan mereka adalah partai-partai kecil dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Sulawesi.
Adapun yang hadir utamanya adalah para profesional. Mulai dari pengacara, pegawai-pegawai negeri, sampai dengan guru-guru sekolah.
Waktu itu, Januari 1946, mereka mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai berlogo banteng menyeruduk di tengah segitiga yang pernah dibubarkan oleh pemerintah kolonial ketika Indonesia masih bernama Hindia Timur, yang dijajah oleh Belanda.
Keputusan itu diambil setelah Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) memutuskan kalau Indonesia akan menganut sistem politik multipartai pada 30 Oktober 1945.
Sebelumnya, badan yang lain, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ingin menjadikan Indonesia negara satu partai. Dengan PNI—partai yang bernama sama—yang diketuai oleh Sukarno sebagai partai satu-satunya di kancah politik nasional.
Namun, rencana tersebut urung. Dan PNI hadir kembali jadi salah satu partai di antara banyak lainnya. Alih-alih menjadi satu-satunya partai yang akan dikenal oleh rakyat Indonesia.
PNI yang didirikan di Kediri itu dipimpin oleh para aktivis dari Partai Indonesia (Partindo), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Tidak lupa, beberapa di antaranya juga berasal dari PNI yang dibentuk sebelum Indonesia merdeka.
Salah satunya adalah Sartono yang hadir ketika Sukarno pertama kali mendirikan PNI di Algemeene StudieclubBandung pada 1927.
Bersama dengan tokoh-tokoh baru, Sartono akan menjadikan PNI baru sebagai salah satu kekuatan yang berpengaruh dalam perpolitikan republik di awal-awal kemerdekaan. Dua di antaranya adalah Sarmidi Mangunsarkoro dan Sidik Djojosukarto yang berasal dari Partindo dan Gerindo.
Setelah dibentuk, PNI ternyata popular di kalangan masyarakat. Namanya yang sama dengan partai bentukan Sukarno sebelum kemerdekaan menyebabkan orang berbondong-bondong untuk masuk.
Kepopularan itu dicatat oleh sarjana asal Amerika Serikat (AS), George McTurnan Kahin (3003), dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, Kahin juga melaporkan tidak sedikit dari para pengikut PNI yang merasa kalau partainya adalah ‘partainya Sukarno dan Hatta’.
Kendati popularitasnya yang luas di kalangan rakyat, PNI mendatangkan dukungan dari kebanyakan penduduk Indonesia yang profesional. Mereka juga menarik dukungan pegawai-pegawai negeri yang pernah bekerja pada era kolonial sebelumnya.
Selain para profesional dan pegawai negeri, PNI juga mendapatkan dukungan dari pejabat-pejabat tinggi di jajaran eksekutif; para camat dan bupati.
Hal itu akan menguntungkan PNI pada tahun-tahun mendatang. Kader dan pendukung mereka yang berasal dari kalangan profesional dan birokrat era Hindia Belanda membuka akses ke segmen masyarakat Indonesia yang luas. Seperti yang akan ditunjukkan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 1955.
Boyd R Compton (2021) dalam surat-suratnya di Kemelut Demokrasi Liberal melaporkan kalau PNI sengaja mengincar tokoh-tokoh setempat yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat mereka tinggal. Biasanya, mereka kebetulan adalah seorang bangsawan juga di tempat itu.
Memang, PNI juga dituding melakukan taktik-taktik intimidasi untuk mendapatkan dukungan dari tokoh-tokoh lokal itu.
Tapi yang jelas, mereka dapat meraup banyak dukungan dengan adanya tokoh-tokoh itu di sisi mereka dalam Pemilu 1955.
Kahin yang mempelajari dinamika perpolitikan pada masa-masa awal republik mengatakan, kelas-kelas petani di Jawa—lumbung suara dari dahulu kala—masih memandang para pejabat yang sudah bertugas sejak lama.
“Meskipun revolusi (Indonesia) memberikan dampak terhadap kebiasaan-kebiasaan otoriter masyarakat Indonesia yang sudah tertanam lama, masih ada kecenderungan kelas petaninya untuk mencari bimbingan dan arahan politik dari para gubernur tradisionalnya,” tulis Kahin.
PNI memanfaatkan sentimen ini dengan merekrut atau mengintimidasi para pejabat tinggi agar menjadi kader mereka untuk diterjunkan dalam Pemilu 1955.
“Nilai orang-orang yang direkrut ke dalam PNI ini, karena jabatan resmi mereka. Pak Bupati atau Pak Camat dihormati, disegani, dan dihargai… karena ia merupakan suara kekuasaan pemerintah,” tulis Boyd dalam suratnya.
Bahkan di luar lingkup penugasan mereka sebagai kader partai, PNI yakin kalau pejabat-pejabat lokal memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.
Pengaruh itulah yang menjadi salah satu faktor di balik kemenangan PNI dalam Pemilu 1955, dengan perolehan suara tipis di atas Partai Masyumi. Dan setelah bersaing ketat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Masyarakat sangat menghormati kewibawaan pejabat yang ada di daerah mereka. Terlebih, jika pejabat-pejabat itu merupakan bagian dari kelas bangsawan. Oleh karena itu, rakyat akan mendengarkan pejabat-pejabat yang mereka temui.
Di sini, terbentuk preseden partai politik yang memanfaatkan ketenaran tokoh yang dipercayai masyarakat untuk menggalang dukungan. Dan menggandeng tokoh-tokoh lokal yang dipercaya, dapat menarik suara pemilih di daerahnya masing-masing.*