JAKARTA – Pembicaraan mengenai pasar karbon menjadi salah satu topik hangat dalam perhelatan Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP-UNFCCC) ke-30 di Belem, Brazil, yang sudah dimulai sejak 10 November lalu. Indonesia yang membuka paviliun khusus sebagai ruang dialog dengan para peserta dan pemangku kepentingan iklim global menegaskan komitmennya untuk berpartisipasi secara proaktif dalam perdagangan karbon sebagai upaya responsif dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pemerintah Indonesia berpandangan bahwa ada potensi ekonomi yang besar dari perdagangan karbon, baik dari sisi pendapatan negara maupun penciptaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Menguatnya mekanisme perdagangan karbon sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim tidak melalui proses yang instan. Kesadaran para pemangku kepentingan global bahwa pengelolaan pencemaran melalui skema peraturan (command and control) sudah tertinggal dan cenderung tidak efektif. Oleh karenanya, mekanisme pasar mengemuka sebagai mekanisme pengendalian yang inovatif. Mekanisme pasar sendiri diperkenalkan oleh Ronald H. Coase yang mengatakan bahwa dalam kondisi pareto-optimum, antara pencemar dan yang dicemari akan tercapai melalui satu dari dua cara; pencemar membayar si tercemar agar boleh mencemari, atau tercemar membayar si pencemar agar tidak mencemari.
Dari situlah konsepsi green economics berkembang dalam bentuk pajak sumber daya alam dan pajak polusi. Teorema Coase ini pertama kali diaplikasikan di Amerika Serikat (AS) melalui pembentukan Clean Air Act pada 1990 sebagai bentuk penyempurnaan UU Kebersihan Udara 1970. Dalam regulasi tersebut, pencemar udara sulfur besar, terutama pembangkit listrik, diberikan izin untuk membuang emisi sulfur sampai batas tertentu.
Bagi mereka yang mampu mengurangi emisi hingga di bawah izin yang diberikan bisa menjual alokasi izin mencemari yang tidak terpakai. Sebaliknya, bagi yang melakukan pencemaran di atas izin yang diberikan, harus membeli alokasi izin tersebut. Dari praktik inilah konsepsi perdagangan karbon mengemuka. Para negosiator dari AS menganggap mekanisme pasar sebagai upaya paling efektif dalam negosiasi iklim, di samping juga menunjang dari sisi biaya kepatuhan.
Kalkulasi keuntungan
Indonesia sudah sejak lama menyadari potensi besar dari mekanisme pasar karbon. Keterlibatan Indonesia dalam upaya Reducing of Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) sejak 2005 menghasilkan perhitungan bahwa Indonesia adalah penyumbang terbesar emisi tata guna lahan dunia, sekitar 4,5-5,5 miliar ton per tahun. Sumbangan emisi tersebut berasal dari perubahan tata guna lahan dan fungsi ruang, kebakaran hutan, serta perusakan lahan gambut.
Berpijak pada data tersebut, jika setengah dari emisi tersebut bisa dihindari, maka akan ada 2-2,5 miliar ton penurunan emisi setiap tahunnya. Jikalau penurunan emisi tersebut dihargai sebesar US$1-2, maka potensi ekonomi yang dapat diraih sebesar US$2-5 miliar pendapatan negara tambahan untuk Indonesia.
Dari sisi sumber daya alam, Indonesia memiliki modal ekonomi dan sosial yang besar untuk berpartisipasi secara proaktif dalam pasar karbon. Salah satunya adalah kepemilikan dan penguasaan hutan bakau. Hutan mangrove memiliki keunggulan dalam menyerap karbon sebagai satu dari tiga ekosistem karbon biru. Sebaran hutan mangrove Indonesia adalah yang terluas di dunia, sekitar 3,3 juta hektar dan dapat menjadi instrumen penting dalam perdagangan karbon. Secara teknis, mangrove mampu menyerap karbondioksida, kemudian menyimpannya dalam bentuk biomassa atau stok karbon.
Selain itu, mangrove diyakini memiliki kapasitas penyerapan karbon lebih besar tiga hingga lima kali lipat hutan tropis Indonesia. Dengan keunggulan komparatif sedemikian, jika dibuat kalkulasi secara finansial, 100 hektar hutan mangrove dengan kemampuan sekuestrasi sebesar 5 ton per hektar per tahun diproyeksi bisa memperdagangkan 1.835 ton karbondioksida per tahun.
Kebijakan pemerintah
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menyadari urgensi dan nilai ekonomis besar dari pasar karbon. Maka dari itu, dikeluarkanlah Peraturan Presiden (Perpres) No. 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Dalam perpres ini, terdapat berbagai mekanisme yang mendukung skema perdagangan karbon seperti Result-Based Payment (RBP), Sistem Perdagangan Emisi (SPE), serta Mutual Recognition Arrangement (MRA).
Melalui skema ini, Indonesia sangat siap untuk membangun konektivitas dengan pasar regional dan global dan mekanisme Artikel 6 Paris Agreement. Selain secara regulatif, pemerintah sejak 2023 telah menyelenggarakan jual beli unit karbon yang dilakukan oleh Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) sebagai bagian dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan pengawasan yang ketat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada dua produk yang dipasarkan, yakni pasar alokasi (allowance market) dan pasar kredit (offset market).
Selain manfaat dari sisi ekonomi, keberadaan pasar karbon akan menjadi perangkat kebijakan pemerintah dalam merangkul masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat untuk berpartisipasi aktif dalam pemeliharaan lingkungan, terutama hutan-hutan tempat masyarakat adat tersebut bermukim. Dengan penguasaan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo, dan tersebar hampir merata dari Sumatera hingga Papua, Indonesia memiliki modal dan bargaining positionyang besar untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari perdagangan karbon.
Potensi ekonomi tersebut tidak terlepas dari kontribusi masyarakat lokal dan adat dalam menjaga hutan-hutan mereka dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Oleh sebab itu, sudah semestinya potensi pendapatan negara pemerintah dari pasar karbon dikembalikan lagi ke daerah dan masyarakat untuk pemberdayaan dan pembangunan di daerah. Daerah dan masyarakat akan mendapat keuntungan ganda, yakni lingkungan yang menjadi habitat hidup mereka terpelihara dan ada suntikan finansial bagi kesejahteraan mereka.
Kewaspadaan nasional
Pasar karbon dengan segala mekanisme derivatifnya memang menjanjikan potensi ekonomi yang besar dalam bentuk pendapatan negara. Namun demikian, Indonesia sebagai bangsa dan negara yang masih dikategorikan sebagai negara berkembang (developing countries) tetap perlu memiliki kewaspadaan nasional yang tinggi terhadap semua kebijakan yang ditempuh.
Sudah menjadi habituasi negara-negara maju (North Countries) untuk melakukan kebijakan unilateris-realis yang condong pada kepentingan nasional mereka sendiri. Konseptualisasi dan implementasi pasar karbon tidak sepenuhnya bermuatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Seperti halnya konsepsi ekonomi dan industri hijau dalam skala yang lebih besar, pasar karbon adalah instrumen untuk melanggengkan keberlangsungan korporasi-korporasi besar di Amerika dan Eropa. Jika tidak dilandasi oleh kesadaran dan tobat ekologis yang kuat, pasar karbon berpotensi dijadikan sekadar “bantalan-bantalan” untuk meredam pencemaran lingkungan yang mereka lakukan.
Apa yang terjadi dalam sekup global tersebut, juga berpotensi terjadi di level domestik Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk berkontribusi dalam penanganan dampak perubahan iklim perlu didasari oleh komitmen yang kuat yang berpijak pada filosofi dasar bahwa manusia harus senantiasa selaras dan menjaga keseimbangan alam. Pendekatan ekosentrisme harus dijadikan sebagai pedoman dalam setiap formulasi kebijakan pemerintah, bukan sebaliknya, mengarusutamakan antroposentrisme dengan mengakomodasi kepentingan para pemodal yang cenderung profit-oriented dan melakukan perusakan terhadap alam.
Komitmen pemerintah juga sudah seharusnya dimanifestasikan dalam bentuk penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan alam, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Akhirul kalam, partisipasi Indonesia dalam perdagangan karbon adalah sebuah kebutuhan. Namun, partisipasi yang berpijak pada komitmen tulus menjaga alam, tidak sekadar potensi ekonomi, adalah suatu keharusan.*
Hj. Ratna Juwita Sari, Anggota Komisi XII dan Badan Anggaran DPR RI Periode 2024-2029.
