JAKARTA – Ada yang janggal di negeri Konoha ini: orang bisa terancam dipenjara hanya karena bertanya, sementara yang ditanya justru tak pernah menunjukkan apa pun.
Inilah panggung sirkus ijazah—sebuah tontonan absurd ketika mantan pemimpin nomor 1 lebih sibuk menutup pertanyaan daripada membuka bukti. Publik tak diminta memahami, hanya diminta percaya. Tak penting apakah logis atau tidak. Yang penting: diam.
Padahal, mereka yang meragukan ijazah sudah melakukan apa yang bisa dilakukan warga negara: menelusuri arsip, memeriksa dokumen, menguji tanda tangan, menantang debat terbuka. Semuanya dilakukan secara transparan.
Dan respons yang diberikan? Tidak ada ijazah. Tidak ada dokumen. Tidak ada klarifikasi. Yang muncul hanya serangkaian laporan polisi—seolah hukum adalah palu untuk memukul rasa ingin tahu. Hukum jadi alat memenjarakan orang.
Ironi semakin pekat ketika mantan presiden itu berlagak paling benar tanpa mau menunjukkan bukti paling dasar. Di dunia hukum, bukti adalah pondasi. Tapi dalam drama ini, bukti justru menjadi hantu yang dijaga mati-matian.
Hukum pembuktian dibolak-balik: rakyat yang bertanya dianggap bersalah, sedangkan mantan penguasa yang harusnya membuktikan malah bersembunyi di balik aparat.
Sungguh aneh: Padahal Barack Obama saja bisa memperlihatkan akta lahirnya. Urusan langsung selesai. Asrul Sani bisa menunjukkan ijazahnya. Tapi seorang mantan presiden dua periode malah tidak mampu melakukan hal seremeh itu. Hal yang sangat mudah sesungguhnya agar energi bangsa ini tidak terkuras sia-sia.
Pertanyaannya: mengapa? Apa yang sebenarnya ditakuti? Apa yang membuat sebuah dokumen yang cukup hanya 5 menit ditunjukkan, berubah menjadi teka-teki bertahun-tahun yang berujung ancaman jeruji besi terhadap anak bangsa sendiri?
Jika si orang kuat tsb benar-benar berhati bijak dan cinta pada rakyatnya, maka penyelesaiannya sederhana: tampilkan ijazahnya, hadirkan ahli, verifikasi secara terbuka, maka selesai.
Tapi justru karena tidak dilakukan, publik semakin yakin bahwa ada yang tidak beres—apalagi si mantan penguasa itu memilih jalan paling mudah: mengancam kritik daripada menjawab kritik.
Selama bukti tidak ditampilkan, selama transparansi ditolak, selama hukum hanya dipakai sebagai pentungan, maka negeri ini tidak sedang menegakkan keadilan—negeri ini sedang mempertontonkan sirkus politik yang memalukan. Dan inilah kesimpulan paling menyakitkan: kebenaran yang tulus tidak pernah perlu diselamatkan oleh polisi.
Jika mantan penguasa ingin dihormati, bukan ditertawakan, maka hentikan sirkusnya. Tunjukkan buktinya. Dan biarkan hukum kembali pada martabatnya.
Didi Irawadi Syamsuddin, Advokat, Penulis, Politikus.
