12 months ago
16 mins read

Indonesia Memasuki Tahun ‘Vivere Pericoloso’

Proklamator Kemerdekaan sekaligus Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno. (Foto: Web)

JAKARTA- Hari ini, tepat 60 tahun yang lalu, Bapak Proklamator sekaligus Presiden Republik Indonesia (RI) pertama, Sukarno, berdiri di hadapan lautan massa yang berkumpul di Lapangan Merdeka, Jakarta. Mereka berkumpul di lapangan itu dalam suasana yang penuh khidmat.

Pada hari itu, 17 Agustus 1964, mereka berkumpul di tengah-tengah Ibu Kota Jakarta untuk merefleksikan kembali, mensyukuri, dan memperbarui kemerdekaan Indonesia yang usianya nyaris menyentuh 20 tahun.

Dalam kesempatan itu, Sukarno, selaku Presiden RI dan Pemimpin Besar Revolusi berdiri menghadap rakyat untuk berpidato. Bagi Sukarno sendiri, pidatonya hari itu merupakan bentuk laporan pertanggungjawaban atas jalannya revolusi Indonesia. Dan ia mengajak segenap rakyat Indonesia untuk terlibat di dalamnya.

“Lihat! Peristiwa-peristiwa di belakang kita ini, peristiwa-peristiwa di masa yang lampau, merupakan pelajaran bagi kita semua, pelajaran agar jalannya Revolusi dapat dipercepat, pelajaran agar yang pahit-getir tidak diulangi lagi,” seru pria yang kerap disapa Bung Karno itu.

Bukan hanya mengajak rakyat Indonesia yang pada saat itu berjumlah 103 juta jiwa banyaknya untuk merefleksikan nation-building yang berlangsung hingga saat itu, Sukarno juga mengajak bangsa Indonesia untuk melihat ke depan.

Ia mengajak rakyat untuk memikirkan arah pembangunan negara, beserta angkara murka berbagai masalah yang akan mereka hadapi ke depannya.

“Dan selanjutnya juga selalu saya lantas mengajak Rakyat untuk melihat ke muka: selalu saya lantas memberikan jurusan, memberikan arah, memberikan direction selanjutnya, dalam menghadapi masalah-masalah yang akan datang,” lanjutnya.

Kemudian seperti banyaknya pidato Sukarno yang lainnya, pembicaraan yang ia lakukan pada hari itu di Lapangan Merdeka juga mencakup suatu tema, yaitu perjuangan rakyat Indonesia melakukan nation-building lewat revolusi di tengah gempuran ancaman baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

Baru beberapa tahun yang lalu, negara Indonesia yang masih relatif muda usianya itu berhadapan dengan pemberontakan ‘setengah hati’, seperti yang tertera dalam judul buku Barbara S Harvey, oleh elemen Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Perjuangan Semesta (Permesta).

Pada saat itu, revolusi Indonesia juga berhadapan dengan masalah yang berdimensi geopolitik, yaitu pendirian negara baru Malaysia yang di belakangnya berdiri negara imperialis Amerika Serikat (AS) dan kemaharajaan Inggris.

Kehadiran Malaysia yang pada saat itu ditopang oleh dua kekuatan imperialis itu mencederai revolusi Indonesia dalam kaitannya dengan pembebasan rakyat di Kalimantan Utara (Kaltara) dari penindasan oleh kekuatan-kekuatan imperialis.

Bukan maksud penulis untuk memunculkan kembali rasa permusuhan lama bangsa Indonesia terhadap Malaysia yang kini sudah lama menjadi sahabat. Melainkan untuk memberikan contoh yang bisa menggambarkan peliknya kondisi yang dihadapi bangsa Indonesia saat itu di tengah-tengah upaya nation-building-nya.

“Keadaan yang demikian itu kita alami, ujian demikian itu kita lalui! Gempuran imperialis bertubi-tubi, anjing-anjing dan serigala-serigala sekeliling kita menggonggong dan mengauk-auk!” seru Sukarno membahas kesulitan yang tengah dihadapi Indonesia kala itu, pada awal paruh kedua abad ke-20.

Demikian, tidak mengherankan apabila pidato Sukarno pada saat itu dinamai “Tahun ‘Vivere Pericoloso’, atau tahun hidup penuh bahaya.

Ancaman goncangan ekonomi

Seakan-akan sejarah terulang kembali, bangsa Indonesia kini merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) ke-79 di tengah-tengah bahaya yang mengintai dari segala arah. Dari dalam dan luar negeri.

Mengulangi perkataan Sukarno yang diucapkan tepat 60 tahun yang lalu di Lapangan Merdeka, gongongan binatang buas yang menandakan datangnya marabahaya terdengar dari segala arah.

Dulu dan kini, ekonomi menjadi basis objektifnya berbagai macam fenomena sosial dan politik di seluruh dunia. Dalam pidato ‘Tahun Vivere Pericoloso’ itu, Sukarno menyorot upaya-upaya berbagai pihak mengecilkan dan merendahkan revolusi Indonesia. Dan ada pula cipta kondisi yang diupayakan untuk menggagalkan agenda nation-building itu karena adanya masalah ekonomi.

Kini, dunia, tidak hanya Indonesia yang merupakan bagian daripadanya, tengah menghadapi kemungkinan terjadinya masalah ekonomi yang besar dalam waktu beberapa tahun lagi.

Dilansir dari Financial Times, Direktur International Monetary Funds (IMF), Kristalina Georgieva, memberi peringatan dunia sedang dalam ancaman masuk ke era ‘tepid twenties’. Artinya, dunia kemungkinan masuk ke masa-masa di mana pertumbuhan ekonomi tidak kuat.

Kalau awal paruh pertama abad ke-20 lalu dikenang sebagai ‘roaring twenties’ karena pertumbuhan ekonominya yang begitu pesat hingga datangnya Depresi Besar yang menghancurkan penghidupan pelbagai bangsa dan negara, maka 20 tahun awal paruh pertama abad ke-21 ini bisa jadi nantinya dikenang sebagai masa-masa pertumbuhan ekonomi yang lemah.

Di balik rendahnya pertumbuhan ekonomi dunia itu adalah suku bunga bank sentral AS, The Feds yang masih tinggi. Hal itu pada gilirannya juga menaikkan biaya pinjaman dunia.

Apabila suku bunga The Feds tetap tinggi dan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengubah itu dalam waktu dekat, maka pasar-pasar yang sedang tumbuh di berbagai negara akan dibebankan pinjaman dolar AS yang berbiaya tinggi.

Seperti dalam kaitannya suku bunga The Feds yang tinggi, dunia diperlihatkan kalau seperti pepatah lama bahwa “no man is an island of its own”. Tidak ada satu orang pun, satu bangsa pun, satu negara pun, adalah pulau yang tindakannya hanya berlaku kepada dirinya sendiri.

Dalam puisi seorang sastrawan Inggris, John Donne, seorang merupakan “a piece of the continent”. Artinya, seorang atau suatu entitas merupakan bagian dari gabungan tubuh atau perkumpulan yang lebih besar lagi. Tindakan setiap orang atau entitas itu akan membawa pengaruh kepada perkumpulan yang lebih besar.

Perihal suku bunga The Feds yang tinggi, hal itu menyulitkan bank sentral-bank sentral lainnya, seperti European Central Bank (ECB) untuk mengurangi suku bunganya masing-masing.

Ilustrasi. (Foto: Web)

1 Comment

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Prospek Hubungan Diplomatik Indonesia dan Turki

JAKARTA – Pada tanggal 11-12 Februari 2025, Presiden Turki Reccep

Revitalisasi Layanan Publik Parpol

JAKARTA – Hasil survei nasional Indikator bertajuk ‘Evaluasi Publik Terhadap
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88