JAKARTA – Jenderal Tahi Bonar (TB) Simatupang merupakan salah satu petinggi angkatan bersenjata Republik Indonesia (RI) era kemerdekaan yang punya perhatian bagi upaya kemerdekaan Indonesia di luar aspek perjuangan fisiknya.
Dalam tulisan berjudul “Staf Angkatan Bersenjata Memperluas Arti Kepahlawanan” yang dimuat di buku Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965 Herbert Feith bersama Lance Castle, Simatupang, yang diduga jadi penulisnya, menyayangkan pemahaman akan perjuangan yang sekadar melibatkan upaya fisik meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Menurutnya, penghormatan kepada para pahlawan yang gugur dalam medan pertempuran meraih dan mempertahankan kemerdekaan memang penting.
“Kita harus tetap memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka yang telah mengurbankan jiwanya guna kemerdekaan dan keselamatan negara,” katanya.
‘Indonesia perlu pahlawan pembangunan’
Akan tetapi, Simatupang menyadari bahwa kendati kemerdekaan bangsa Indonesia diraih dan dipertahankan oleh para pahlawan yang berlaga di medan tempur, nation-building yang datang setelahnya dilakukan oleh pahlawan-pahlawan lainnya di berbagai bidang yang ada.
“Kemerdekaan bangsa direbut dan dipertahankan oleh pahlawan-pahlawan pertempuran, akan tetapi kebesaran bangsa hanya dapat tercapai apabila bangs aitu menghasilkan pahlawan-pahlawan ilmu pengetahuan, pahlawan-pahlawan industri, pahlawan-pahlawan perkapalan, pahlawan-pahlawan pendidikan, pahlawan-pahlawan pembangunan,” terangnya.
Dan Simatupang mengkritik kalangan pemuda Indonesia kala itu yang menurutnya berhasil dalam melawan kekuatan-kekuatan imperialis di medan tempur tapi belum berhasil membangun Indonesia setelah kemerdekaan berhasil diraih.
“Angkatan yang telah menjadi pendorong dan pelopor dalam perjuangan kemerdekaan, belum lagi berhasil untuk menjadi pendorong dan pelopor dalam usaha-usaha pembangunan setelah kemerdekaan memperoleh pengakuan dunia,” ujarnya.
Demikian karena Simatupang menilai generasi yang berhasil membawa Indonesia ke arah kemerdekaan sudah kehabisan tenaganya.
“Pertama-tama, pemuda-pemuda telah mencurahkan segala tenaga dan kegiatannya guna perjuangan selama tahun-tahun yang di belakang kita, sehingga dibandingkan dengan golongan-golongan lain tenaga mereka lebih dihabiskan selama perjuangan itu,” terangnya.
Menurut Simatupang, masyarakat Indonesia kala itu, meskipun usianya yang muda, sebenarnya telah menjadi masyarakat yang ‘lebih tua’.
“Oleh karena hal-hal yang di atas maka dapat kita katakan bahwa negara dan masyarakat kita ‘lebih tua’ daripada negara dan masyarakat pada permulaan revolusi: tempo bekerja, kesegaran pikiran, ukuran yang dipakai tentu berubah pula sebagai akibat dari hal-hal itu,” ucapnya.* (Bayu Muhammad)