Ia sebenarnya mentransformasi dirinya seperti pula minyak balurnya. Menjadi manusia kuat yang tak terkalahkan.
Oleh: Hertasning Ichlas*
UTRECHT – Saya menyusuri jalan kampung yang dibelah oleh sungai kecil di sebuah kawasan pedesaan Belanda bernama Baambrugge di daerah Utrecht. Di tempat ini dimana para baron Belanda biasanya memiliki kastil hingga menutup usia, saya bertemu Bambang Pranoto untuk kedua kali.
Gerbang rumah kastil sudah terbuka ketika saya tiba. Sekejap bangunan sejak abad 16-an berjendela lebar, bertembok warna batu bata dan dikelilingi vegetasi rimbun memperkenalkan dirinya ke hadapan tamunya. Saya merasakan getaran kejayaan bergantian dengan desir angin dingin kesepian dari bangunan tersebut.
Lokasi pada mesin pencari navigasi menyebut nama tempat itu Kutus-Kutus Property International B.V. Sementara pada dinding kastil tersemat dua logo berwarna hijau dan biru bersisian yaitu Kutus-Kutus beraksara Bali dan Sanga-Sanga.
Bambang Pranoto pencipta dan pemilik minyak balur Kutus-Kutus dan Sanga-Sanga membeli kastil itu sejak 2020. Berawal ketika Ia sedang membawa 200 pegawai Kutus-Kutusnya pelesir ke Eropa termasuk mengunjungi pusat Kota Amsterdam.
Saat ia terpisah dari rombongan, angin dan rintik hujan Kota Amsterdam yang labil menyeret langkah kakinya untuk meneduh di sebuah kantor makelar perumahan di bilangan pusat Kota Amsterdam. Saat itu pula Ia mendapat ilham untuk membeli kastil di Belanda.
Seusai ngobrol ngalor-ngidul lelaki berusia hampir tujuh puluh tahun itu membawa saya menyusuri kastilnya seluas tujuh hektare lebih dengan senang dan ramah. Bergantian dari tangan atau mulutnya terselip rokok Dji Sam Soe.
Ia menghisap dalam-dalam rokok kreteknya. Asap mengepul melewati raut wajahnya yang berkaca mata, berambut gondrong, berjanggut, hingga kemudian asap itu menghilang ditelan udara di akhir musim semi.
Sambil berjalan ia menjelaskan riwayat pemilik awal kastil yang dibelinya, sementara mata saya menikmati pepohonan rimbun, telaga berisi angsa dan burung-burung, dua bangunan utama kastil, tegalan, hamparan tanah lapang berumput hijau dan arus air di kali kecil yang indah yang membelah kastil.
“Kalau mau pakai untuk kumpul-kumpul diskusi atau kegiatan seni silakan saja,” ucapnya sambil tangannya menunjuk dan menjelajahi wilayah-wilayah parkir yang memungkinkan untuk digunakan.
Kami lalu berjalan balik menuju kastil nomor 9 tempat ia dan keluarganya tinggal yang persis berada di belakang kastil nomor 8 yang difungsikan sebagai kantor dan ruang pertemuan.
Dahulu kala kastil nomor 9 itu kandang kuda. Kini dirinya, istrinya dan satu anak lelakinya biasanya menghabiskan visa tinggal tiga bulan di Belanda di kastil belakang itu.
“Saya lebih suka di sini. Ruangan dan kamar mandinya tidak sebesar di depan,” katanya.
Di dalam rumah tinggalnya itu saya diajak masuk ke ruangan favoritnya. Sebuah ruangan besar menghadap ke teras kebun depan rumahnya dan tembus pandang ke hamparan tanah belakangnya yang luasnya berkali lipat lapangan sepak bola Senayan.
Sofa besar dikelilingi beberapa jenis organ keyboard, drum elektrik dan sejumlah alat musik lain mendiami ruangan itu. Ruangan itu adalah studio musiknya. Tempat ia menjalani dirinya yang lain: seorang seniman yang gemar memproduksi dan menjadi komposer musik sejak puluhan tahun silam.
“Di manapun saya tinggal saya selalu punya studio,” ucapnya seraya membuka layar komputer di hadapannya disertai alat mixing dan jenis-jenis audio pengeras suara.
Tangannya tangkas dan terampil menjelaskan aplikasi pendukung yang digunakannya serta saat Ia sibuk membuka berkas-berkas musik dari komputernya.
Ia mengajak saya menjelajahi musik-musik yang dibuatnya bersama para seniman lain sejak awal 90-an dari laci komputernya. Ada langgam musik instrumental Jawa, Sunda, dan Minang bercampur dengan nuansa rock, jazz, fushion dan entah apalagi, setidaknya itulah yang sempat saya dengar.
“Setiap hari saya berusaha membuat satu karya,” ucapnya.
Ia meluruskan punggungnya di kursi, sedikit menggerai rambutnya yang panjang dan beruban lalu membakar rokok kreteknya yang ke sekian kali sambil tetap duduk menghadap ke layar monitor memperdengarkan karya-karya musiknya.
Saya melihat Ia telah larut dan ingin berlama-lama di situ. Ada dorongan hati yang kuat terhadap musik. Asap rokok kami menari-nari seperti mengatakan tak usah kita pikirkan waktu.
Lalu kemudian saya usil bertanya, “Kalo sudah begini apakah masih bisa kesepian?”
“Oh, saya masih kesepian. Kesepian itu penting bagi saya.”
Saya amati dirinya saat mengatakan hal itu. Seorang lelaki dengan perawakan santai sedikit bohemian seperti menolak untuk serius dan teratur. Namun semakin mendalami persona dirinya saya tahu di balik penampilan itu ada disiplin diri, keseriusan terhadap waktu untuk terus berkarya dan mengisi hidup sepenuh-penuhnya.