JAKARTA – Hingar bingar Starlink menuai pro dan kontra di kalangan netizen dan praktisi IT Indonesia. Ada yang menghubungkan dengan kebocoran data dan khawatir data orang Indonesia bocor hanya karena menggunakan Starlink.
Namun, mereka tidak khawatir dengan kabel fiber (FO) yang notabene juga melewati negara asing seperti Singapura dan menuju pusat internet dunia Amerika Serikat.
Ada yang bilang takut dimata-matai karena menggunakan Starlink, tetapi apakah Anda sadar kalau Anda menggunakan Whatsapp, Google Maps dan ponsel Android atau iPhone saja Anda sudah dengan sukarela dimata-matai? Kalau tidak dimata-matai oleh penguasa software Amerika Serikat, ya sama penguasa hardware China.
Lalu ada lagi yang bilang Starlink akan dimanfaatkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ibaratnya ada sepeda motor dipakai begal untuk merampok, lalu karena itu tidak boleh ada yang pakai sepeda motor dan semua harus pakai sepeda onthel.
Ada pula yang bilang Indonesia berpotensi rugi dan hal ini akan mengancam industri telekomunikasi dalam negeri. Dan ingin pemerintah memproteksi industri dalam negeri yang disinyalir ingin mengandalkan perlindungan dari pemerintah untuk kelangsungan hidup perusahaan tanpa mempedulikan perkembangan teknologi dunia yang sedemikan pesat.
Padahal esensi dari perkembangan teknologi adalah perubahan di mana teknologi selalu akan berkembang lebih efisien, cepat, andal dan lebih murah. Dalam dunia teknologi Telco dan IT kanibal teknologi lama oleh teknologi baru memang terjadi.
Setiap kali muncul teknologi lama menggantikan teknologi baru, maka teknologi lama akan dikanibal oleh teknologi baru yang muncul. Ini memang merupakan sifat dari dunia teknologi yang selalu disempurnakan.
Kalau ngotot berkutat pada teknologi lama dan tidak siap menghadapi perubahan, siap-siap saja mengalami kerugian besar akibat salah mengambil keputusan atau investasi di bidang IT. Kalau tidak siap menghadapi kenyataan ini, mungkin ada baiknya perusahaan yang berteriak jangan bergerak di bidang IT dan Telco tetapi berdagang sembako saja.
Kedaulatan data
Dalam menyalurkan internet, satelit LEO sebenarnya bekerja mirip seperti router wifi di rumah Anda atau tower telekomunikasi. Di mana router wifi membagikan koneksi internet yang didapatkan dari penyedia layanan internet ISP kepada seluruh perangkat komputer/ponsel dalam radius jangkauannya.
Demikian pula tower telko mendapatkan hubungan internet dari penyedia layanan internet dan membagikan kepada seluruh perangkat dalam radius jangkauan tower tersebut. Bedanya tower dengan perangkat wifi hanyalah jangkauan dan kapasitas tower yang jauh lebih besar dibandingkan perangkat wifi di rumah Anda.
Satelit LEO juga sama seperti tower telko di mana ia menyediakan layanan internet pada semua perangkat dalam radius jangkauannya dan untuk itu satelit LEO juga harus terhubung secara nirkabel ke internet melalui penyedia layanan internet sama seperti tower telko dan diasanya disebut sebagai stasiun Bumi.
Namun karena namanya juga satelit, ya jaraknya sekitar 2.000 km dari permukaan Bumi, harusnya sihsangat sulit terlihat, setajam apapun mata Anda. Dan jelas memiliki jangkauan yang superior dibandingkan tower telekomunikasi.
Bahkan dalam perkembangan teknologi ke depannya, satelit LEO ini berpotensi menggantikan tower telko dan dapat terhubung langsung ke ponsel tanpa membutuhkan alat tambahan apapun dibandingkan hari ini yang masih membutuhkan antena khusus. Harusnya pengusaha telko bisa mengetahui akan hal ini dan sudah mengantisipasinya.
Dengan posisinya yang sangat tinggi dari muka Bumi, maka satelit LEO memiliki keleuasaan terhubung dengan antena dan stasiun Bumi lintas negara dan dan tidak bisa dibatasi secara geografis layaknya tower telko.
Hal ini memunculkan kekhawatiran data komunikasi internet satu negara dipancarkan ke stasiun Bumi di negara lain dan dianggap berpotensi mengancam kedaulatan data negara dan melanggar peraturan atau undang-undang. Karena itulah, maka secara teknis Starlink diwajibkan untuk memiliki NOC di Indonesia dan data komunikasi internet Indonesia hanya boleh disalurkan ke NOC tersebut.
Sebenarnya agak lucu juga melihat kekhawatiran berlebih atas bocornya data koneksi internet ini, karena sebenarnya data internet ini terenkripsi dan secara teknis sangat sulit untuk membaca data yang terenksipsi ini.
Memang ada data lain seperti meta data dan data tambahan lain seperti situs apa yang sering dikunjungi, kapan dikunjungi. Atau admin Whatsapp sekalipun tidak mengetahui data komunikasi Whatsapp penggunanya karena terenkripsi tetapi mereka bisa mengetahui metadata dan data tambahan seperti kebiasaan pengguna Whatsapp seperti kapan ia aktif, dengan siapa saja ia sering berkomunikasi, tergabung dengan group apa saja.
Atau Google dan Apple yang tentunya tahu dengan persis pergerakan Anda karena Anda menggunakan layanan GPS pada ponsel mereka. Namun menjadi pertanyaan menarik apakah data ini sudah dimanfaatkan dan diolah dengan baik oleh pihak terkait (pemerintah).
Penulis yakin data ini jika diolah dengan baik akan bisa sangat bermanfaat dalam megetahui profil, geografis, kebiasaan pengguna internet, kecenderungan dan hal lainnya yang bisa digunakan untuk membuat kebijakan yang lebih baik dan efisien.