2 weeks ago
4 mins read

Memoderasi Dua Sisi Hilirisasi

Boy Anugerah. (Foto: Istimewa)

JAKARTA – Hilirisasi menjadi frasa yang begitu populer di era pemerintahan Presiden Jokowi ketika ekspor nikel mentah (ore) ke luar negeri berhasil dihentikan sejak Januari 2020. Hal tersebut secara bertahap juga diterapkan untuk komoditas bahan tambang mentah lainnya seperti bauksit, timah, hingga alumina. Kebijakan ini terus berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto saat ini, bahkan mengalami kecenderungan ekspansif ke sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, hingga perikanan.

Selain sebagai pengejawantahan mandat konstitusi mengenai tata kelola sumber daya alam, hilirisasi sebagai sebuah kebijakan juga memberikan manfaat yang bersifat luas bagi perekonomian bangsa dan negara. Dalam implementasinya, kebijakan hilirisasi tak selalu berjalan mulus. Ada ekses negatif yang muncul dan membutuhkan penanganan agar tidak menjadi persoalan yang harus ditanggung masyarakat dan negara ke depan. Kemampuan pemerintah untuk memoderasi dua sisi dampak hilirisasi menarik untuk dicermati.

Implementasi
Praksis empirik dari kebijakan hilirisasi yang paling masif adalah di sektor tambang. Pada 2023, merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), sektor tambang berkontribusi terhadap pendapatan negara sebesar Rp 300,3 triliun. Akan tetapi, angka tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan kalkulasi potensi pendapatan apabila bahan tambang mentah tersebut diolah dan dimurnikan terlebih dahulu sebelum diekspor. Nilai feronikel dan MHP sebagai produk olahan nikel tentu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hanya sekedar ekspor dalam bentuk bijih nikel.

Dalam konteks pasar global, Indonesia memiliki peluang menangguk keuntungan yang besar di tengah kebutuhan dunia yang semakin masif akan bahan baku untuk kendaraan listrik. Merespons situasi ini, pemerintah membangun infrastruktur smelter untuk pengolahan dan pemurnian agar produk bahan tambang mentah memiliki nilai tambah dan siap pakai oleh dunia industri. Pembangunan smelter ini juga didukung oleh kebijakan pendukung dan penopang seperti pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan (ease of doing business), serta skema pembiayaan.

Ada banyak dampak positif yang diterima oleh negara melalui kebijakan hilirisasi ini. Pertama, pendapatan negara meningkat karena nilai mutu produk olahan yang diekspor. Indonesia juga perlahan tapi pasti terlepas dari model ekspor sumber daya alam yang terkesan menjual tanah air kepada asing. Kedua, terciptanya lapangan pekerjaan di sektor manufaktur yang membutuhkan kemampuan teknis, yang mana tidak hanya tenaga kerja lokal yang diserap tapi juga menarik minat tenaga kerja asing untuk masuk.

Ketiga, kebutuhan akan teknologi tinggi dalam pengolahan bahan tambang, serta infrastruktur pengolahan seperti smelter menjadi pintu masuk datangnya investasi ke dalam negeri, terutama yang sifatnya padat karya (labor intensive). Investasi menjadi kunci untuk pembiayaan proyek-proyek hilirisasi berbiaya tinggi (high cost), sekaligus menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Dampak negatif
Seperti jamaknya kebijakan pengelolaan sumber daya alam, selalu ada dua sisi mata uang yang diterima sebagai konsekuensi. Hilirisasi tak selamanya berdampak positif. Merujuk data riset dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan the Center of Economics and Law Studies (CELIOS) berjudul “Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel” yang dipublikasikan pada 2024 dengan studi kasus di tiga provinsi, yakni Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, menunjukkan bahwa kerugian ekonomi yang ditimbulkan hilirisasi nikel di tiga wilayah tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan ekonominya.

Riset kedua lembaga menyebutkan skenario beroperasinya industri nikel menyebabkan petani dan nelayan kehilangan pendapatan karena terdampak aktivitas pengolahan nikel yang menimbulkan pencemaran udara.

Wilayah-wilayah yang menjadi sentra pengolahan nikel bertransformasi menjadi titik utama sumber emisi karena industri nikel yang pengolahannya berbasis batubara. Bagi masyarakat yang bermukim dan hidup di wilayah sumber emisi akan menanggung dampak kerugian ekonomi dan kesehatan yang paling parah akibat terpapar udara beracun dalam jangka panjang.

Riset kuantitatif kedua lembaga juga menyebutkan bahwa pertumbuhan industri nikel yang pesat, jika tidak diatur dengan tata kelola yang benar dapat menyebabkan lebih dari 3.800 kematian pada 2025, serta diproyeksikan menembus angka 5.000 kasus pada 2030. Secara umum, dengan mekanisme cost-benefit analysis, jika tidak dilakukan penambalan-penambalan pada celah-celah kebijakan, hilirisasi berpotensi menjadi bencana bagi masyarakat.

Moderasi kebijakan
Jika merujuk pada amanat konstitusi Pasal 33 UUD NRI 1945, sudah sangat jelas bahwa kebijakan hilirisasi senafas dengan prinsip ekonomi kerakyatan dan konsepsi perekonomian yang ditujukan untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hilirisasi yang mengkreasi nilai tambah bagi komoditas tambang akan meningkatkan laju pendapatan negara dan memacu pertumbuhan ekonomi.

Jika merujuk pada formulasi kebijakan publik, kebijakan hilirisasi merupakan resultante pendalaman dan riset yang matang dari pemerintah untuk merespons dinamika perekonomian global, yang mana Indonesia harus mempunyai strategi dan taktik perekonomian yang jelas agar ekstraksi sumber daya alam memberikan dampak yang optimal bagi perekonomian, menjadikan Indonesia subjek dan pemain dalam percaturan geoekonomi global.

Namun demikian, pemerintah tidak bisa menafikan dampak negatif dari hilirisasi. Hilirisasi seperti menjadi buah simalakama apabila dijalankan dengan tidak mengindahkan dampak negatif yang diberikan kepada masyarakat dan lingkungan. Hilirisasi berpotensi menciptakan “kebangkrutan ekonomi” yang sifatnya tanpa disadari karena manfaat yang diterima dari sisi finansial tidak sepadan dengan biaya kesehatan dan pemeliharaan lingkungan yang harus dikeluarkan untuk jangka panjang. Maka dari itu, penyelenggaraan hilirisasi, yang ke depan potensial ekspansif ke segala lini ekstraksi sumber daya nasional, perlu pembenahan dari sisi tata kelola. Moderasi kebijakan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk memastikan manfaat ekonomi diterima dengan risiko kemudaratan sekecil-kecilnya.

Pertama, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait seperti KESDM dan KLH perlu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap para pelaku hilirisasi tambang yang telah beroperasi. Pemerintah dapat melakukan semacam audit operasional dan audit lingkungan terhadap proses yang mereka jalankan.

Pemerintah dapat mencabut izin operasi pelaku hilirisasi apabila dalam evaluasi ditemukan banyak pelanggaran yang dilakukan. Pemerintah juga dapat menggunakan hukum positif yang berlaku jika dalam evaluasi ditemukan unsur-unsur tindak pidana lingkungan yang terjadi.

Kedua, dalam memberikan izin hilirisasi kepada para pelaku usaha pertambangan, pemerintah harus memperbaiki prosedur yang harus dipatuhi. Prosedur yang harus dipatuhi perlu mencakup keseluruhan aspek seperti studi kelayakan yang sudah dilakukan untuk proses yang akan dijalankan ke depan, analisis mengenai dampak terhadap lingkungan, prosedur pengelolaan limbah yang sifatnya ramah lingkungan, serta tata kelola tenaga kerja yang dapat menyerap sumber daya manusia lokal. Dengan komponen persyaratan yang ketat tersebut, perizinan barulah dapat diberikan.

Ketiga, secara jangka panjang diperlukan peta jalan dan cetak biru hilirisasi oleh pemerintah. Peta jalan ini untuk memastikan bahwa ada target yang sifatnya kualitatif dan kuantitatif yang harus dicapai dari hilirisasi yang dilakukan. Dalam konteks hilirisasi nikel misalnya, pemerintah harus memetakan seluruh potensi dan sebaran sumber daya nikel yang ada di Indonesia, berapa persentase yang akan diolah melalui hilirisasi, berapa persentase yang akan ditetapkan sebagai cadangan sumber daya, produk olahan apa yang hendak dibuat, berapa target penerimaan negara dari produk olahan tersebut, termasuk skema dagang yang akan ditempuh agar Indonesia tidak terjebak pada kartelisasi komoditas tambang yang dilakukan oleh negara-negara yang memiliki kepentingan dalam percaturan ekonomi global.

Kebijakan hilirisasi haruslah dipertahankan. Ia cerminan dari sumpah masa lalu pendiri bangsa. Presiden Soekarno pernah bertitah bahwa Indonesia harus mandiri secara ekonomi. Indonesia tidak boleh menjadi ayam yang mati di lumbung padi. Melalui hilirisasi, bangsa Indonesia menavigasi sendiri arah kepentingan ekonominya. Sumber daya yang dimiliki haruslah menjadi kuasa, bukan sekedar potensi.

Adapun yang menjadi risiko dari proses yang dilakukan harus dimitigasi dan dimoderasi melalui tata kelola kebijakan yang jujur, adil, dan bersih. Hilirisasi akan menjadi proses yang paripurna apabila dapat menyeimbangkan antara kepentingan akan penerimaan negara (profit), dengan kepentingan masyarakat (people) dan lingkungan hidup (planet).*

Boy Anugerah, Tenaga Ahli di DPR RI/Direktur Eksekutif Baturaja Project.

 

 

 

 

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Pemerintah Kembangkan Industri Dalam Negeri, Hilirisasi Nikel jadi Primadona

JAKARTA – Pemerintah terus menguatkan langkah untuk mencapai kedigdayaan di

Gibran Terima Kunjungan Perdana Menteri Korea Selatan usai Dilantik

JAKARTA – Wakil Presiden (Wapres), Gibran Rakabuming Raka, langsung menerima
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88