6 months ago
4 mins read

Netanyahu di Ujung Tanduk

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. (Foto: AFR)

JAKARTA – Israel merupakan negara dan masyarakat yang selalu merasa tidak aman. Dikepung dari semua sisi oleh musuh-musuh yang berbahaya, mereka butuh pemimpin yang kuat sepanjang sejarahnya.

Benjamin Netanyahu selama ini menjawab kebutuhan tersebut. Bahkan sebelum memasuki kehidupan publik, pria yang kerap disapa Bibi di media Israel itu telah mencetak rekor militer yang gemilang.

Ia merupakan opsir berpangkat kapten dari pasukan elite Sayeret Matkal. Dan bertarung dalam Perang Yom Kippur 1973.

Sempat kuliah dan bekerja di Amerika Serikat (AS), Netanyahu kembali ke Israel untuk mendirikan Jonathan Institute. Lembaga riset untuk kegiatan-kegiatan kontra-teror.

Namanya diambil dari kakaknya yang tewas dalam operasi militer rahasia Israel menyelamatkan warganya yang disandera di Entebbe, Uganda 1976.

Kemudian, ia memberikan komitmen penuh kepada dunia politik saat partainya, Likud, yang sayap kanan kalah Pemilihan Umum (Pemilu) 1992.

Waktu itu, rakyat Israel memilih Partai Buruh yang sedang mengupayakan perdamaian sesuai dengan ketentuan Perjanjian Damai Oslo. Netanyahu masuk untuk memimpin perlawanan.

Masyarakat Israel kala itu sangat berbeda dengan sekarang. Mereka masih punya dorongan yang cukup besar untuk berdamai dengan Arab dan Israel.

Adalah PM Yitzhak Rabin dari Partai Buruh yang jadi musuh perdana Netanyahu. Rabin memperjuangkan perdamaian dengan Palestina. Sesuai Persetujuan Gaza-Jericho 1994, caranya adalah dengan menyerahkan beberapa wilayah yang diduduki Israel kepada pemerintah otonom Palestina.

Imbalannya, Palestina berjanji untuk mencegah kekerasan dan terorisme masuk ke Israel dari wilayahnya. Perjanjian tersebut akan dikenal sebagai formula ‘land for peace,’ dan sebenarnya sudah dilakukan sejak lama.

Persisnya sejak PM Menachem Begin sepakat untuk mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir. Dalam kasus itu, Tel Aviv kemudian mendapatkan perjanjian sekaligus normalisasi hubungan dengan Kairo.

Tapi Netanyahu berpikir lain. Dalam bukunya berjudul A Durable Peace: Israel and Its Place Among the Nations, ia mendukung ‘kemampuan’ rakyat Palestina untuk mengendalikan nasibnya sendiri. Hanya saja, tidak dengan cara yang bisa membahayakan masa depan negara Yahudi Israel.

Oleh karena itu, ia menolak adanya pendirian negara Palestina yang merdeka. Ia merasa Yordania yang dipartisi oleh Inggris dari Palestina habis Perang Dunia 1 sudah merupakan ‘solusi dua negara’ untuk masalah Israel-Palestina.

“Untuk keamanan, Israel harus mempertahankan kendali militer atas semua wilayah di sisi Barat Sungai Yordan,” tulis Netanyahu.

Lagi-lagi, masyarakat Israel waktu itu memang tertarik dengan prospek perdamaian. Tapi masih ada rasa keraguan, kegelisahan, dan ketidaknyamanan dalam hati terdalam mereka.

Pengalaman dikepung sejak awal pendiriannya menjadikan paranoia sebagai fitur masyarakat Israel dalam urusannya dengan isu pertahanan dan relasi bersama negara-negara Arab.

Di satu sisi, mereka mungkin terinspirasi oleh inisiatif perdamaian Rabin. Dan pada saat yang bersamaan menemukan kebenaran dalam ucapan-ucapan Netanyahu ketika meninjau kembali situasi dan kondisi negara mereka secara historis.

Hingga secara kultural dan berada dalam alam bawah sadar masyarakat Israel, mereka selalu punya kecenderungan terhadap keamanan, dan memiliki afinitas kepada pemimpin-pemimpin yang bisa mewujudkannya.

“Barangsiapa membuktikan dirinya memiliki kemampuan tak tertandingi dalam mengurusi isu-isu keamanan dan ketahanan nasional akan mendapatkan kepercayaan dan kesetiaan terbanyak dari warga Israel,” tulis Wartawan Patrick Tyler dalam bukunya Fortress Israel: The Inside Story of the Military Elite Who Run the Country – And Why They Can’t Make Peace.

Sepertinya, alih-alih mencari pemimpin yang dapat membawakan perdamaian, warga Israel didorong oleh pengalamannya untuk mengangkat apa yang disebut oleh Tyler ‘Mr. Security,’ atau dalam bahasa Ibraninya, Mar Bitachon sebagai pemimpin mereka.

Dan Netanyahulah yang menghadirkan diri sebagai ‘Tuan Keamanan’ ini waktu memposisikan diri berhadapan dengan Rabin. Ia tidak percaya terhadap perdamaian melalui formula ‘land for peace’, tapi kepada keamanan Israel melalui penguasaan seluruh wilayah yang membentang dari Sungai Yordan sampai dengan Laut Mediterania.

Pada 1992, ia siap memimpin reaksi konservatif masyarakat Israel. Di Knesset, parlemen Israel, partainya mempermasalahkan keabsahan perjanjian damai yang diperjuangkan Rabin. Netanyahu juga mengadakan perkumpulan-perkumpulan di jalanan Tel Aviv dan mendiskreditkan Rabin dalam pidato-pidatonya.

Suasana menjadi panas. Bahkan, ada keramaian yang membawa boneka Rabin berseragam pasukan Nazi SS dan menyebut Rabin dengan kata-kata ‘penghianat’, ‘pembunuh’, dan puncaknya ‘Nazi’, dalam pertemuan-pertemuan Likud yang diadakan Netanyahu.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Israel dan Hezbollah Saling Serang

JAKARTA – Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan urusan

Warga Israel Mengaku Tak Dilukai Hamas Selama Disandera

JAKARTA – Noa Argamani, yang dibebaskan dari penyanderaan Hamas di