Transisi pemerintah dan rekonsiliasi Suriah sebuah jalan terjal.
Setelah suatu rezim runtuh, perlu adanya pemerintahan transisi yang mengatur bagaimana arah masa depan suatu bangsa. Arah masa depan ini termasuk juga narasi kebangsaannya, ideologinya, bila perlu konstitusi baru untuk masa depan negara tersebut. Membentuk pemerintahan transisi bukanlah hal yang mudah, sebab terdapat banyak kepentingan yang bermain dan juga kue yang harus dibagi. Lain ceritanya bila pemberontak yang meruntuhkan suatu rezim merupakan kelompok sangat dominan dan kuat, juga memiliki pemimpin tunggal yang memiliki legitimasi kuat.
Dalam sejarah contoh ini dapat dilihat lewat Partai Komunis Cina (PKC) di bawah pimpinan Mao Zedong yang mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok yang berideologi komunis pada 1 Oktober 1949. Pada saat Mao mendeklarasikan Tiongkok sebagai negara komunis, Mao sudah menguasai hampir seluruh wilayah Tiongkok sehingga posisinya sudah sangat kuat. Kendati memiliki jutaan tentara yang siap mati untuknya, Mao tetap melakukan rekonsiliasi dengan orang-orang dari rezim lama hal ini dapat dilihat dalam film The Founding of a Republic (2009).
Di dalam film yang dibintangi Jackie Chan, Jet Li, dan Andy Lau tersebut terlihat Mao melakukan pendekatan terhadap orang-orang rezim lama, bahkan ia melobi janda Sun Yat-Sen, Soong Ching-ling untuk masuk pemerintahan baru yang dipimpin Mao. Sikap bijaksana Mao yang merangkul beberapa orang lama untuk bergabung dengan pemerintahannya, cukup mengagetkan saya.
Mao tidak menghabisi total orang-orang lama di pemerintahan Chiang Kai-shek dan mengajak orang yang ia anggap perlu. Padahal kekuatan Mao saat itu sangat kuat sekali, ia bisa membentuk pemerintahan baru tanpa rekonsiliasi dengan orang-orang lama, tetapi Mao tidak melakukan itu.
Walhasil Mao berhasil melakukan transisi pemerintahan dengan sangat mulus, sebab banyak posisi kunci diberikan kepada orang-orang PKC dan banyak juga orang-orang dari rezim lama yang akhirnya bergabung dengan PKC. Juga terjadi rekonsiliasi, sebab Mao hanya menghabisi orang yang ia anggap perlu dihabisi dan tidak menghabiskan energi untuk menghadapi perlawanan dari sisa-sisa kekuatan lama. Syahdan dalam waktu singkat tepatnya tahun 1950, Mao Zedong sudah berhasil mencengkram seluruh wilayah mainland Tiongkok.
Abu Mohammad al-Julani tentunya harus melakukan dialog nasional dengan semua faksi untuk transisi pemerintahan dan rekonsiliasi antar faksi, bukan hanya faksi pemberontak namun juga dengan orang-orang rezim lama serta simpatisannya. Bila ada yang perlu diadili atas kejahatan di masa silam, hanya orang-orang penting di pemerintahan rezim al-Assad, jangan bersikap barji tibeh (bubar siji, tibo kabeh) atau bubar satu, bubar semua.
Sayangnya hal ini bukanlah hal yang mudah, karena kecendrungan bangsa Arab yang gengsi bila ada konflik antar kelompok ataupun negara Arab, kemudian mediatornya sama-sama orang Arab; seringkali ada harga diri yang terlukai. Hal ini pernah terbukti dalam Perang Saudara Aljazair yang pecah pada tahun 1992, faksi yang bertikai dalam perang saudara tersebut berunding di Roma, Italia. Begitu juga konflik Hamas – Fatah di Palestina, baru terjadi rekonsiliasi setelah dimediasi Tiongkok di Beijing 2024.
Perundingan sebelum-sebelumnya yang dimediasi Mesir, kemudian Arab Saudi, Yaman, Qatar, semuanya gagal total. Nampaknya bangsa Arab lebih percaya apabila mediatornya bukan orang Arab dan juga bukan orang Islam, karena dianggap bebas kepentingan.
Orang Islam juga tidak selalu didengarkan, karena mazhab Islam antar negara berbeda, jadi negara Islam juga walaupun bukan Arab dianggap ada kepentingan karena perbedaan mazhab. Itu sebabnya beberapa kali Indonesia mencoba beberapa kali menjadi menawarkan diri untuk menjadi mediator konflik Timur Tengah, seringkali gagal karena tidak memahami hal ini.
Rekonsiliasi ini akan mudah seandainya antar faksi yang bertikai tidak ada backing dari kekuatan asing di belakangnya, sayangnya setiap faksi punya. Hal ini perlu disikapi dengan hati-hati. Al-Julani perlu mengajak berunding dengan para backing tersebut sebelum berunding dengan pimpinan faksi pemberontak.
Sikap normatif al-Julani dalam setiap wawancara dengan jurnalis asing, sudah tepat. Dia tidak terpancing dengan pertanyaan provokatif jurnalis Arab Saudi ataupun jurnalis negara Barat, ia jawab semuanya dengan hati-hati. Namun dunia tidak akan sepenuhnya percaya dengan pernyataan al-Julani tanpa ada aksi nyata yang mencermikan pernyataannya tersebut.
Juga perlu dipikirkan mengenai populasi minoritas non-Muslim baik itu umat Kristen dan Druze di Suriah yang jumlahnya tidak sedikit. Banyak dari non-Muslim di Suriah yang mendukung al-Assad sebab rezim al-Assad sekuler dan menjamin kebebasan beragama, bahkan non-Muslim menduduki posisi menteri hingga beberapa jabatan penting di pemerintahan al-Assad.
Selama Assad berkuasa natal dirayakan di tv nasional Suriah dan saya sendiri pernah menonton acara perayaan natal di TV Suriah lewat parabola rumah saya sekitar tahun 2010. Hal ini mengingatkan saya dengan rezim Ba’ath di Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein yang juga sangat toleran dengan non-Muslim, bahkan tangan kanan Saddam Hussein yakni Menlu Tariq Aziz adalah seorang Katolik. Setelah Saddam Hussein jatuh dan terjadi instabilitas serta kekacauan luar biasa di Irak, banyak umat Kristen Irak eksodus ke negara-negara Barat hingga Amerika Latin.
Sehingga kini jumlah umat Kristen tidak sebanyak era Saddam Hussein, ditaksir dulu sebelum Invasi Irak 2003 ada sekitar 10 – 12% orang Kristen di Irak. Kini jumlahnya cuma sekitar 1 – 4% menurut data yang dilansir di situs CIA World Factbook 2024.
Selama Perang Saudara Suriah sejak 2011, sudah terdapat banyak laporan tempat ibadah non-Muslim hingga terjadi pembunuhan serta pemerkosaan terhadap non-Muslim terutama oleh ISIS. Banyak komunitas Kristen Suriah yang kemudian eksodus ke negara-negara Barat, di mana mereka diterima dengan baik di sana oleh karena kesamaan agama. Genosida terhadap non-Muslim ataupun persekusi terhadap non-Muslim akan menyulut kecaman dan sanksi dunia internasional.
Apabila pemerintahan baru Suriah bisa menjamin kebebasan beragama sebagaimana al-Assad memperlakukan komunitas non-Muslim atau malahan lebih baik dari al-Assad tentunya pemerintahan baru ini akan mendapatkan pujian dari dunia internasional. Sebab dunia internasional, terutama dunia Barat ataupun Rusia sendiri berkepentingan atas keselamatan non-Muslim di Suriah.
Putin sendiri menyatakan ketika ia membantu al-Assad, ia berkepentingan melindungi umat Kristen di Suriah. Hal ini wajar mengingat kebanyakan umat Kristen di Suriah adalah Kristen Ortodoks Timur yang satu aliran dengan Rusia, meski terdapat juga aliran lain seperti Ortodoks Oriental, Katolik, dan Protestan. Ditaksir sebelum perang terdapat sekitar 10% umat Kristen di Suriah.
Belum lagi komunitas Nushairiyah (Alawite) di mana keluarga al-Assad berasal dari komunitas itu, kelompok ini meski dianggap sebagai bagian dari aliran Islam Syi’ah namun dianggap sesat oleh banyak teolog Sunni dan Syi’ah. Kelompok Nushairiyah selama ini diasosiasikan dengan Bashar al-Assad, juga hampir semuanya mendukung al-Assad dan menjadi minoritas dominan di pemerintahan Bashar al-Assad.
Juga terdapat kelompok Syi’ah 7 Imam (Ismailiyah) dan Syi’ah 12 Imam (Ja’fari). Semua total Nushairiyah, dengan kelompok Syi’ah lainnya ditaksir sekitar 13% sebelum perang. Juga terdapat penganut agama Druze sekitar 3%. Kebanyakan kelompok non-Muslim, Nushairiyah, dan Syi’ah mayoritas mendukung Bashar al-Assad, sebab kebijakan sekulerisme dan pluralisme agama rezim Assad.
Mereka adalah kelompok potensial menjadi sasaran balas dendam oleh kelompok garis keras, karena berpotensi dianggap pengkhianat. Tentunya hal ini harus dipikirkan, perlu adanya rekonsiliasi yang mengajak kelompok minoritas untuk membangun Suriah baru. Bila tidak terjadi maka yang ada Suriah akan jatuh ke dalam konflik horizontal, sebab kelompok minoritas yang ditindas tidak akan diam dan pasti akan melawan. Situasi ini berbeda dengan di Yaman dan Libya, di mana jumlah non-Muslim hanya sekitar nol koma hingga 1 satu persen.
Ketika para pemberontak menggulingkan suatu rezim, sudah tentu mereka ingin mengadili dan menghukum pemimpin sebelumnya dan kroni-kroninya. Di sini Abu Mohammad al-Julani harus selektif, tidak semua orang dibabat habis. Cukup mereka yang memegang posisi kunci. Harus diadakan dialog rekonsiliasi nasional antar semua faksi pemberontak, juga dengan elite maupun simpatisan rezim lama.
Mereka juga harus dilibatkan dalam pemerintahan transisi, supaya cita-cita untuk menciptakan Suriah yang demokratis serta adil dan makmur dapat tercapai. Bila transisi pemerintahan tidak tercapai dengan baik dan tiadanya rekonsiliasi untuk menciptakan “konsensus nasional” di Suriah, maka cita-cita Suriah baru yang demokratis, stabil, dan adil makmur tidak akan tercapai.
Maka bukan tidak mungkin perang saudara kedua di Suriah dapat terjadi. Bila terjadi instabilitas dan konflik akibat kegagalan mencapai konsensus nasional, maka nasib terbaik yang bisa dicapai oleh Suriah adalah seperti di Libya, di mana terjadi dualisme kepemimpinan hingga perang saudara kedua.
Nasib terburuk adalah Afghanistan pasca invasi Uni Soviet dan Somalia pasca runtuhnya rezim Siad Barre, di mana terdapat banyak kelompok perlawanan sporadis (insurgent) yang merongrong kekuasaan pemerintahan dan tidak adanya pemerintahan pusat yang kuat dan stabil yang diakui oleh dunia internasional. Bila hal itu terjadi maka Suriah menjadi negara gagal dan tidak adanya pemerintahan pusat yang kuat serta diakui dunia internasional.*
Irsyad Mohammad, Alumni Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Pengamat Timur Tengah dan Penyair.
