JAKARTA – Calon Gubernur Jakarta, Pramono Anung, berbagi pandangan dan pengalamannya mengenai dinamika kekuasaan dalam politik Indonesia yang cepat berganti.
Dengan pengalaman panjang sejak era Reformasi 1999, Pramono Anung menjelaskan bahwa perubahan kekuasaan tidak hanya diiringi oleh pergantian pemimpin, tetapi juga oleh perubahan loyalitas banyak pihak di sekitarnya.
“Menurut saya simple-nya begini, namanya kekuasaan itu cepat berganti. Dan saya mengalami sejak tahun 1999 bagaimana seorang yang begitu mau berkuasa semua berkumpul di sana. Begitu nggak, pada hari yang sama sudah orang bisa pergi, dan yang begini juga berlangsung tidak terlalu lama,” katanya di Total Politik.
Pramono mencatat bahwa mereka yang tampak memuja pemimpin saat berkuasa sering kali menjadi yang pertama beralih kesetiaan ketika kekuasaan berganti.
Fenomena ini, katanya, terjadi di berbagai tingkatan kekuasaan, baik di Indonesia maupun di luar. Dari pengalamannya di era Gus Dur, Habibie, SBY, hingga Jokowi dan Prabowo, Pramono menilai bahwa loyalitas sejati hanya teruji oleh waktu.
“Ini omongan saya boleh dicatat ya, nanti orang yang seakan-akan begitu memuja siapapun yang berkuasa pada waktu itu biasanya begitu yang pindah pertama kali, dan itu terjadi di mana saja, kekuasaan apa saja,” ujarnya.
Meski mengalami perubahan politik yang dinamis, Pramono Anung tetap menjaga kedekatannya dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, selama 28 tahun terakhir, lebih lama dibandingkan orang lain di lingkaran politiknya. Ia menyebut pertemuannya dengan Megawati bahkan lebih sering dibandingkan dengan seluruh anak-anak Megawati.
“Saya dengan Bu Mega sekarang paling lama 28 tahun, saya menjadi orang terdekat beliau paling panjang. Dan mungkin dibandingkan dengan seluruh anak-anaknya, pertemuan saya dengan Bu Mega lebih sering dibandingkan siapapun setiap minggunya. Walaupun sekarang kampanye untuk gubernur ini, pasti setiap minggu dua kali, tiga kali pasti dicari,” sambungnya.*
