JAKARTA – Pada 1 Oktober 2019, kurang lebih 5 tahun yang silam, saya dilantik sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 2019- 2024. Pelantikan tersebut diikuti oleh seluruh anggota DPR RI dan DPD RI periode 2019-2024, total sejumlah 711 orang.
Momen tersebut menjadi titik awal pengabdian yang saya jalani hari ini di lembaga tinggi negara yang acapkali disebut sebagai rumah kebangsaan. Saya merasa sangat terhormat diberikan amanah dan tanggung jawab untuk menjalankan tugas kelembagaan bersama dengan unsur pimpinan dan anggota MPR RI lainnya.
Tentunya ini tidak mudah. Meskipun tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai konsekuensi logis amandemen terhadap konstitusi, MPR RI memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat.
Pertama, MPR RI bertugas untuk memasyarakatkan Ketetapan MPR yang merupakan produk kelembagaan. Kedua, MPR RI memikul tanggung jawab untuk memasyarakatkan empat pilar kebangsaan yang terdiri atas Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta konsepsi Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, MPR RI bertugas untuk mengkaji sistem ketatanegaraan, UUD NRI 1945, beserta pelaksanaannya. Keempat, MPR RI bertugas untuk menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD NRI 1945. Apa garis besar dari keempat tugas tersebut?
Garis besar atau konklusinya adalah MPR RI bertugas untuk menjaga dan memelihara agar praktik kebangsaan dan kenegaraan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara dan masyarakat senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai luhur yang terkandung dalam konsensus dasar kebangsaan Indonesia. Bagi saya pribadi, ini tugas yang sangat berat yang membutuhkan komitmen dan integritas dalam pelaksanaannya.
Komitmen pengabdian
Dalam menjalankan tugas dan amanah sebagai unsur pimpinan MPR RI, hal pertama yang saya lakukan adalah melakukan pencermatan terhadap dinamika sosial masyarakat beserta tantangannya yang mempengaruhi secara langsung atau tidak langsung terhadap eksistensi empat pilar kebangsaan.
Pancasila yang menjadi falsafah kebangsaan (philoshopische grondslag) dan pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia kehilangan elan vitalnya karena tergerus oleh ideologi asing seperti liberalisme politik, kapitalisme pasar, fundamentalisme agama, dan sosialisme komunisme yang perlahan tapi pasti mempengaruhi pola pikir dan pola sikap masyarakat.
Demikian juga halnya dengan konstitusi UUD NRI 1945. Konstitusi yang memiliki kedudukan sebagai sumber hukum positif tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak selalu dipedomani dalam pembuatan kebijakan. Konsepsi NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika juga mengalami ancaman dan tantangan yang tidak mudah. Pelanggaran kedaulatan di wilayah perairan Indonesia seperti Laut Natuna Utara, tuntutan pemisahan diri oleh KKB di Papua, merupakan persoalan-persoalan serius yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Singkat kata, masing-masing pilar kebangsaan memiliki ancaman dan tantangannya masing-masing.
Ancaman dan tantangan tersebut menjadi mudah untuk disikapi ketika MPR RI sebagai lembaga tinggi negara dilengkapi dengan instrumen sosialisasi empat pilar untuk memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan.
Bagi saya, hal ini merupakan modal sosial dan institusional yang besar karena tidak semua lembaga memiliki instrumen seperti ini. Kami selaku unsur pimpinan MPR RI diberikan kehormatan untuk berdialektika langsung dengan masyarakat, berdialog dan meneguhkan komitmen kembali untuk memegang teguh nilai-nilai Pancasila dan konstitusi, serta bersetia pada NKRI.
Bagi saya pribadi, ketika menjalankan tugas sosialisasi empat pilar tersebut, saya tidak mendudukkan diri saya sebagai guru yang paham akan semua persoalan. Saya berupaya melebur dengan masyarakat, memahami hati dan pikiran mereka, menyelami persoalan mereka, dan mengajak mereka untuk kembali pada nilai-nilai luhur kebangsaan yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan sebagai solusi atas persoalan mereka.
Nilai-nilai yang terkandung dalam empat pilar kebangsaan adalah nilai-nilai yang digali dari kehidupan bangsa kita sendiri. Sayangnya, bangsa Indonesia dewasa ini kerap merasa ahistoris dan tercerabut dengan nilai-nilai tersebut karena lebih terpengaruh oleh budaya asing yang masuk secara masif. Inilah yang menyebabkan masyarakat terjebak pada praktik hedonis, sekuler, dan individualis, serta mengabaikan kepentingan kolektif masyarakat, bangsa, dan negara.
Pengalaman empirik
Pelaksanaan sosialisasi empat pilar di masyarakat bukanlah persoalan yang mudah, meskipun secara kelembagaan, MPR RI menyediakan banyak metode penyampaian, mulai dari metode konvensional berbasis tatap muka, hingga metode berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Pengalaman saya, persoalannya terletak pada beberapa hal. Pertama, ada segmentasi di masyarakat, sehingga penyampaian harus disesuaikan dengan segmentasi tersebut. Ketika berhadapan dengan generasi muda, urgensi nilai-nilai kebangsaan harus disampaikan dengan bahasa yang mudah mereka pahami dan menggunakan contoh-contoh yang faktual dengan kehidupan mereka.
Kedua, empat pilar kebangsaan kerapkali dianggap sebagai sesuatu yang abstrak, sesuatu yang tidak membumi. Oleh karenanya, menjadi tantangan untuk menyampaikannya kepada masyarakat, khususnya kelompok yang tidak terdidik dengan mengaitkannya secara langsung dengan persoalan mereka sehari-hari seperti kelangkaan pupuk bagi para petani, keterbatasan alat penangkapan ikan bagi nelayan, hingga kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan bagi kelompok masyarakat miskin.
Ketiga, internalisasi nilai- nilai kebangsaan tekadang berbenturan dengan kognitif masyarakat perkotaan (kaum urban) yang sudah dipenuhi oleh pola pikir kapitalisme pasar dan liberalisme berpendapat. Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan kecermatan dan ketajaman dalam penyampaian, sehingga anasir-anasir ideologi asing yang memengaruhi pola pikir masyarakat dapat dikikis secara perlahan.
Sebagai contoh, adalah tugas berat untuk mengembalikan model hidup paguyuban dan penuh musyawarah kepada masyarakat perkotaan yang cenderung sekuler dan individualis. Inilah tantangan-tantangan yang kerap saya jumpai dalam pelaksanaan sosialisasi empat pilar kebangsaan.
Sebagai bentuk komitmen dan totalitas saya menjalankan tugas dan amanah di rumah kebangsaan, saya menggunakan instrumen akademik untuk berkontribusi bagi kelembagaan tempat saya berkhidmat.
Ketika menyelesaikan pendidikan doktoral saya di IPDN, saya mengangkat tema kepemimpinan kolektif dan kolegial di MPR RI sebagai judul disertasi saya. Bagi saya pribadi, ditinjau dari kacamata akademik, keberhasilan pimpinan MPR RI dalam memimpin lembaga yang besar tidak dapat berjalan secara maksimal tanpa adanya sistem kepemimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial yang mengutamakan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan yang selaras dengan nilai Pancasila, pemungutan suara untuk memecah kebuntuan, serta senantiasa mengedepankan prinsip kebersamaan.
Hal ini tidak terlepas dari karaktersitik MPR RI sendiri sebagai rumah kebangsaan yang menaungi keberagaman dan pluralisme bangsa, serta memikul tanggung jawab mulia untuk selalu memasyarakatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia. Spirit kepemimpinan kolektif dan kolegial menjauhkan kelembagaan MPR RI dari praktik kepemimpinan yang berbasis kepentingan individul, sektoral, kelompok atau golongan yang dapat menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa.
Saran kebangsaan
Di akhir periode tugas selaku unsur pimpinan di MPR RI, saya hendak menyampaikan saran dan masukan sebagai komitmen kebangsaan. Ada tiga hal utama yang saya soroti. Pertama, pentingnya untuk menjaga proses demokratisasi yang kita mulai sejak era reformasi. Kedua, urgensi untuk memiliki haluan negara sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiga, urgensi untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global. Demokratisasi menjadi kunci untuk mewujudkan tujuan nasional Indonesia, utamanya terciptanya masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Kesejahteraan masyarakat tidak bisa tercipta dalam situasi totalitarian dan militeristik seperti era orde baru.
Kesejahteraan hanya dapat tercipta di alam demokrasi, yang mana demokrasi menjadi alat (means) untuk mencapainya. Oleh karena itu, setiap komponen masyarakat, pemerintah ataupun rakyat, wajib meletakkan demokrasi sebagai pedoman bersama (the only game in town).
Arus konsolidasi demokrasi harus dijaga agar terwujud demokrasi yang matang (mature democracy), dalam hal mana pilar-pilar demokrasi seperti partai politik, pers, masyarakat madani, dan lainnya memiliki komitmen yang sama dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Hal kedua adalah pentingnya memiliki haluan negara. Saya pribadi berpandangan bahwa perlu untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai pedoman dan peta jalan dalam melaksanakan pembangunan nasional di Indonesia.
Ketiadaan haluan negara sebagai konsekuensi amandemen UUD NRI 1945 yang menghapus keberadaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) berdampak pada tersanderanya pembangunan nasional oleh periodisasi pemerintahan berbasis politik elektoral, ketiadaan sinergitas antara pembangunan di level pusat dan pembangunan di level daerah, serta inefisiensi tata kelola pemerintahan yang disebabkan oleh perbedaan orientasi dan prioritas pembangunan yang dilakukan antarpemerintah.
Saya sepakat dengan hasil kajian dari Badan Pengkajian MPR RI yang melakukan penyusunan substansi PPHN berdasarkan paradigma Pancasila sebagai kerangka operasional dalam pembangunan tiga ranah kehidupan berbangsa yang meliputi pembangunan karakter dan kualitas manusia, pembangunan kelembagaan sosial dan politik, serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, yang mana ketiga ranah ini saling terkait dan berinteraksi satu sama lain.
Terakhir, penting bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan daya saing di panggung global. Indonesia adalah warga dunia. Kita terhubung dengan negara lain dalam komunitas global. Apa yang terjadi di lingkup global dan regional, akan berpengaruh secara langsung terhadap kepentingan nasional Indonesia.
Perang Rusia dan Ukraina menimbulkan kelangkaan energi di Asia Tenggara dan kelangkaan pupuk di dalam negeri. Rivalitas Amerika dan Tiongkok di Indo Pasifik telah membelah Asia Tenggara menjadi proksi-proksi politik (backyard policy) kedua negara adidaya tersebut. Agresi militer Israel di Palestina telah memantik aksi boikot, divestasi, dan sanksi dari masyarakat domestik Indonesia yang memandang pemerintah kurang aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina.
Isu-isu ini perlu dikelola secara cermat oleh pemerintah, khususnya pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober 2024 nanti. Daya saing Indonesia di kancah global tidak ditentukan oleh faktor kapasitas ekonomi saja, tapi juga ketangguhan dan kelihaian dalam berdiplomasi.
Oleh sebab itu, penting bagi bangsa Indonesia saat ini juga untuk kembali mempedomani nilai-nilai kebangsaan dan menjadikannya sebagai landasan dalam pengelolaan keunggulan komparatif Indonesia seperti keanggotaan di forum internasional, keunggulan agraria, keunggulan maritim, dan bonus demografi, agar Indonesia keluar sebagai negara unggul di masa-masa mendatang. Semoga.*
Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A.,Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024.