12 months ago
16 mins read

Indonesia Memasuki Tahun ‘Vivere Pericoloso’

Proklamator Kemerdekaan sekaligus Presiden pertama Indonesia, Ir Sukarno. (Foto: Web)

Alih-alih memikirkan cara untuk mengabaikan permasalahan yang ada di sekitarnya, bangsa Indonesia, pada usianya yang ke-79 tahun ini, genap 60 tahun Sukarno mengucapkan pidato “Tahun Vivere Pericoloso”, harus menggunakan seluruh pikiran dan tenaganya untuk bertahan di tengah gempuran masalah-masalah dunia.

“Ya, saudara-saudara, kita ini sekarang sedang dikepung! Tetapi kepadamu, kepada segenap bangsa Indonesia kuserukan, agar mengasah dan terus mengasah keris cinta-tanah-airmu, mempertajam dan terus mempertajam rencong kewaspadaanmu, menempa dan terus menempa godam persatuanmu,” seperti dikatakan oleh Sukarno saat itu.

Hal itu perlu dilakukan sembari bangsa Indonesia memperbaiki dan meningkatkan kehidupannya sendiri. Jadi tidak hanya bertahan, tapi juga mengadakan perbaikan atas segala hal yang hingga kini dirasa kurang dan mengakibatkan kesulitan saat keadaan dunia menjadi pelik, terutama di bidang kehidupan politik.

Sama halnya dengan kehidupan politik yang sehat membutuhkan warga negara, termasuk politisi-politisi, yang juga sehat; maka, kehidupan internasional bangsa Indonesia yang sehat juga memerlukan kehidupan politik yang sehat di dalam negerinya.

Ketika rakyat dan politisi, beserta elemennya menjadi manunggal, atau menjadi satu, maka mereka bisa menjadi lebih kuat menghadapi segala permasalahan yang sewaktu-waktu dilemparkan oleh dunia ke arahnya.

Memang, penulis tidak berpura-pura dan mengajak para pembaca untuk berpura-pura kalau tugas yang menanti bangsa Indonesia di “Tahun Vivere Pericoloso”, atau tahun hidup penuh bahaya ini merupakan tugas-tugas yang ringan.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus punya mental yang kuat. Ada kekuatan batin yang perlu dibangun terlebih dahulu supaya bangsa Indonesia mampu mengemban berbagai tugas berat yang menunggu mereka.

Dalam konteks Revolusi Indonesia yang berlangsung sebagai bagian dari proses nation-building Indonesia pada 1964, saat Sukarno menuturkan pidatonya yang kini sudah berulangkali disebut, ia menyerukan agar rakyat Indonesia yang diibaratkan seperti banteng-banteng punya tiga perasaan terhadap perjuangan mereka.

Tiga perasaan itu adalah romantik, dinamik, dan dialektik. Apabila bangsa Indonesia memiliki tiga perasaan itu, mereka akan menjadi pelaut handal yang bisa membawa bahtera kenegaraannya melewati amukan ombak di samudera yang penuh dengan masalah.

Adapun romantik dimaksud oleh Sukarno sebagai kemauan dari bangsa Indonesia itu sendiri untuk menghadapi berbagai masalah yang datang menerjang. Romantik adalah kemauan memberikan pengorbanan-pengorbanan yang diperlukan. Romantik adalah kemampuan menegakkan kepala menghadapi segala masalah yang ada.

Sukarno berkata bahwa perasaan romantik itulah yang menjadi sumber kekuatan abadi bagi suatu perjuangan.

“Rasa romantik-perjuangan adalah sumber kekuatan abadi daripada Perjuangan. Oerkracht daripada perjoangan! Kalau tidak ada rasa romantik-perjuangan itu, sudah lama kita remuk-redam, sudah lama kita seperti cacing-mati terinjak-injak,” tuturnya.

Kemudian, suatu perjuangan harus diupayakan oleh rakyat yang bergerak. Rakyat Indonesia harus punya perasaan mau bergerak mencapai apa pun yang jadi tujuannya dalam rangka mempertahankan diri dari gempuran masalah-masalah dunia atau masalah-masalah yang lebih bersifat internal. Oleh karena itu, Sukarno menyaratkan kalau perjuangan, yang dalam konteks waktu itu adalah revolusi, haruslah dinamik.

Tanpa rasa dinamik yang menggerakan perasaan dan perbuatan rakyat, maka perjuangan akan berhenti di tengah jalan.

“Tanpa dinamik yang laksana mengkeranjingankan seluruh Rakyat itu, Revolusi akan mandek di tengah jalan,” lanjut Sukarno.

Terakhir, rakyat harus menumbuhkan rasa dialektik. Artinya, perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan diri dari berbagai masalah yang diberikan dunia, selagi mengupayakan perbaikannya sendiri, harus lah dirasakan sebagai suatu proses yang semakin meningkatnya dari satu tahapan ke tahapan lainnya.

“Pengertian dan kepercayaan dus: bahwa Revolusi adalah satu proses panjang yang dinamis (artinya: bergerak), dengan segala pukul dan dipukulnya, tetapi terus naik, (inilah dialektika), satu proses panjang yang harus dijalankan terus-menerus dengan ulet dan tekad “ever onward, no retreat”, jelas Sukarno.

Demikian, perjuangan bangsa Indonesia menghadapi dunia ke depannya menjadi semakin pelik di tahun-tahun hidup penuh bahaya. Mereka harus mempertahankan diri. Mereka harus memperbaiki diri. Dan hal itu paling optimal dilakukan apabila bangsa Indonesia merasa romantik, dinamik, dan dialektik dalam berjuang.

“Romantik adalah sumber-kekuatan-abadi kita, — Oerkracht kita, kataku tadi. Dinamik adalah sumber kekuatan sosial kita, — ia adalah kita punya social force. Dan Dialektik adalah sumber kekuatan konsepsi kita, — sumber rasionalisasinya Revolusi kita, daja-ciptanya Revolusi kita,” kata Sukarno.

Apabila segenap atau sekurang-kurangnya kebanyakan bangsa Indonesia sudah romantik, dinamik, dan dialektik pada HUT RI ke-79 ini, maka tepat 60 tahun pidato “Tahun Vivere Pericoloso” Sukarno, mereka bisa menghadapi tahun hidup penuh bahaya dengan kepala yang tegap menatap ke arah langit-langit.

Mereka bisa menegakkan dagu mereka; mengarahkan mata mereka menuju sepercik cahaya mentari yang terhimpit kecil di tengah awan mendung yang memenuhi langit-langit; berdiri teguh laksana batu karang yang mematahkan ombak masalah yang terbesar sekali pun; dari sekitarnya, terdengar seruan abadi Bung Karno yang berbunyi “Ever onward, never retreat!”* (Bayu Muhammad)

1 Comment

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

Menakar Prospek Hubungan Diplomatik Indonesia dan Turki

JAKARTA – Pada tanggal 11-12 Februari 2025, Presiden Turki Reccep

Revitalisasi Layanan Publik Parpol

JAKARTA – Hasil survei nasional Indikator bertajuk ‘Evaluasi Publik Terhadap
toto slot situs togel situs togel
toto slot
slot88
situs totositus totositus totojakartaslot88