Politik harus di re-tool
Masalah ekonomi sudah penulis bahas, Masalah keamanan yang lekat dengan geopolitik juga disurvei secara agak panjang. Kini, penulis ingin membahas alat-alat politik domestik yang perlu diperhatikan juga. Kesehatan dari alat-alat politik di Tanah Air, beserta politiknya, menentukan apakah Indonesia ke depannya bisa menghadapi tantangan-tantangan dunia di sekitarnya.
Itu juga yang disinggung oleh Sukarno dalam pidatonya yang berjudul “Tahun Vivere Pericoloso” tepat hari ini, genap 60 tahun yang lalu. Saat itu, ia berkata kepada rakyat Indonesia kalau alat-alat politik harus diubah. Mengacu kepada Manifesto Politik (Manipol) sebelumnya, mereka harus di-retool agar bisa memberikan dampak baik yang optimal bagi kehidupan rakyat banyak di Indonesia.
“Seperti kukatakan di dalam Manipol, yang harus diritul (re-tool) adalah ‘semua alat-alat perjuangan; badan eksekutif, yaitu Pemerintah, kepegawaian, dan lain sebagainya, vertikal dan horizontal; badan legislatif, yaitu DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)’…” ujar Sukarno.
Esensi dari politik menurut Sukarno adalah machtsvorming dan machtsaanwending. Kalau diterjemahkan, maka politik adalah ‘pembentukan kekuatan’ dan ‘penggunaan kekuatan’ itu demi mencapai suatu tujuan. Itu dijelaskan dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya yang lain dari pidato “Tahun Vivere Pericoloso”. Tapi itu lah esensi politik menurut Sukarno.
Hingga kini, baik machtsvorming maupun machtsaanwending tetap dilakukan. Derap langkah politisi-politisi dari tingkat desa hingga nasional yang sebisa mungkin mengupayakan manunggaling atau bersatu dengan rakyat masih mengupayakan itu.
Akan tetapi, pemandangan politik di Republik yang mana penulis kini menjadi salah satu warga negaranya kian hari semakin memperlihatkan pembentukan kekuatan yang pada akhirnya digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang jauh dari kepentingan rakyat.
Pada saat tulisan ini dikarang, dari jauh-jauh hari sebetulnya untuk mengejar momentum perayaan HUT RI ke-79, masyarakat dan jagat maya dihebohkan oleh manuver beberapa politisi yang menunjukkan betapa jauhnya laku mereka dari kehendak rakyat kebanyakan.
Seorang calon kepala daerah dengan tingkat elektabilitas terkuat di suatu daerah terancam untuk gagal maju karena tidak mendapatkan dukungan partai. Adapun partai-partai yang awalnya menyuarakan dukungan mereka kepadanya menarik diri secara teratur.
Tidak sedikit yang menyalahkan partai-partai karena mereka seolah-olah membuang begitu saja aspirasi kebanyakan warga di daerah tersebut ke dasar laut. Tapi tidak salah juga kalau ada orang-orang yang menyalahkan sang calon karena punya keengganan bergabung dengan salah satu partai politik pendukungnya agar perhitungan partai secara politik pun jadi lebih mudah.
Itu tentunya tanpa mengesampingkan adanya kabar bahwa semua partai saling terkunci oleh kekuasaan eksisting yang khawatir akan potensi sang calon menjadi oposisi yang tangguh ke depannya.
Selain itu, seorang ketua umum (ketum) partai yang berhasil membawa kemenangan gemilang bagi partainya dalam pemilihan legislatif (pileg) lalu juga mengundurkan diri secara tiba-tiba. Setelahnya, banyak kabar yang beredar kalau ia menjadi sasaran dari operasi politik kekuasaan yang hendak memperpanjang cengkeramannya kepada pemerintahan yang akan datang.
Tapi bukan itu inti permasalahannya. Masalahnya terletak di laku elite-elite partai politik beserta politisi-politisi yang tidak menunjukkan kesesuaian dengan kehendak rakyat kebanyakan.
Ada kegagalan dalam hal kekuasaan, yaitu meliputi eksekutif dan legislatif, atau pemerintahan dan parlemen, untuk memahami kehendak rakyat dan bertindak sesuai dengannya. Di sisi lain, ada ketidakdewasaan dari tidak sedikit politisi, termasuk sang calon kepala daerah yang punya elektabilitas tinggi itu, untuk menyikapi politik sebagai urusan yang ‘lebih besar daripada diri mereka’.
Dalam hal kehidupan politik di negara ini, bukan hanya partai politik-partai politik yang harus diminta perubahan sikap dan lakunya. Tapi jari telunjuk juga perlu diarahkan kepada rakyat yang hingga kini masih memungkinkan ‘politik uang’.
Memang, tidak bisa nafikan kalau tidak sedikit dari rakyat Indonesia yang menerima politik uang karena kondisi hidup yang mengitari mereka. Akan tetapi, politik uang merupakan terus mendistorsi pelaksanaan demokrasi yang harusnya berjalan atas dasar aspirasi rakyat jadi sesuatu yang bisa ditentukan oleh faktor uang.
Demikian, instrumen-instrumen politik harus di re-tool. Perlu disusun sistem yang sedemikian rupa agar supaya machtsvorming dan machtsaanwending bisa dilakukan secara dewasa dan bertanggungjawab demi menjawab tuntutan ‘Amanat Penderitaan Rakyat’. Sekurang-kurangnya, machtsvorming dan machtsaanwending politik bisa mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Selain itu, bangsa Indonesia, yaitu pemerintah dan rakyatnya, juga harus di re-tool agar supaya bisa menggunakan alat-alat politik mereka secara dewasa dan bertanggungjawab dalam mewujudkan tujuan-tujuannya.
Jikalau selama ini permasalahan ekonomilah yang menjadi batu ganjalan politik dilakukan secara sehat dan konstruktif, seperti politik uang yang memengaruhi pengambilan keputusan orang banyak di setiap pemilihan umum-pemilihan umum, maka tepat kemakmuran, kesejahteraan, kekayaan itu yang juga harus diupayakan. Di sini, permasalahan politik berkaitan erat dengan masalah ekonomi yang dibahas sebelumnya.
Ever onward, never retreat!
Vivere Pericoloso, atau dalam bahasa asli Italianya Vivere Pericolosamente, hidup penuh bahaya. Bahtera Republik Indonesia kita ini sedang menghadapi samudera tahun hidup penuh bahaya. Dan bukan cuma tahun, tapi tahun-tahun penuh bahaya.
Ekonomi dunia menunjukkan gejala-gejala perlambatan, bellum in perpetua, bukan pacis in perpetua terjadi di beberapa tempat, dan politik dalam negeri jauh dari kata ‘beres’.
Semua masalah itu mengintai kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan, beberapa di antaranya sudah terjadi. Dan semuanya itu terjadi secara bersamaan, tidak memberikan jeda bagi bangsa Indonesia untuk menyandarkan badan sejenak untuk beristirahat.
Tapi bukan solusi apabila bangsa Indonesia mengabaikan atau bahkan kabur dari permasalahan-permasalahan itu. Sebetulnya, bangsa Indonesia tidak bisa melarikan diri dari fakta yang menancap sebagai kenyataan memagari kehidupannya saat ini. Permasalahan-permasalahan itu harus dihadapi dengan badan, terutama kepala yang tegak.
[…] Baca juga: Indonesia Memasuki Tahun ‘Vivere Pericoloso’ […]