Netanyahu membawa Israel ke dalam bellum in perpetua, perang yang tidak mengenal ujung untuk menyelamatkan kulitnya sendiri. Dalam prosesnya ia mengorbankan nyawa orang-orang Palestina, tidak hanya itu, tapi juga nyawa serdadu-serdadu Israel yang harus berkorban untuk karier politiknya.
Di kawasan Asia-Pasifik ternyata keadaan geopolitik juga tidak bersahabat bagi Indonesia. Dunia seperti dibuat menunggu persaingan antara AS dan RRT memperebutkan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik pecah jadi perang terbuka mana kala titik panas seperti di Taiwan akhirnya meledak.
Jikalau Indonesia pada masa Sukarno menuturkan pidato “Tahun Vivere Pericoloso” nya dikepung oleh kekuatan neo kolonialis dan imperialis yang hadir dalam wujud pembentukan negara Malaysia, maka kini geografi Indonesia dikepung oleh berbagai kepentingan berbeda yang datang dari semua arah.
“Malaysia masih membentang di muka rumah Republik Indonesia, sebagai anjing-penjaganya imperialisme. Pakta-pakta militer yang ada di seputar kita baru-baru ini pun ikut-ikut pula membicarakan soal kita, tapi zonder seizin kita! Kita dikepung terang-terangan oleh kaum imperialis dari segala jurusan!” seru Sukarno dalam pidatonya hari ini, tepat 60 tahun yang lalu.
Dahulu, Sukarno berbicara mengenai pakta-pakta militer yang mengintai. Kini, pakta-pakta militer itu pun ada; nama, bentuk, anggotanya mungkin sudah berbeda, tapi pakta militer sebagai potensi ancaman bagi Indonesia baik secara materiil dan non-materiil hadir, sama seperti dahulu kala.
Di Samudera Pasifik, Armada ke-7 AS menunggu di Jepang. Mereka terdiri puluhan perang. Ratusan pesawat menjadi payung armada tersebut yang melindungi dari serangan-serangan udara musuh. Puluhan ribu pelaut dan marinir bertugas sebagai bhayangkara pengawal kepentingan AS di situ.
Kemudian, tepat di Selatan Indonesia benua Australia menjadi salah satu markas AUKUS, yaitu pakta militer yang diprakarsai Australia, Inggris, dan AS. Pakta tersebut menghancurkan variabel keamana baru yang harus diperhitungkan di kawasan. Mereka datang membawa kapal selam-kapal selam bertenaga nuklir di halaman belakang Indonesia.
Di Utara Indonesia, RRT yang kini terlibat dalam sengketa wilayah dengan berbagai negara di Laut Tiongkok Selatan (LTS) menjadi kekuatan yang perlu dipertimbangkan, kendati hubungan ekonomi yang baik antara mereka dan Indonesia hingga saat ini.
Kini, Naga Merah tidak hanya bisa dikatakan telah bangun dari tidurnya. Mereka tidak hanya bisa dikatakan telah bangkit dari ‘satu abad penuh penghinaan’ imperialisme Barat yang berlangsung dari abad ke-19 hingga ke-20. Tapi Naga Merah, yaitu RRT kini, telah berdiri tegak menantang kekuatan-kekuatan Barat dan mereka yang dianggap sebagai pion-pion Barat di kawasan Asia-Pasifik.
RRT diketahui mengomandoi sedikit lebih banyak kapal daripada AS. Mereka juga punya kapal induk-kapal induk yang canggih. Alutsista-alutsista itu harus diperhatikan secara seksama sebagai potensi ancaman bagi keamanan Indonesia ke depannya.
Sekurang-kurangnya, kalau Indonesia tidak menjadi sasaran dari angkara murka persenjataan RRT, Australia, atau AS, maka konflik di antara mereka pada masa depan akan terjadi di sekitar wilayah Indonesia dan menjadi ancaman yang harus dihadapi.
Sepertinya, Indonesia hanya merasakan kelegaan dalam posisi geopolitiknya di Barat. Sejauh ini belum ada ancaman militer signifikan yang datang dari arah Samudera Hindia. Tapi di antara negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), perang saudara di Myanmar masih jadi satu permasalahan yang belum juga bisa dicari penyelesaiannya.
Ke depannya, Indonesia harus hidup di tengah ancaman-ancaman tersebut. Bangsa Indonesia, terutama pemerintahnya, harus menentukan sikap dan kebijakan yang tepat. Setia kepada amanat sahabat Sukarno, yaitu Mohammad Hatta soal politik luar negeri ‘bebas-aktif’, Indonesia harus bisa berada di tengah dan memainkan peran sebagai penengah. Jerih payah diplomasi harus ditingkatkan untuk meredakan konflik di Ukraina, menghentikan genosida di Palestina, dan mencegah eskalasi konflik di kawasan Asia-Pasifik.
Adapun peran Indonesia di panggung internasional merupakan salah satu amanat Revolusi Indonesia sendiri. Seperti diucapkan Sukarno dalam pidato “Tahun Vivere Pericoloso”, Revolusi Indonesia juga dikobarkan untuk melaksanakan ‘Amanat Penderitaan Rakyat’ di seluruh dunia.
“Tarikkan ke atas terus, ledakkan ke atas terus, lebih tinggi lagi, lebih tinggi lagi, dialektiknya Revolusi, sampai terlaksana Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia dan Amanat Penderitaan Rakyat seluruh dunia, sesuai dengan tuntutan zaman!” tegasnya.
Sungguh, dunia sedang menderita. Ayah-ibu, kakek-nenek, putra-putri, banyak anak dari Adam dan Hawa kini meneteskan air mata penderitaan di kening mereka. Sekarang, mereka mendambakan untuk kembali ke taman Eden yang dibahas oleh banyak agama itu. Indonesia harus bisa membawa umat manusia sejengkal demi sejengkal kembali ke taman firdaus tempat mereka berasal.
Tidak lupa, penguatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sendiri harus digalakkan. Merupakan rahasia umum kalau TNI sekarang masih membutuhkan banyak perbaikan dan peningkatan dalam segala bidangnya.
Prajurit Angkatan Darat (AD) harus gagah perkasa melindungi bumi Pertiwi; Angkatan Laut (AL) harus berjaya di atas desiran ombak lautan yang menghubungkan antara satu pulau kelapa dengan yang lainnya; dan Angkatan Udara (AU) menjadi sayap pelindung tanah air yang handal. Semua jadi bagian dari tameng yang melindungi Ibu Pertiwi dari angkara murkanya senjata-senjata lawan yang mengintai.

[…] Baca juga: Indonesia Memasuki Tahun ‘Vivere Pericoloso’ […]