JAKARTA – Masyarakat di Afganistan masih kesulitan mengakses layanan kesehatan dasar dan darurat. Hal itu disebabkan faktor jarak, biaya, dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai.
Padahal, bantuan kemanusiaan dan investasi internasional telah masuk selama lebih dari dua dasawarsa.
Pada 2023 lalu, proyek malnutrisi Doctors Without Borders di Herat, Lashkar Gah, dan Kandahar menerima lebih dari 10.400 anak berusia hingga lima tahun ke pusat pemberian makanan terapeutik rawat inap (ITFC).
Sementara itu, di Herat dan Kandahar, 6.900 anak terdaftar di pusat pemberian makanan terapeutik rawat jalan (ATFC).
Doctors Without Borders memberikan kisah pilu dari para ibu dan anak-anak yang harus berjuang untuk mengakses layanan kesehatan yang pada dasarnya sudah terbatas.
ITFC di Herat sudah sibuk. Ruangannya kecil untuk menampung anak-anak yang kekurangan gizi beserta pengasuh mereka. Pemandangan bayi-bayi yang terbaring dengan plaster yang menempel di hidung mereka untuk menahan selang pemberi larutan susu menjadi lazim.
Di Helmand yang berada di sebelah selatan Herat, Rumah Sakit Boost menyajikan pemandangan yang serupa. Sesekali, perawat-perawatnya menyelipkan pita berwarna pada pita lingkar lengan tengah atas (MUAC) ke lengan kecil anak-anak.
Hal itu lah yang dialami oleh Nazifa. Kondisinya sudah berada di zona merah yang mengarah kepada malnutrisi. Dia akan diukur dan ditimbang terlebih dahulu sebelum dirawat dan akan tinggal selama beberapa minggu untuk menstabilkan berat badannya dan mengobati diarenya.
Para orang tua mengatakan tantangan memberikan makan kepada keluarganya disebabkan kekurangan uang, bukan kekurangan makanan.
Masalah itu berkonsekuensi kepada kurangnya makanan atau gizi pada ibu yang menyusui. Pada gilirannya hal itu akan memengaruhi kesehatan bayi.
Ada beberapa ibu yang tidak bisa memproduksi asi dalam jumlah yang cukup. Sehingga, mereka terpaksa beralih ke susu formula yang akan membuat anak mereka sakit.
“Saat ia dilahirkan, ia sehat namun saya tidak memiliki ASI sehingga kami memberikan susu formula untuk memberinya makan namun hal tersebut membuatnya sakit,” katanya.
Fasilitas kesehatan terbatas
Para ibu yang menderita gizi buruk didaftarkan untuk mendapat perawatan rawat jalan, seperti di Kandahar dan Herat.
Mereka yang mencari fasilitas kesehatan harus bepergian jauh sebelum akhirnya sampai ke lokasi tempat mendapatkan layanan yang layak.
“Kami datang ke sini dari Kamari di Provinsi Badghis, perjalanan memakan waktu empat jam,” ujar seorang warga yang namanya disamarkan jadi Fatima.
Ia membawa putranya ke Herat untuk berobat karena kekurangan gizi dan menderita cacar air. Sebelumnya mereka telah mencari bantuan di klinik dekat dengan rumah. Tapi mereka tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan di sana.
Sementara itu, rumah sakit dan klinik Doctors Without Borders serta Kementerian Kesehatan Masyarakat menerima pasien yang telah bepergian jauh karena sulit mengakses layanan kesehatan yang berkualitas dekat rumah.
Perekonomian memburuk
Adapun situasi perekonomian di Afganistan buruk. Dan itu membuat sebagian besar orang yang dahulu mampu mendapatkan perawatan di klinik swasta kini bergantung kepada pusat kesehatan yang didukung oleh organisasi internasiona.
Seorang Ibu, Roya, mengatakan di desanya hampir semua anak menderita kekurangan gizi karena situasi ekonomi yang sulit.
Koordinator Medis Doctors Without Borders, Aline Plener, menyorot permasalahan asi yang tengah melanda masyarakat Afganistan di beberapa tempat. Pihaknya terus melakukan promosi kesehatan kepada para ibu dan keluarga mereka.
“Di Herat, banyak pasien yang kami temui berusia di bawah satu tahun dan hal ini menunjukkan adanya masalah dalam pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (memperkenalkan makanan bergizi selain ASI),” jelasnya.
“Sesuatu yang sedang kami upayakan untuk diatasi melalui kegiatan promosi kesehatan kami bersama para ibu dan keluarga mereka. Anak-anak di bawah enam bulan juga seringkali masih terlalu muda untuk diikutsertakan dalam banyak program gizi, sehingga lebih sulit bagi keluarga untuk mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan ketika mereka kekurangan gizi dan tanpa perluasan kriteria penerimaan, hal ini akan tetap terjadi,” lanjutnya.
Kondisinya tetaplah pelik. Tidak jarang bangsal rawat inap menjadi begitu padat sehingga seorang ibu harus berbagi tempat tidur dengan dua bayinya. Hal itu jauh dari kata ideal bagi para pasien dari sudut pandang medis.
Adapun beberapa yang telah menyelesaikan perawatan mereka dari Doctors Without Borders pulang hanya untuk kembali lagi beberapa minggu kemudian. Hal itu terjadi secara berulang sementara akar penyebab malnutrisi belum teratasi.
Roya yang ditawari bantuan sementara mengaku kondisi anaknya sudah membaik sehingga mereka bisa kembali pulang ke rumah untuk sekarang.* (Bayu Muhammad)
Baca juga: MSF: Menyelamatkan Nyawa Bukanlah Kejahatan