3 months ago
6 mins read

Marshel Widianto, Apa Salahmu Kawan?

Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, A Riza Patria dan Marshel Widianto. (Foto: IG Marshel Widianto)

Kita dapat melihat sebuah kasus terbaru yang sangat absurd. Sampai saat ini, Ahmad Ali, Wakil Ketua Umum Partai NasDem yang bakal mencalonkan diri di Pilkada Provinsi Sulawesi Tengah belum mendapatkan rekomendasi dari partainya sendiri. Posisi Ali di Nasdem tentu bukan orang sembarangan.

Saya kira tidak ada yang akan mendebat modal politik Ali, tentunya bukan popularitas semata. Bagaimana bisa Head Coach Timnas Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar malah lebih dulu didukung oleh PAN dan Gerindra yang merupakan lawan politiknya di Pilpres 2024?

Dalam kasus paling ramai sekarang, Partai Gerindra mendukung Marshel Widianto di Pilkada Tangerang Selatan. Saya melihat sesat pikir dari orang-orang yang merasa menjadi hakim dari kebenaran publik.

Sebagai pembelajar atau murid dalam demokrasi, saya lebih tertarik mencari penjelasan untuk berupaya membuat kesimpulan yang utuh, ketimbang memvonis pihak-pihak tertentu memiliki dosa besar. Seharusnya, kita semua menghormati hak seseorang sebagai warga negara untuk mencalonkan diri.

Orang-orang yang mengklaim punya moralitas tinggi dan luhur ini sangat menikmati menginjak-injak Marshel yang mereka anggap tidak layak maju di Pilkada. Alasannya, mencalonkan Marshel merupakan kebodohan, salah satu sebabnya adalah masa lalu Marshel yang buruk.

Kalau ukurannya masa lalu, saya merasa kita perlu mendengar kembali tausiah AA Gym. Setiap orang pernah buat kesalahan, namun Tuhan tutup aibnya. Belum tentu kita masih dihargai orang jika Tuhan buka aib kita. Nasihat ini sangat menyentuh bagi saya. Kita menyadari bahwa kita tidak sempurna.

Sesorang lahir dari keluarga kelas bawah tentu memiliki pilihan terbatas. Jika tumbuh di keluarga Baswedan, Marshel mungkin jadi seorang calon peraih hadiah Noble Prize atau dia adalah researcher fellow di Harvard University yang meneliti microbiology.

Tsunami kedangkalan ini menghantam Marshel setiap hari. Saya kira itu tidak terjadi kepada Nagita Slavina, Deddy Corbuzier, dan Rafi Ahmad yang juga disebut partai sebagai kandidat Pilkada. Bahkan, komedian Arie Kriting tampak yang paling serius dengan beredarnya foto spanduk-spanduk pencalonannya. Apakah kita yakin nama-nama tersebut lebih layak daripada Marshel?

Bagi saya, kembali lagi pada prinsip rekomendasi partai adalah keputusan elite yang sangat subjektif. Di balik alasan masa lalu Marshel yang buruk, elite partai politik juga punya subjektivitas untuk menilai Marshel sebagai tokoh dunia hiburan yang sukses, orang kelas bawah yang melenting ke atas, dan inspirasi bagi kaum muda. Faktanya, Marshel memang tokoh yang memiliki berbagai capaian.

Penilaian parpol tentunya tidak dapat dikatakan sepenuhnya bodoh. Lihat saja, profil semua orang yang pernah mendapat dukungan partai politik, tentu Marshel tidak masuk dalam kategori sangat buruk.

Menurut saya, apa yang sudah berhasil dicapai Marshel di politik adalah sebuah pembuktian kualitas diri. Dia berhasil meyakinkan elite parpol untuk memberikan dukungan eksekutif. Seperti yang saya sempat singgung di atas, urusan rekomendasi partai bukan perkara mudah. Punya uang segunung pun belum tentu dapat menjamin.

Kalau boleh menduga-duga, pencalonan Marshel dari Partai Gerindra tidak lepas dari kontribusinya dalam pemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres yang lalu. Selama proses Pilpres, Marshel tampaknya berhasil membangun kecocokan dengan elite partai politik. Tidak mungkin kepercayaan kepada Marshel muncul tiba-tiba. Apalagi belakangan, Marshel mengatakan sudah terlibat di sayap Partai Gerindra sejak tahun 2018.

Saya yakin berbagai pembuktian sudah berhasil dicapai. Lagi-lagi saya tegaskan, keyakinan ini berbasis dugaan dan spekulasi dari keterbatasan informasi yang saya punya. Fakta yang sebenarnya, Marshel Widianto dan elite Partai Gerindra adalah pihak paling punya otoritas untuk menjelaskan.

Terkadang, suasana hati orang-orang yang baru saja menang setelah berkali-kali tumbang memang sulit dipahami. Setelah kemenangan Prabowo Subianto, saya duga elite Gerindra sedang mencoba permainan yang lain. Sebab, kemenangan Prabowo setelah tiga kali kalah juga merupakan cerita ajaib layaknya negeri dongeng.

Melihat politik di Provinsi Banten hari ini, Partai Gerindra tentu punya agenda besar. Banten adalah daerah pemilihan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, yang merupakan Ketua Harian Partai Gerindra. Untuk menjadi kekuatan dominan di Banten, Gerindra tentu harus berhadapan dengan kekuatan Dinasti Politik Ratu Atut Chosyiah yang juga bertarung di Tangerang Selatan.

Maka dalam konteks ini, saya harus mengakui Marshel lebih hebat daripada saya dan warga Indonesia kebanyakan. Di tengah banyaknya pilihan yang dimiliki Partai Gerindra, namanya muncul untuk menjalani tugas yang sangat berat ini. Dari dukungan yang didapat Marshel, kita melihat kader internal pun belum tentu punya kemampuan yang lebih baik untuk meyakinkan elite nasional partainya sendiri.

Keterbatasan kemampuan kader partai politik mengakses elite pusat partainya sendiri ini bisa jadi sebuah masalah. Namun, elite nasional partai politik tentu membuat penilaian berbasis pada kinerja kadernya sendiri untuk menyiapkan pertarungan.

Menurut saya, tidak banyak kader Gerindra yang punya inisiatif untuk mengambil risiko menantang kekuatan dinasti politik yang sudah mapan di Banten jelang Pilkada 2024 ini. Apalagi pada 2020 yang lalu, keponakan presiden terpilih Prabowo Subianto saja tumbang. Rahayu Saraswati yang menjadi calon Wakil Walikota dari Haji Muhammad tumbang. Oleh karena itu, pilihan kepada Marshel jadi relevan.

Marshel berhasil mendobrak pintu yang tertutup rapat. Kita harus akui fakta ini terlebih dahulu. Kemudian tinggal diuji saja, Marshel hendak memperjuangkan apa sebagai kandidat kepala daerah. Jika dia orang yang cepat belajar, pengelolaan kota bukanlah ilmu yang sulit dipahami. Dia bisa rekrut banyak ahli. Namun yang perlu diingat, kepala daerah adalah jabatan politik. Artinya, kemampuan politik menjadi skill yang paling utama.

Saya kira masalah kita hari ini bukanlah perkara siapa orang baik atau orang jahat. Jauh lebih penting, kemampuan kita mengendalikan diri untuk membuat penilaian yang adil. Bagi saya, membangun jembatan lebih dibutuhkan ketimbang terus mempertebal tembok di antara kita. Sehingga perbaikan situasi dapat tercapai tanpa harus terbawa emosi ala influencer bertopeng moral.

Perbaikan kebijakan mengenai pemilihan umum perlu mendapat perhatian. Keputusan kandidasi yang subjektif ini apakah sudah menghasilkan keadilan? Saya kira kita harus merumuskan regulasi proses kandidasi yang melibatkan subjektivitas publik secara lebih banyak. Problem ini harus menjadi diskusi yang lebih dalam untuk menemukan format terbaik dalam kompetisi elektoral kita.*

Arie Putra, Co-founder Total Politik.

Komentar

Your email address will not be published.

Go toTop

Jangan Lewatkan

PDIP Umumkan Ratusan Calon Kepala Daerah

JAKARTA – Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),

Petinggi PDIP Bicara ‘Kans’ Dukung Anies di Jakarta

JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),